menjadi fokus saat ini. Semua berawal dari 2013 yang ketika itu Bank Muamalat mulai mengalami kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL).
Kemudian hal ini terus berjalan hingga 2015, bank syariah pertama di Indonesia ini dirundung masalah kekurangan modal.
Penyebabnya, pemegang saham lama enggan menyuntikkan dana segar. Puncaknya terjadi pada 2017.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) turun menjadi 11,58%. Angka itu masih dalam batas aman namun dalam konsesi Basel III untuk CAR minimal 12% guna menyerap risiko countercyclical.
Bank Indonesia menjelaskan bahwa Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Kinerja Bank Muamalat tergerus lonjakan pembiayaan bermasalah (non-performing finance/NPF). NPF bank syariah itu sempat di atas 5%, lebih tinggi dari batas maksimal ketentuan regulator.
Data terakhir, laba bersih Bank Muamalat hanya tersisa Rp 6,57 miliar pada periode Januari-Agustus 2019.
Laba bersih itu anjlok 94,07% dibandingkan dengan periode yang sama setahun lalu yang tercatat Rp 110,9 miliar.
Berdasarkan publikasi laporan bulanan, pendapatan setelah distribusi bagi hasil Bank Muamalat pada periode itu tercatat Rp 415,57 miliar, turun dibandingkan setahun lalu Rp 857,27 miliar.
Bank Muamalat mencatatkan pendapatan operasional lainnya sebesar Rp 698,85 miliar yang didominasi oleh pemulihan atas cadangan kerugian penurunan nilai.
Sementara itu, beban operasional lainnya mencapai Rp 1,08 triliun, yang didominasi oleh beban tenaga kerja dan beban lainnya.
Beberapa kali dilakukan upaya penyelamatan, dengan cara menambah modal melalui rights issue dengan mengundang investor baru maupun sekuritisasi kredit milik Bank Muamalat. Namun upaya-upaya tersebut tampaknya mentok dan belum bisa jadi solusi.
Berdasarkan sumber CNBC Indonesia yang mengikuti beberapa pertemuan regulator hingga Kementerian BUMN, terungkap 3 skenario penyelamatan Bank Muamalat.
Skenario Pertama Rights Issue :Skenario pertama ini sudah atau tengah dilakukan Bank Muamalat. Baru saja, Bank Muamalat kembali mengumumkan rencana Penawaran Umum Terbatas IV, setelah tertunda untuk kesekian kalinya.
Dalam Keterbukaan Informasi di situs resmi, Bank Muamalat berencana menerbitkan 32,96 miliar saham baru dengan nilai nominal Rp 100. Bila harga exercise sama dengan nilai nominal, maka bank syariah pertama di Indonesia ini akan meraih sekitar Rp 3,29 triliun, beda dengan rencana sebelumnya yang mengincar Rp 2,2 triliun
Bank yang dipimpin oleh Achmad Kusna Permana sebagai Direktur Utama ini, akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 16 Desember 2019 untuk meminta persetujuan.
Sebelumnya, rights issue Bank Muamalat tertunda untuk ketiga kalinya. Dalam rencana terakhir harusnya rights issue selesai terlaksana pada pertengahan Juli 2019 ini. Bank ini juga batal menggelar rights issue pada Januari 2019 dan Desember 2017.
Untuk kali ini, Bank Muamalat menyatakan ada kendala karena memerlukan audit ulang dalam laporan keuangan sesuai syarat dari rights issue.
"Karena sudah lewat bulan Juni kan mesti ada informasi tambahan mengenai karena per Desember kan, jadi kita mesti melakukan audit lagi. Kan validity dari audit report kan enam bulan. Ya salah satunya itu," kata Corporate Secretary Bank Muamalat Hayunaji di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Dalam rencana sebelumnya, Bank Muamalat akan menerbitkan 19,14 miliar lembar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp 115. Dengan rencana tersebut, maka Bank Muamalat akan meraih Rp 2,2 triliun.
