Ambisi Holding BUMN A la Jokowi, Efektifkah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 October 2019 12:41
Yang Paling Penting Malah Belum Beres
Foto: Gedung BUMN

Namun begitu, kekurangan dari pembentukan holding BUMN di era Jokowi adalah eksekusinya yang belum 100%. Celakanya, holding yang saat ini belum terbentuk adalah holding dari sektor yang bisa dibilang paling krusial bagi perekonomian Indonesia, yakni holding sektor perbankan dan jasa keuangan.

Sektor perbankan dan jasa keuangan memang begitu krusial bagi perekonomian tanah air, seiring dengan sifatnya sebagai intermediasi keuangan (menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan ke pihak yang membutuhkan).

Saat ini, perbankan di tanah air sedang menghadapi permasalahan ketatnya likuiditas. Per Agustus 2019, Loan to Deposits Ratio (LDR) tercatat naik menjadi 94,66%, dari yang sebelumnya 93,79% pada Agustus 2018. Per Juli 2019, LDR tercatat berada di level 94,48%.

Ketatnya likuiditas terbukti mulai mengendurkan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Hingga Agustus 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.251,8 triliun, naik 8,5% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Agustus 2018 yang mencapai 12,4% YoY.

Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis.

Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Pada Agustus 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,14%. Pada Agustus 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,9% saja.

Nah, holding BUMN sektor perbankan dan jasa keuangan bisa mengatasi masalah ini. Dengan membentuk sebuah holding, maka gabungan perbankan dan lembaga keuangan di dalam holding tersebut bisa mencari pendanaan untuk disuntikkan ke salah satu anggota holding.

Pembentukan holding sektor perbankan dan jasa keuangan juga bisa membuat bank plat merah lebih mandiri dengan tak lagi meminta Penyertaan modal Negara (PMN) ke pemerintah.

Di saat perekonomian sedang lesu seperti saat ini, segala upaya yang mampu mendongkrak penyaluran kredit perbankan perlu segera dieksekusi.

Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Kalau permasalahan ketatnya likuiditas perbankan tak juga dibenahi, bisa dipastikan bahwa penyaluran kredit akan tetap lesu yang pada akhirnya membuat perputaran roda ekonomi menjadi relatif lambat.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Jangan Banyak Utak-Atik Direksi

(ank/ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular