
Transaksi Cuma Rp 4 Juta, Kapitalisasi Bayan Tergerus Rp 8 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham emiten pertambangan batu bara PT Bayan Recources Tbk (BYAN) ambles hingga 19,44% pada awal pekan ini dan membuat kapitalisasi sahamnya (market cap) di Bursa Efek Indonesia (BEI) tergerus hingga mencapai Rp 7,99 triliun menjadi Rp 38,67 triliun.
Data perdagangan BEI mencatat, pada awal perdagangan Senin ini (11/11/2019), saham emiten tambang milik konglomerat batu bara, Dato Low Tuck Kwong ini, masih di level Rp 14.000/saham.
Namun pada pukul 14.17 WIB dan sejak penutupan sesi I, saham BYAN jeblok di level Rp 11.600/saham, dengan nilai transaksi sangat kecil Rp 4,04 juta dan volume perdagangan 300 saham dan frekuensi hanya 3 kali.
Dengan jumlah saham beredar mencapai 3.333.333.500 (3,33 miliar saham), kapitalisasi BYAN berkurang dari Rp 46,66 triliun menjadi Rp 38,67 triliun dalam sehari.
Mengacu data BEI, transaksi saham Bayan dilakukan dua kali, yakni perdagangan pertama pukul 09.58 WIB. Aksi beli dilakukan Daewoo Securitas (broker berkode YP) dan aksi jual dilakukan broker berkode KK atau Phillip Sekuritas di harga Rp 14.000/saham dan nilai transaksi Rp Rp 1,4 juta.
Kedua, pada pukul 10.33 WIB, dilakukan aksi jual dan beli masing-masing hanya dilakukan Daewoo di level harga Rp 11.600/saham dengan nilai transaksi Rp 1,2 juta.
Sebetulnya bagaimana kinerja perusahaan?
Mengacu laporan keuangan per September 2019, pendapatan perseroan turun 8,06% menjadi US$ 1,14 miliar (sekitar Rp 15,96 triliun, asumsi kurs Rp 14.000/US$) dari periode yang sama tahun lalu US$ 1,24 miliar.
Laba bruto juga anjlok menjadi US$ 436,33 juta dari sebelumnya US$ 657,47 juta. Laba bersih pun anjlok 46% menjadi US$ 209,57 juta (rp 2,93 triliun) dari sebelumnya US$ 388,05 juta.
Selain kinerja turun, belum ada informasi terbaru di keterbukaan informasi BEI soal Bayan. Informasi terakhir yakni soal aktivitas eksplorasi bulan Oktober 2019 yang menjelaskan status beberapa eksplorasi anak usaha, mulai dari tahapan proses rekomendasi gubernur soal pengajuan izin pinjam pakai kawasan hutan, pengajuan penyesuaian IUP PMA dari daerah ke pusat, hingga tahapan perpanjangan IUP eksplorasi.
Namun satu soal yang menjadi perhatian investor ialah kasus hukum yang belum selesai dan menyeret anak usaha.
Laporan keuangan Bayan mencatat, perusahaan terlibat litigasi dengan Binderless Coal Briquetting Company Pty Limited (BCBC), BCBC Singapore Pte. Ltd. (BCBCS) dan White Energy Company Limited (WEC) sebagai akibat dari gugatan BCBCS dan BCBC di Pengadilan Komersial Internasional Singapura.
Gugatan itu karena pihak-pihak tersebut menuduh Bayan melanggar kewajiban pembiayaan dan pasokan batu baranya sehubungan dengan ventura bersama PT Kaltim Supacoal (KSC).
Kasus ini merupakan lanjutan kasus yang sebelumnya diungkapkan pada laporan keuangan konsolidasian 2017. Perusahaan telah menyanggah tuduhan tersebut dan mengajukan gugatan balik terhadap BCBCS, BCBC dan WEC atas pelanggaran syarat-syarat perjanjian ventura bersama.
Perusahaan lalu mengajukan banding terhadap putusan Singapore International Commercial Court (SICC) di Tahap Kedua ke Pengadilan Banding Singapura (SCA), dan pada tanggal 29 Agustus 2018, SCA menolak banding Bayan.
Pada 10 Juli 2019 SCA telah mendengar dan menolak pengajuan banding perusahaan. "Kasus pengadilan akan dilanjutkan ke pengadilan Tahap Ketiga. Manajemen perusahaan masih meyakini bahwa tidak ada kewajiban material yang mungkin timbul tanpa mengesampingkan keputusan SICC di Tahap Kedua," tulis manajemen Bayan.
Simak sentimen emiten batu bara, apa saja sih?
(tas/hps) Next Article Genjot Produksi, Bayan Alokasikan Capex hingga Rp 1,8 T