
Ambisi Holding BUMN A la Jokowi, Efektifkah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode satu Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir dan periode dua dari pemerintahan mantan Walikota Solo tersebut akan segera dimulai.
Di periode satu, berbagai kebijakan ambisius coba dieksekusi oleh Jokowi, salah satunya adalah terkait pembentukan perusahaan induk (holding) bagi para BUMN. Untuk diketahui, holding atau perusahaan induk merupakan sebuah perusahaan yang membawahi beberapa perusahaan lain yang berada dalam naungan grup perusahaan.
Diharapkan, pembentukan holding akan membuat BUMN yang begitu banyak jumlahnya bisa fokus ke dalam lini bisnis yang memang merupakan spesiaslisasi dari masing-masing BUMN tersebut. Dengan hal ini, diharapkan kontribusi dari BUMN terhadap perekonomian bisa semakin besar dan kinerja keuangannya masing-masing akan lebih oke, yang pada akhirnya akan mendongkrak penerimaan negara melalui penyaluran dividen yang lebih besar.
Di era Jokowi, ada beberapa sektor bisnis yang ditargetkan untuk dibentuk holding-nya, seperti perbankan dan jasa keuangan, pertambangan, minyak dan gas (migas), perumahan dan konstruksi, serta pangan.
Pada tahun 2018, pemerintah telah membentuk holding migas. Dalam holding BUMN migas, PT Pertamina ditunjuk sebagai induk. PT Pertamina membawahi dua BUMN lain yakni PT Pertamina Gas (Pertagas) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (kode saham: PGAS)
Pada tahun yang sama, pemerintah juga telah membentuk holding BUMN tambang. Dalam holding BUMN tambang, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) didapuk sebagai induk dan membawahi PT Antam Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS).
Sebelumnya, pemerintah tercatat telah membentuk holding semen, perkebunan, perhutani, dan juga pupuk.
Guna melihat efektivitas dari pembentukan holding BUMN, Tim Riset CNBC Indonesia membedah kinerja keuangan dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembentukan holding tersebut, baik perusahaan yang ditunjuk menjadi holding maupun yang menjadi anak usaha.
PT Pertamina (Persero) mengklaim membukukan lonjakan perolehan laba bersih sebesar 120% secara tahunan (year-on-year) pada semester I-2019. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Keuangan Pertamina Pahala Mansury kepada awak media.
Dihubungi terpisah, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan bahwa pertumbuhan laba tersebut didorong oleh perbaikan biaya.
"Karena adanya penurunan harga minyak mentah/ICP," kata Fajriyah pada bulan Agustus silam.
Di kesempatan lain, Fajriyah menegaskan bahwa perolehan laba Pertamina tersebut murni berasal dari pengurangan beban operasional dan produksi perusahaan.
"Selain karena faktor ICP, ada juga faktor lain yang tidak terkait dengan ICP, misalnya efisiensi di kontrak jasa, efisiensi di pengurangan dry hole, efisiensi di cost of logistics dan sebagainya. COGS itu banyak komponen di dalamnya," jelas Fajriyah saat dihubungi CNBC Indonesia pada akhir Agustus silam.
Beralih ke PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), sepanjang semester I-2019 perusahaan membukukan penurunan laba bersih hingga 69,9% secara tahunan menjadi US$ 54 juta, dari yang sebelumnya US$ US$ 179,4 juta.
Namun, penurunan laba diketahui bukan berasal dari adanya tekanan di penjualan perusahaan. Memang, penjualan PGAS tercayat turun sepanjang semester I-2019 secara tahunan, yakni sebesar 6,7%. Namun, penurunannya terbilang sangat tipis jika dibandingkan penurunan di pos laba bersih sehingga tak bisa dikatakan bahwa kegiatan operasional merupakan faktor utama dari anjloknya laba bersih.
Beralih ke PT Antam Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS) yang menjadi anggota dari holding BUMN tambang, penjualan masing-masing perusahaan dalam enam bulan pertama tahun ini terbilang oke. Sepanjang semester-I 2019, perusahaan membukukan pertumbuhan penjualan secara tahunan masing-masing sebesar 22,1%, 1,2%, dan 120,5%.
Di sini, terbukti bahwa pembentukan holding membawa dampak positif bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Yang Paling Penting Malah Belum Beres
Namun begitu, kekurangan dari pembentukan holding BUMN di era Jokowi adalah eksekusinya yang belum 100%. Celakanya, holding yang saat ini belum terbentuk adalah holding dari sektor yang bisa dibilang paling krusial bagi perekonomian Indonesia, yakni holding sektor perbankan dan jasa keuangan.
Sektor perbankan dan jasa keuangan memang begitu krusial bagi perekonomian tanah air, seiring dengan sifatnya sebagai intermediasi keuangan (menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan ke pihak yang membutuhkan).
Saat ini, perbankan di tanah air sedang menghadapi permasalahan ketatnya likuiditas. Per Agustus 2019, Loan to Deposits Ratio (LDR) tercatat naik menjadi 94,66%, dari yang sebelumnya 93,79% pada Agustus 2018. Per Juli 2019, LDR tercatat berada di level 94,48%.
