- Perang dagang memenuhi headlines banyak surat kabar asing beberapa bulan terakhir. Satu yang paling anyar adalah Perang Dagang antara Amerika Serikat dengan China. Pertama kali sejak Depresi Akbar (
), AS melancarkan Perang Dagang terhadap beberapa mitra utamanya, tapi perangnya terhadap China, terlihat amat sangat khusus.
Perang dagang adalah konflik terbuka antara dua negara di bidang ekonomi yang terjadi dengan memberlakukan tarif baru atau meningkatkan tarif yang sudah ada, atau memberlakukan hambatan perdagangan lain yang bersifat non-tarif guna menekan pihak lain untuk mengikuti agenda ekonomi-politik yang diharapkan.
Perang dagang biasanya dipicu oleh kebijakan proteksionisme yang bertujuan untuk melindungi produsen lokal, menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri, dan menghukum negara lain karena praktik dagang negara tersebut tidak adil secara bisnis sehingga perlu diseimbangkan dengan pos tarif.
Amerika Serikat (AS) terakhir kali mengalami perang dagang pada tahun 1929-1930, ketika dipimpin oleh Herbert Hoover. Saat itu, sang presiden berjanji "menumpas kemiskinan dari bangsa ini-atas seizin Tuhan." Presiden tersebut menuding imigran Meksiko sebagai biang jatuhnya ekonomi AS.
Lalu, dia menyerukan kebijakan "America First" dengan mengenakan tarif atas impor produk pertanian. Selanjutnya, dia meneken Smoot-Hawley Tariff Act yang mengenakan tarif atas 20.000 item impor yang memicu balasan oleh 23 mitra dagang utamanya. Petisi 1.028 ekonom untuk membatalkan rencana itu tak dipedulikannya, hingga AS kemudian jatuh ke resesi terbesar dalam sejarahnya yakni Great Depression, yang juga menekan pertumbuhan ekonominya hingga rata-rata -6% per tahun (1930-1933).
Mengapa kini muncul lagi?Presiden AS Donald Trump dalam kampanyenya pada tahun 2017 menjual janji akan menciptakan lapangan kerja di AS dan "mengembalikan kesejahteraan AS yang dicuri" oleh mitra dagang utamanya. Karenanya, ketika terpilih dia dengan gaya kepemimpinannya yang "semau gue" secara sepihak menarik diri dari beberapa perjanjian perdagangan dengan alasan "merugikan AS" dan mengenakan tarif terhadap berbagai produk impor dari mitra-mitra dagang utamanya, terutama China.
Sejak kapan mulai berlaku?
Trump mulai melancarkan perang dagang sejak hari pertama dia memegang tampuk pemerintahan. Pada Januari 2017, dia meneken perintah eksekutif untuk menarik AS dari kesepakatan dan negosiasi Trans-Pacific Partnership (TPP) dan mengatakan akan mengenakan tarif impor terhadap produk China hingga 45%.
Jika diklasifikasikan berdasarkan ruas waktu, Trump baru melancarkan serangan tarif ke mitra dagang utamanya, terutama China, pada tahun 2018. Sebelumnya pada 2017, pemerintah Trump hanya melakukan kajian dan menyusun daftar barang yang akan dikenakan tarif.
Pada April 2017 Trump meminta Departemen Perdagangan AS menginvestigasi apakah impor baja dari China dan negara lain melukai kepentingan AS. Selanjutnya pada Agustus di tahun yang sama, Trump memulai penyelidikan kedua terhadap China yang dipimpin oleh Perwakilan Dagang AS Robert Lightizer.
Hasilnya, China dinilai mencuri hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang merugikan AS hingga US$225 miliar dan US$600 miliar tiap tahun. Dari situ, mereka mulai ancang-ancang mengenakan tarif terhadap ribuan produk yang akan disasar.
BERLANJUT KE HAL 3 >>> Mengapa China Dibidik Khusus?
China adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Pertumbuhan pesat negara tersebut dinilai semakin mengancam hegemoni AS setelah Negeri Panda tersebut memasang program "Made in China 2025" di mana 10 industri strategis akan digenjot oleh pemerintahuntuk menguasai hi-tech di percaturan global.
Program nasional yang dirilis pada 2015 tersebut meliputi 10 industri yakni mobil listrik, teknologi informasi (IT) telekomunikasi, robotika, intelijensi buatan (artificial intelligent/ AI), teknologi pertanian, rekayasa pesawat antariksa, alat kesehatan canggih, biofarmasi, infrastruktur rel kelas atas, dan rekayasa kelautan.