Ada 3 investor yang berencana menyerap rights issue tersebut, yakni Al Falah Investment Pte Limited (Al Falah) yang merupakan perusahaan bentukan Ilham Habibie, dan koperasi Kospin Jasa serta Lynx Asia.
Modal yang masuk melalui rights issue ini dimungkinkan jika memang Ilham Habibie Cs bisa membuktikan dana yang dimilikinya untuk menyerap rights. Perlu ditelusuri juga lebih jauh siapa penyandang dana yang ada di belakang Ilham Habibie Cs ini.
Ilham pernah mengungkapkan beberapa hari lalu jika dana sudah disiapkan.
"Saya tidak bisa komentar. Saya enggak bisa komentar. Ini masalah izin saja. Uang sudah pada dimasukkan ke rekening penampung. Uang ada," kata Ilham saat ditemui di Kantor Wapres, Selasa (12/11/2019).
Ilham mengatakan, fokusnya saat ini bukan di Al Falah namun di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dengan izinnya. Dalam hal ini izin sebagai penyerap rights issue tersebut.
"Ini bukan soal Al Falah, ini soal OJK," kata Ilham.
Skenario Kedua : BUMN BersatuBadan Usaha Milik Negara (BUMN) digadang-gadang akan menjadi penyelamat bank ini. Terakhir PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang disebut akan bekerjasama melakukan penyehatan Bank Muamalat.
"Memang regulator nampaknya mendorong hal ini. BUMN yang serap. Tapi sepertinya tidak mungkin. Beban BUMN begitu berat apalagi melihat kebutuhan dana penyehatan Bank Muamalat yang hampir mencapai Rp 10 triliun," papar sumber CNBC Indonesia tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Heru Kristiyana membenarkan bahwa rencana tersebut masih berlangsung. Pada waktunya, OJK akan menyampaikan hal tersebut secara rinci bila sudah ada kepastian.
"Nah itu nanti kita ngomong, karena itu lagi berlangsung. Kalau saya ngomong nanti mereka pada lari," ujar Heru di Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Menurutnya, OJK akan terus mengawasi dan mengevaluasi seluruh proses penyelamatan Bank Muamalat yang sedang berlangsung.
"Nanti kita lihat, kita lagi evaluasi itu. Supaya nanti semuanya bisa bertanggung jawab. Kalau semuanya masih berjalan, saya gak mau ngomong duluan di muka. Nanti malah investor lari kalau namanya disebut," ujar Heru.
Isu uji tuntas suntikan modal ke Bank Muamalat oleh Bank BUMN beredar setelah ada riset dari sebuah sekuritas swasta pada awal Oktober lalu. Riset tersebut menyatakan bahwa ada bank BUMN yang mengonfirmasi untuk melakukan due diligence dalam rangka suntikan modal ke Bank Muamalat.
Meski kemudian dibantah oleh seluruh bank BUMN termasuk Bank Mandiri, namun isu tersebut kembali menguat setelah manajemen Bank Muamalat bertemu dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada pekan lalu. Dikabarkan, ada pejabat bank BUMN yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Kementerian BUMN mengakui telah mengadakan diskusi dengan OJK untuk membicarakan misi penyelamatan Muamalat. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan meski sudah diadakan diskusi dengan pihak BUMN, namun hingga saat ini kepastian masih berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Diskusi ada, tapi kan koridornya kalau bank yang tengah proses perbaikan dari masalah prosesnya, opsinya dari OJK. Kita lihatnya ada UU OJK dan UU PPKSK (UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan) ada opsi-opsinya, sesuai koridor kita tunggu OJK seperti apa tindakannya. Kita diajak diskusi beberapa kali, ada opsi-opsi tapi kan bukan ranah kita menyampaikan opsi-opsinya," kata Kartika di Kawasan Sarinah, Jakarta, Senin (11/11/2019) malam.
Menurut dia, bank-bank pelat merah dinilai hanya bisa membantu dari segi bisnis saja, sedangkan untuk melakukan penyelamatan dinilai bukan menjadi kewenangannya.
