
Ambisi Holding BUMN A la Jokowi, Efektifkah?

Menjelang pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin dan pengumuman kabinet yang akan mendampingi, Jokowi harus hati-hati benar dalam menunjuk menteri BUMN. Pasalnya, Rini Soemarno selaku menteri BUMN saat ini punya kebiasaan buruk yakni mengonta-ganti direksi BUMN.
Padahal guna mendorong BUMN supaya bisa mencetak kinerja yang maksimal, tentu perencanaan menjadi salah satu kuncinya. Dibutuhkan roadmap yang jelas dan terukur untuk memaksimalkan setiap sumber daya yang dimiliki oleh BUMN itu sendiri. Nah, roadmap ini merupakan tanggung jawab dari jajaran direksi.
Jokowi harus belajar dari kasus yang terjadi di tubuh PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang merupakan maskapai pelat merah. Pada awal masa jabatan Menteri Rini, Arif Wibowo diangkat menjadi Dirut Garuda untuk masa kepemimpinan 2014-2019. Kala itu RUPS juga melakukan perampingan jumlah dewan direksi dari delapan menjadi enam.
Namun belum tuntas masa jabatan, Arif Wibowo keburu dilengserkan pada April 2017 dan digantikan oleh Pahala Nugraha Mansury (mantan Direktur Keuangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk/BMRI).
Nasib Pahala Nugraha kemudian sama dengan Arif Wibowo, dirinya dicopot dari jabatan sebelum waktunya, yakni pada September 2018. Berdasarkan RUPSLB yang berlangsung saat itu, Ari Ashkara yang merupakan Dirut PT Pelindo III didapuk menjadi pimpinan Garuda menggantikan Pahala Nugraha.
Tak sampai lima tahun, Rini mengganti posisi Dirut Garuda sebanyak tiga kali.
Kini, mari tengok kinerja keuangan Garuda. Pada tahun 2014, Garuda membukukan kerugian bersih senilai US$ 370 juta. Masuk ke tahun 2015, penunjukkan Dirut baru oleh Rini berhasil memutarbalikkan kondisi keuangan perusahaan. Kala itu, Garuda membukukan laba bersih senilai US$ 76,5 juta. Masuk ke tahun 2016, walaupun turun drastis, setidaknya perusahaan masih bisa membukukan laba bersih, yakni senilai US$ 8,1 juta.
Pada tahun 2017 kala Menteri Rini memasukkan Dirut baru, Garuda membukukan rugi bersih senilai US$ 216,6 juta.
Maju ke tahun 2018 kala posisi Dirut diganti lagi, Garuda malah menciptakan skandal yang menggemparkan pasar saham tanah air. Sejatinya, Garuda membukukan laba bersih senilai US$ 809.846 kala itu.
Namun, penyajian laporan keuangan tahun 2018 terbukti tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga akhirnya membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi kepada perusahaan, di mana salah satunya adalah memperbaiki dan menyajikan kembali Laporan Keuangan Tahunan (LKT) tahun 2018.
"Memberikan Perintah Tertulis kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk memperbaiki dan menyajikan kembali LKT PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk per 31 Desember 2018," demikian kutipan sanksi yang diberikan OJK dalam keterangan resminya.
"Serta melakukan paparan publik (public expose) atas perbaikan dan penyajian kembali LKT per 31 Desember 2018 dimaksud paling lambat 14 hari setelah ditetapkannya surat sanksi, atas pelanggaran Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU PM)."
Selain itu, sanksi yang diberikan oleh OJK termasuk juga berupa denda administratif, baik kepada Garuda sendiri maupun kepada para direksi dan komisarisnya.
Jadi, walaupun holding BUMN terus dikejar, bisa dibilang agak ‘kentang’ kalau aksi rombak-merombak direksi tanpa alasan yang jelas masih terus dilakukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