Berapa "Skor" Sejauh ini?
AS pada tahun lalu mengimpor produk China senilai total US$540 miliar. Sejauh ini tarif sebesar 25% secara efektif telah dikenakan terhadap produk impor China senilai US$250 miliar, atau setara dengan 46,3% dari nilai total impor tersebut. Trump mengincar pengenaan tarif sebesar 25% untuk produk sisanya (sebesar US$290 miliar).
Di sisi lain, China hanya mengimpor produk AS senilai US$120 miliar pada tahun 2018. Negeri Tirai Bambu sejauh ini mengenakan tarif tambahan untuk produk AS senilai US$110 miliar atau 91,7% dari total impor mereka dari AS.
BERLANJUT KE HAL 4 >>>
Berapa kali tarif dinaikkan?AS sejauh ini mengubah kebijakan tarifnya terhadap produk China sebanyak enam kali. Lima kali pada 2018, dan sekali pada 2019 yang merupakan penaikan tarif untuk produk yang sudah dinaikkan tarifnya pada 2018.
Di sisi lain, China membalas sebanyak tiga kali; dua kali pada 2018, dan sekali pada 2019, yang juga merupakan penaikan tarif untuk produk yang pada 2018 sudah dibidik tapi belum dilaksanakan.
Berapa produk yang terkena tarif?
AS mengenakan tarif terhadap 5.984 produk China setara dengan US$250 miliar. Sebaliknya, China mengenakan tarif terhadap 258 produk asal AS setara US$110 miliar.
Kronologinya Bagaimana?
Putaran pertama perang dagang AS dan China berlangsung pada tahun lalu (2018):
- 22 Januari: Washington mengenakan tarif atas panel surya dan mesin cuci asal China.
- 1 Maret: Trump mengenakan tarif baru terhadap baja dan aluminium, masing-masing sebesar 25% dan 10% kecuali untuk Kanada dan Meksiko. Daftar yang dikecualikan akhirnya bertambah termasuk Uni Eropa, Argentina, Australia, Brazil, dan Korea Selatan.
- 2 April: Beijing mengenakan tarif 15%-25% untuk 128 produk AS senilai US$60 miliar. Produk yang kena tarif 25% meliputi skrap aluminium, pesawat, mobil, produk babi, kedelai, sedangkan yang kena tarif 15% meliputi kacang-kacangan, buah, pipa baja.
- 3 April: Robert Lighthizer merilis daftar tambahan berisi 1.300 produk China yang bakal dikenai bea masuk, untuk membalas "pemaksaan transfer teknologi dan HAKI di AS". Nilai produk impor itu setara US$50 miliar meliputi bahan mentah, mesin konstruksi, pesawat angkasa, alat pertanian, elektronik, alat kesehatan, dan produk konsumer.
- 4 April: China menyusun daftar 106 produk AS yang bakal dikenakan tarif sebesar 25% dengan nilai total US$50 miliar, meliputi pesawat terbang, whiskey, mobil, dan kedelai.
- 5 April: Trump menerbitkan pernyataan bahwa pihaknya bersiap-siap mengenakan tarif tambahan untuk produk China senilai US$100 miliar
- 16 April: Kementerian Perdagangan AS melarang perusahaan AS menjual suku cadang, piranti lunak, dan komponennya ke raksasa perangkat telekomunikasi ZTE Corp selama 7 tahun karena ZTE berdagang dengan Iran.
- 15 Juni: AS resmi mengumumkan tarif terhadap 818 dari 1.300 produk impor dari China senilai US$50 miliar, setelah pada 20 Mei Menteri Keuangan Steven Mnuchin sempat mengumumkan penghentian sementara perang dagang.
- 16 Juni: China mengumumkan detil 545 item senilai US$34 miliar yang bakal dikenai tarif, dan mengancam memberlakukan tarif terhadap produk lain senilai US$16 miliar
- 18 Juni: Trump memerintahkan Lembaga Perwakilan Dagang AS (US Trade Respresentative/ USTR) untuk mengidentifikasi produk asal China senilai US$200 miliar yang layak dikenai tarif tambahan sebesar 10 %
- 6 Juli: Bea Cukai AS resmi memungut tarif impor atas 818 produk China senilai US$34 miliar
- 10 Juli: Trump mengumumkan rencana pengenaan tarif sebesar 10% terhadap 6.000 produk impor asal China senilai US$200 miliar
- 2 Agustus: USTR menilai tarif yang tepat untuk diberikan pada produk China senilai US$200 miliar adalah 25%, alih-alih 10%, menyasar produk konsumer, bahan kimia dan konstruksi, tekstil, perkakas, produk makanan dan pertanian, peralatan elektronik komersial, dan suku cadang otomotif.