Ketatnya likuiditas terbukti mulai mengendurkan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit. Hingga Agustus 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.251,8 triliun, naik 8,5% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Agustus 2018 yang mencapai 12,4% YoY.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis.
Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada Agustus 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,14%. Pada Agustus 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,9% saja.
Nah, holding BUMN sektor perbankan dan jasa keuangan bisa mengatasi masalah ini. Dengan membentuk sebuah holding, maka gabungan perbankan dan lembaga keuangan di dalam holding tersebut bisa mencari pendanaan untuk disuntikkan ke salah satu anggota holding.
Pembentukan holding sektor perbankan dan jasa keuangan juga bisa membuat bank plat merah lebih mandiri dengan tak lagi meminta Penyertaan modal Negara (PMN) ke pemerintah.
Di saat perekonomian sedang lesu seperti saat ini, segala upaya yang mampu mendongkrak penyaluran kredit perbankan perlu segera dieksekusi.
Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.
Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.
Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.
Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Kalau permasalahan ketatnya likuiditas perbankan tak juga dibenahi, bisa dipastikan bahwa penyaluran kredit akan tetap lesu yang pada akhirnya membuat perputaran roda ekonomi menjadi relatif lambat.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Jangan Banyak Utak-Atik Direksi
Menjelang pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin dan pengumuman kabinet yang akan mendampingi, Jokowi harus hati-hati benar dalam menunjuk menteri BUMN. Pasalnya, Rini Soemarno selaku menteri BUMN saat ini punya kebiasaan buruk yakni mengonta-ganti direksi BUMN.
Padahal guna mendorong BUMN supaya bisa mencetak kinerja yang maksimal, tentu perencanaan menjadi salah satu kuncinya. Dibutuhkan roadmap yang jelas dan terukur untuk memaksimalkan setiap sumber daya yang dimiliki oleh BUMN itu sendiri. Nah, roadmap ini merupakan tanggung jawab dari jajaran direksi.
Jokowi harus belajar dari kasus yang terjadi di tubuh PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang merupakan maskapai pelat merah. Pada awal masa jabatan Menteri Rini, Arif Wibowo diangkat menjadi Dirut Garuda untuk masa kepemimpinan 2014-2019. Kala itu RUPS juga melakukan perampingan jumlah dewan direksi dari delapan menjadi enam.
Namun belum tuntas masa jabatan, Arif Wibowo keburu dilengserkan pada April 2017 dan digantikan oleh Pahala Nugraha Mansury (mantan Direktur Keuangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk/BMRI).
Nasib Pahala Nugraha kemudian sama dengan Arif Wibowo, dirinya dicopot dari jabatan sebelum waktunya, yakni pada September 2018. Berdasarkan RUPSLB yang berlangsung saat itu, Ari Ashkara yang merupakan Dirut PT Pelindo III didapuk menjadi pimpinan Garuda menggantikan Pahala Nugraha.
Tak sampai lima tahun, Rini mengganti posisi Dirut Garuda sebanyak tiga kali.
Kini, mari tengok kinerja keuangan Garuda. Pada tahun 2014, Garuda membukukan kerugian bersih senilai US$ 370 juta. Masuk ke tahun 2015, penunjukkan Dirut baru oleh Rini berhasil memutarbalikkan kondisi keuangan perusahaan. Kala itu, Garuda membukukan laba bersih senilai US$ 76,5 juta. Masuk ke tahun 2016, walaupun turun drastis, setidaknya perusahaan masih bisa membukukan laba bersih, yakni senilai US$ 8,1 juta.
Pada tahun 2017 kala Menteri Rini memasukkan Dirut baru, Garuda membukukan rugi bersih senilai US$ 216,6 juta.
Maju ke tahun 2018 kala posisi Dirut diganti lagi, Garuda malah menciptakan skandal yang menggemparkan pasar saham tanah air. Sejatinya, Garuda membukukan laba bersih senilai US$ 809.846 kala itu.
Namun, penyajian laporan keuangan tahun 2018 terbukti tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga akhirnya membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi kepada perusahaan, di mana salah satunya adalah memperbaiki dan menyajikan kembali Laporan Keuangan Tahunan (LKT) tahun 2018.
"Memberikan Perintah Tertulis kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk memperbaiki dan menyajikan kembali LKT PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk per 31 Desember 2018," demikian kutipan sanksi yang diberikan OJK dalam keterangan resminya.
"Serta melakukan paparan publik (public expose) atas perbaikan dan penyajian kembali LKT per 31 Desember 2018 dimaksud paling lambat 14 hari setelah ditetapkannya surat sanksi, atas pelanggaran Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU PM)."
Selain itu, sanksi yang diberikan oleh OJK termasuk juga berupa denda administratif, baik kepada Garuda sendiri maupun kepada para direksi dan komisarisnya.
Jadi, walaupun holding BUMN terus dikejar, bisa dibilang agak ‘kentang’ kalau aksi rombak-merombak direksi tanpa alasan yang jelas masih terus dilakukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Kode Keras Jokowi: Holding BUMN Bakal Terus Berlanjut!