"Di UU ada opsi-opsi penanganan bank. Dipilih dulu opsinya mau apa. Bank Himbara [bank-bank BUMN] itu kalau untuk bisnis murni itu kan bisa untuk melakukan investasi. Tapi kan kalau misalnya untuk penyelematan, kita bukan entitas yang berwenang. Kalau bisnis murni baru kita bisa masuk," tegasnya.
Namun Menteri BUMN Erick Thohir membantah isu BUMN akan menyelamatkan Mulamalat. Pasalnya, Bank Muamalat merupakan bank swasta dan dimiliki investor asing.
"Bukan saya, itu kan enggak ada hubungannya sama BUMN. Bank Muamalat kan bukan BUMN," tegas Erick di Jakarta, Senin (11/11/2019).
Pernyataan tersebut membantah informasi yang beredar di pasar bahwa bank BUMN akan menyelamatkan Bank Muamalat. Setidaknya ada dua riset dari sekuritas yang membahas hal tersebut.
Isu penyelamatan oleh BUMN ini tampaknya ditolak pasar. Harga saham perbankan milik pemerintah (BUMN) kembali terkoreksi pada perdagangan pagi hari ini, Kamis (14/11/2019) melanjutkan koreksi yang terjadi pada perdagangan kemarin.
Data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), pada pukul 09:46 WIB, tercatat harga saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) terkoreksi 1,09% menjadi Rp 6.800/saham. Ini berarti sudah 4 hari beruntun, harga saham BMRI terus diterpa aksi jual oleh investor.
Selain BMRI, harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga terkoreksi pada awal perdagangan hari ini dengan melemah masing-masing sebesar 0,34% ke Rp 7.325/saham dan 0,25% ke Rp 3.950/saham.
Harga saham PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga melemah 0,54% menjadi Rp 1.830/saham.
Skenario Ketiga : Diselamatkan LPS"Skenario ini paling realistis dan bisa dilakukan. LPS berdasarkan rekomendasi OJK bisa menyelamatkan Bank Muamalat. Asal OJK mengungkapkan keadaan Bank Muamalat sebenarnya dan dinyatakan harus diselamatkan oleh LPS," papar sumber CNBC Indonesia lagi.
"OJK sudah mengetahui benar apa yang ada di Bank Muamalat karena sejak 2013 lalu, seharusnya aksi sudah dilakukan, dan pengawasan berjalan namun belum ada realisasi," imbuh sumber tersebut lagi.
Penyelamatan bank tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Bank yang bermasalah jika tidak berdampak sistemik tidak perlu melalui KSSK atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) atau Presiden. Bisa melalui rekomendasi OJK.
"Penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Bank selain Bank Sistemik yang diserahkan Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan," demikian bunyi pasal 31 ayat 1 UU tersebut.
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip pernah menulis seusai UU tersebut, jika mekanisme bail-in atau suntikan modal oleh pemegang saham pengendali ini belum mampu menyelesaikan masalah solvabilitas bank, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengalihkan penanganannya kepada LPS.
Menurut UU PPKSK, LPS dimungkinkan menerapkan konsep bridge bank (BB) dan purchase and assumption (P&A) untuk menangani permasalahan solvabilitas sehingga penggunaan dana LPS dapat diminimalkan.
"Konsep BB adalah pengalihan seluruh asset dan/atau kewajiban bank kepada bank baru yang didirikan LPS sebagai bank perantara (bridge bank), sedangkan P&A adalah pengalihan kepada bank lain sebagai bank penerima (purchase and assumption)."
Sebelum proses pengalihan tersebut, tentunya LPS telah dilibatkan sejak dini, yaitu sejak bank tersebut ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan lebih dini kepada LPS untuk melakukan due diligence.
Apabila metode BB dan P&A masih tidak dapat menyelesaikan permasalahan, LPS akan menerapkan penanaman modal sementara (PMS).
Ini cara yang paling mungkin. Pertanyaannya saat ini apakah OJK berani ambil keputusan atau memang tetap mengandalkan BUMN dan rights issue?