- 3 Agustus: China menyusun daftar tarif bagi 5.207 produk AS senilai US$60 miliar.
- 7 Agustus: AS merevisi dan merilis daftar tarif final berisi produk China senilai US$16 miliar yang dikenai tarif 25%, dan bukannya 10%, sementara China mengumumkan daftar tarif resiprokal sebesar 25% untuk produk AS senilai US$16 miliar. Keduanya dinyatakan berlaku efektif pada 23 Agustus.
- 14 Agustus: China menggugat AS di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
- 22 Agustus: China dan AS menggelar dialog pertama kali, tetapi tak membuahkan hasil
- 23 Agustus: AS berlakukan tarif gelombang kedua sebesar 25% terhadap 279 produk China senilai US$16 miliar mulai dari semikonduktor, plastik, bahan kimia, motor, dan skuter, sedangkan China berlakukan tarif 25% bagi 333 produk seperti batu bara, skrap tembaga, BBM, bus, dan alat kesehatan. China juga ajukan gugatan ke WTO.
- 7 September: Trump mengancam pengenaan tarif baru terhadap sisa produk impor asal China yang belum terkena tarif, dengan nilai total US$290 miliar
- 24 September: AS resmi memberlakukan tarif 10% terhadap produk China senilai US$200 miliar, sehingga total produk China yang terkena tarif adalah US$250 miliar. Tarif itu akan naik menjadi 25% pada 1 Januari 2019. China membalas dengan mengimplementasikan tarif 5-10% untuk produk impor asal AS senilai US$60 miliar.
- 2 Desember: Kedua belah pihak menyetujui perdamaian sementara di sela makan malam forum G20 di Argentina. Keduanya sepakat untuk menahan pemberlakuan tarif hingga 1 Maret 2019 sembari terus bernegosiasi.
Putaran kedua perang dagang AS dan China berlangsung pada tahun ini (2019):
- 7 Januari: AS dan China gelar pembicaraan kedua di Beijing.
- 22 Januari: Washington membatalkan pembicaraan negosiasi dengan China.
- 30 Januari: AS dan China kembali gelar pembicaraan (ketiga) di Washington.
- 11 Februari: Kedua belah pihak kembali gelar pembicaraan (keempat) di Beijing.
- 21 Februari: Pertemuan kelima digelar di Washington, Trump siap memperpanjang deadline pengenaan tarif. Demikian juga dengan China.
- 28 Maret: Delegasi AS dan China menggelar pembicaraan keenam di Beijing
- 3 April: Pembicaraan ketujuh digelar di Washington
- 30 April: Pembicaraan kedelapan dilakukan di Washington
- 5 Mei: AS mengancam akan mengenakan tarif baru 25% untuk produk China senilai US$200 miliar yang sebelumnya telah terkena tarif sebesar 10% (Tarif ini rencana awalnya akan diberlakukan pada 1 Januari 2019, tapi ditunda menjadi 30 Maret 2019 dan ditunda lagi hingga hari itu).
- 10 Mei: Kenaikan tarif menjadi sebesar 25% resmi diberlakukan oleh Washington. Selain itu, AS mengancam pemberlakuan tarif 25% pada sisa produk China senilai US$290 juta yang belum kena tarif.
- 13 Mei: China membalas dengan kenaikan tarif sebesar 5-25% untuk produk impor AS senilai US$60 miliar
- 1 September: AS memberlakukan bea masuk 15% pada produk asal China senilai US$ 112 miliar. Sedangkan Negeri Tiongkok mengenakan tarif 5% dan 10% pada 1.717 produk Made in USA.
- 10-11 Oktober: Pertemuan kesembilan dilansungkan di Washington yang berujung pada penundaan kenaikan tarif hingga 30% pada produk milik China senilai US$ 250 miliar yang rencananya berlaku 15 Oktober.
BERLANJUT KE HAL 5 >>>> Apa dampaknya terhadap AS dan China?
Bagi konsumen AS, perang dagang membuat mereka cenderung membeli produk non-China, terutama produk dalam negeri karena harganya menjadi lebih murah ketimbang produk asal China. Namun, menurut Neil C. Hughes dalam bukunya A Trade War with China?, nyaris 60% dari produk China yang diimpor AS adalah produksi korporasi global terutama AS sehingga perang dagang secara tidak langsung memukul kinerja swasta AS. Trump yakin bahwa perang dagang akan membuat korporasi global hengkang dari China.
Bagi China, perang dagang membuat mereka kesulitan mengakses produk asal AS yang belum bisa mereka produksi sendiri, misalnya chip komputer. Demikian juga potensi bisnis yang berpeluang didapat oleh raksasa teknologi mereka, Huawei. Dari sisi perdagangan, China harus mengimpor barang dari AS dengan harga lebih tinggi, meski juga bisa mencari barang komplementer dari negara lain, seperti misalnya kedelai dari Argentina.
Bagaimana dampaknya terhadap dunia?
Ada dua gelombang yang ditimbulkan oleh perang dagang terhadap dunia. Gelombang pertama berupa kejatuhan bursa global karena pasar mengkhawatirkan efek perang dagang tersebut terhadap kinerja emiten dan ekonomi dunia, sehingga melakukan penjualan besar-besaran aset mereka di pasar modal yang mengganggu likuiditas di dunia.
Gelombang kedua terjadi ketika perang dagang mulai memperberat ekonomi kedua negara berperekonomian terbesar dunia tersebut, yang pada gilirannya mengganggu kinerja sektor riil dan penyerapan konsumsi mereka. Ini akan memperburuk kondisi ekonomi mereka yang juga mengganggu ekonomi global. IMF misalnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,7% menjadi 3,5%, dan terakhir menjadi 3,2% untuk tahun 2019.
Pada gelombang pertama, perang dagang bakal memukul pasar modal dan pasar keuangan Indonesia. Sepanjang 2018, rupiah terdepresiasi hingga 7% di tengah gonjang-ganjing perang dagang yang membuat investor global mengalihkan dana mereka dari pasar negara berkembang yang berisiko, seperti Indonesia, ke negara maju.
IHSG tahun lalu tertekan 2,54%. Sepanjang tahun berjalan ini, IHSG turun 3,69% dan rupiah tertekan 0,61%. Yield obligasi sepanjang 2019 naik dari 7,87% (32 Desember 2018), ke 8,1% (kemarin). Artinya harga melemah karena aksi jual. Hanya saja, asing masih betah dengan kepemilikan SUN Rp 954,4 triliun dibandingkan posisi akhir tahun lalu (Rp 893,2 triliun).
Pada gelombang kedua, Indonesia akan melihat permintaan barang-barang meningkat dari kedua negara tersebut, untuk mengganti barang yang terkena tarif ekstra. Ini menjadi peluang bagi industri nasional seperti baja, buah, dan produk pertanian. Hanya saja, Indonesia juga akan melihat produk kedua negara mengalir ke negara berkembang termasuk Indonesia jika permintaan di kedua negara tersebut menurun karena tarif yang tinggi. Imbasnya, produk lokal bakal menghadapi gemepuran produk China dan AS.
Terakhir, Indonesia akan melihat permintaan energi dan bahan baku dari kedua negara menurun ketika perekonomian keduanya melambat, akibat kenaikan biaya produksi dan penurunan konsumsi. Perlambatan kedua negara juga akan membuat permintaan dunia melambat sehingga bakal menekan ekspor energi dan bahan baku asal Indonesia.
Skenario terbaik apa yang bisa diharapkan?
AS dan China mencapai kesepakatan baru yang mencegah penaikan tarif, dengan klausul-klausul yang sedikit merugikan China-misalnya mencabut berbagai ketentuan transfer teknologi dan meningkatkan perlindungan HAKI. Jika ini terjadi, perdagangan dunia berjalan akan sebagaimana mestinya sehingga pertumbuhan ekonomi dunia tidak terganggu.
Skenario terburuk apa yang bisa terjadi?
Perang dagang berlarut-larut, dan China "menyamakan kedudukan" dengan menarik kepemilikannya di SUN AS (US treasury) yang saat ini nilainya mencapai US$1,12 triliun. Jika langkah tersebut diambil, yield obligasi AS diperkirakan menguat hingga 40 basis poin.
Kenaikan yield otomatis mendongkrak biaya pendanaan di pasar surat utang AS, dan memicu pelarian modal global dari negara berkembang untuk membeli SUN Negara Adi Daya itu. Hanya saja, pilihan ini juga tidak ideal untuk China karena akan membuat mata uangnya menguat tak terkendali, kecuali jika dananya diinvestasikan ke aset di negara lain