Hellooowww, Yakin Mau Buang Dolar?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 November 2019 12:42
Hellooowww, Yakin Mau Buang Dolar?
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) adalah perekonomian terbesar di dunia. Negeri Paman Sam juga merupakan negara konsumen terbesar di planet ini.

Bank Dunia mencatat konsumsi AS pada 2017 mencapai US$ 13,32 triliun. Bahkan Uni Eropa yang merupakan gabungan lebih dari 20 negara saja masih kalah.



Oleh karena itu, wajar jika dolar AS adalah mata uang yang paling banyak beredar di dunia. Mau bagaimana lagi, pembeli terbesar di bumi berasal dari AS. Jadilah dolar AS sebagai mata uang global.

Dana Moneter Internasional (IMF) membukukan bahwa total cadangan devisa dunia pada kuartal II-2019 adalah setara dengan US$ 11,73 triliun. Dari jumlah tersebut, US$ 6,79 triliun (57,88%) benar-benar berupa dolar AS.

 

Situasi ini membuat dolar AS menjadi sangat menentukan arah perekonomian global. Lihat saja, setiap kali Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan suku bunga acuan, pasti menjadi peristiwa yang jadi perhatian utama pelaku pasar.




Saat The Fed tengah dilanda kegalauan selama dua tahun pada 2013-2015, ekonomi global menjadi sangat tidak pasti. Kala itu, The Fed bolak-balik memberi sinyal bakal menaikkan suku bunga karena perekonomian Negeri Adidaya dinilai sudah mulai pulih dari hantaman krisis 2008-2009.

Namun kenyataannya Federal Funds Rate tidak kunjung dinaikkan. Kebimbangan The Fed ini membuat pasar keuangan dunia ikut galau. Periode penuh tanda tanya ini sering disebut sebagai Taper Tantrum. Situasi yang membuat investor memilih bermain aman dan memilih dolar AS karena berharap The Fed segera menaikkan suku bunga.


Namun nyatanya Janet Yellen dan kolega yang kala itu memimpin The Fed baru menaikkan suku bunga acuan pada akhir 2015. Padahal pasar sudah menunggu selama 2-3 tahun.

Rupiah jadi salah satu korbannya. Sepanjang 2015, mata uang Tanah Air melemah sangat dalam yaitu 11,35%. Gara-garanya ya semua orang memburu dolar AS, rupiah praktis tidak kebagian apa-apa.

 

Kejadian yang berkebalikan tetapi dampaknya sama terjadi tahun lalu. Kali ini The Fed sangat yakin bahwa ekonomi AS sudah tumbuh begitu cepat karena penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Orang Pribadi. Akibatnya, Jerome Powell dan sejawat menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali dalam setahun agar ekonomi AS tidak mengalami overheating.

Kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS menjadi sangat seksi, apalagi kalau sampai empat kali. Tentu seksi sekali.

Kondisi seperti Taper Tantrum pun terulang, arus modal global tersedot ke dolar AS. Rupiah melemah sampai nyaris 6%.

 



Ketergantungan dunia terhadap dolar AS membuat mata uang ini begitu berkuasa. Hidup-mati seluruh dunia seakan ditentukan oleh greenback.

Oleh karena itu, wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk 'memerdekakan' diri dari 'penjajahan' dolar AS. China dan Uni Eropa sedang berusaha memulainya dengan menginisiasi perdagangan dengan menggunakan mata uang lokal.


Indonesia pun sudah melakukannya. Bank Indonesia (BI) sudah menjalin kerja sama dengan bank sentral negara-negara tetangga dalam bentuk Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA). Saat ini, BCSA sudah dilakukan dengan Malaysia, Thailand, China, Filipina, dan Australia.

BCSA adalah fasilitas di bank sentral yang bisa digunakan oleh importir. Misalnya importir Indonesia mau membeli barang dari China, tidak perlu menyiapkan dan membayar dengan dolar AS seperti yang terjadi selama ini. BI punya fasilitas yuan China yang bisa diakses kapan saja.


Namun apakah aksi 'buang' dolar AS secara massal ini akan berhasil? Sejauh ini sepertinya belum.

BI mencatat penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan Indonesia dengan Malaysia dan Thailand sepanjang kuartal I-2019 setara dengan US$ 83 juta. Padahal selama periode tersebut nilai perdagangan Indonesia dengan dua negara tersebut mencapai US$ 4,58 miliar. Penggunaan mata uang lokal masih sangat minim, tidak sampai 2%.

Well, sepertinya masih butuh waktu bagi negara-negara lain untuk lepas dari cengkeraman dolar AS. Bukan sesuatu yang mustahil untuk bisa mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, hanya saja memang butuh komitmen dan konsistensi. Tidak bisa hanya dengan upaya ala kadarnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular