AS-China Adem, Ekonomi AS Perkasa, Rupiah Menguat Lagi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 November 2019 17:32
AS-China Adem, Ekonomi AS Perkasa, Rupiah Menguat Lagi
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah resmi mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini, Senin (4/11/2019), dengan penguatan, sekaligus menandai apresiasi selama 2 hari beruntun.

Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah menguat 0,29% ke level Rp 13.990/dolar AS. Pada siang hari tepatnya pukul 13:00 WIB, rupiah menguat 0,12% ke level Rp 14.013/dolar AS. Pada akhir perdagangan, apresiasi rupiah adalah sebesar 0,14% ke level Rp 14.010/dolar AS.

Kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang juga perkasa melawan dolar AS.

Sentimen yang mewarnai perdagangan hari ini memang mendukung bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas instrumen keuangan yang relatif berisiko di kawasan Asia. Kini, ada optimisme yang membuncah bahwa AS dan China akan segera bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu.

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross optimistis bahwa kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China akan bisa diteken pada bulan ini juga. Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa jika kedua negara benar berhasil menyepakati kesepakatan dagang tahap satu, penandatanganan akan digelar di AS. 

AS-China Adem, Ekonomi AS Perkasa, Rupiah Menguat LagiFoto: Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Menteri Keuangan Steven Mnuchin, Menteri Perdagangan Wilbur Ross, penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow dan penasihat perdagangan Gedung Putih Peter Navarro berpose untuk foto dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, wakil menteri China dan pejabat senior sebelum dimulainya Pembicaraan perdagangan AS-Cina di Gedung Putih di Washington, AS, 21 Februari 2019. (REUTERS / Joshua Roberts)



"Pertama-tama, saya ingin meneken kesepakatan dagang," kata Trump di Gedung Putih kala berbicara di hadapan reporter, Minggu (3/11/2019), seperti dilansir dari Bloomberg.
 

"Lokasi penandatangan kesepakatan dagang, untuk saya, sangatlah mudah (untuk ditentukan)."

Untuk diketahui, sebelumnya AS dan China berencana untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu di Chile, kala Trump bertemu dengan Presiden China XI Jinping di sela-sela gelaran KTT APEC. Namun, rencana tersebut kemudian dipertanyakan menyusul keputusan Chile untuk membatalkan gelaran tersebut, seiring dengan aksi demonstrasi yang tak kunjung padam di sana.

Wajar jika pelaku pasar begitu mengapresiasi potensi ditekennya kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China.



Pasalnya, hingga saat ini kedua negara telah
mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar. Bahkan, AS telah bersikap lebih keras dengan memblokir perusahaan-perusahaan asal China dari melakukan bisnis dengan AS.

Pada Mei 2019, Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif.  Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Dalam keterangan resmi yang diperoleh CNBC Indonesia dari halaman Federal Register, pemerintah AS beralasan bahwa terdapat dasar yang cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Huawei telah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.

Bukan hanya keamanan nasional, Hak Asasi Manusia (HAM) juga dijadikan alasan oleh pihak AS untuk memblokir perusahaan asal China dalam upayanya untuk memenangkan perang dagang. Per tanggal 9 Oktober 2019, AS resmi memasukkan 28 entitas asal China ke dalam daftar hitam, di mana sebanyak delapan di antaranya merupakan perusahaan teknologi raksasa asal China.

Dimasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China tersebut membuat merekatak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.


Jika AS dan China benar bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu, ada peluang bea masuk tambahan yang kini sudah diterapkan dan pemblokiran terhadap perusahaan-perusahaan asal China bisa dicabut. Jika ini yang terjadi, roda perekonomian kedua negara bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.

Untuk diketahui, beberapa pihak memandang bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa menjadi kunci bagi perekonomian kedua negara untuk menghindari hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Lebih lanjut, rilis data ekonomi AS yang oke ikut memantik aksi beli atas Mata Uang Garuda. Pada hari Jumat (1/11/2019), penciptaan lapangan kerja di luar sektor pertanian diumumkan sebanyak 128.000, jauh di atas ekspektasi yang sebanyak 90.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Seperti yang sudah disebutkan di halaman satu, rupiah sempat merangsek ke bawah level psikologis Rp 14.000/dolar AS pada pembukaan perdagangan. Namun, pada saat penutupan perdagangan rupiah telah kembali ke atas level psikologis tersebut. 

Kehadiran sentimen negatif dari dalam negeri menjadi faktor yang membatasi apresiasi rupiah pada awal pekan.

Sentimen negatif yang dimaksud adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi. Besok (5/11/2019), angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 dijadwalkan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,19%. Pada kuartal II-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, sama persis dengan konsensus. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,06% YoY.



Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.

Pada kuartal III-2019, konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5,01% secara tahunan, melambat dari capaian di kuartal I dan II. Sementara itu, konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di level 5,02% secara tahunan.

Jika hanya mencapai 5,01% atau 5,02%, maka pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019 akan jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Bahkan, Tim Riset CNBC Indonesia melihat bahwa ada ruang yang besar bagi pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 untuk melandai ke bawah level 5%.

Berbicara mengenai angka pertumbuhan ekonomi, pastilah kita berbicara mengenai konsumsi rumah tangga. Maklum, lebih dari 50% perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.

Sejauh ini, ada indikasi bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah. Pada pekan lalu, BPS mengumumkan bahwa pada Oktober 2019 terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11/2019).


Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.

Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.

Lebih lanjut, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu. Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular