
Perang Dagang: Kompetisi Berdalih Proteksi

Apa dampaknya terhadap AS dan China?
Bagi konsumen AS, perang dagang membuat mereka cenderung membeli produk non-China, terutama produk dalam negeri karena harganya menjadi lebih murah ketimbang produk asal China. Namun, menurut Neil C. Hughes dalam bukunya A Trade War with China?, nyaris 60% dari produk China yang diimpor AS adalah produksi korporasi global terutama AS sehingga perang dagang secara tidak langsung memukul kinerja swasta AS. Trump yakin bahwa perang dagang akan membuat korporasi global hengkang dari China.
Bagi China, perang dagang membuat mereka kesulitan mengakses produk asal AS yang belum bisa mereka produksi sendiri, misalnya chip komputer. Demikian juga potensi bisnis yang berpeluang didapat oleh raksasa teknologi mereka, Huawei. Dari sisi perdagangan, China harus mengimpor barang dari AS dengan harga lebih tinggi, meski juga bisa mencari barang komplementer dari negara lain, seperti misalnya kedelai dari Argentina.
Bagaimana dampaknya terhadap dunia?
Ada dua gelombang yang ditimbulkan oleh perang dagang terhadap dunia. Gelombang pertama berupa kejatuhan bursa global karena pasar mengkhawatirkan efek perang dagang tersebut terhadap kinerja emiten dan ekonomi dunia, sehingga melakukan penjualan besar-besaran aset mereka di pasar modal yang mengganggu likuiditas di dunia.
Gelombang kedua terjadi ketika perang dagang mulai memperberat ekonomi kedua negara berperekonomian terbesar dunia tersebut, yang pada gilirannya mengganggu kinerja sektor riil dan penyerapan konsumsi mereka. Ini akan memperburuk kondisi ekonomi mereka yang juga mengganggu ekonomi global. IMF misalnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,7% menjadi 3,5%, dan terakhir menjadi 3,2% untuk tahun 2019.
Pada gelombang pertama, perang dagang bakal memukul pasar modal dan pasar keuangan Indonesia. Sepanjang 2018, rupiah terdepresiasi hingga 7% di tengah gonjang-ganjing perang dagang yang membuat investor global mengalihkan dana mereka dari pasar negara berkembang yang berisiko, seperti Indonesia, ke negara maju.
IHSG tahun lalu tertekan 2,54%. Sepanjang tahun berjalan ini, IHSG turun 3,69% dan rupiah tertekan 0,61%. Yield obligasi sepanjang 2019 naik dari 7,87% (32 Desember 2018), ke 8,1% (kemarin). Artinya harga melemah karena aksi jual. Hanya saja, asing masih betah dengan kepemilikan SUN Rp 954,4 triliun dibandingkan posisi akhir tahun lalu (Rp 893,2 triliun).
Pada gelombang kedua, Indonesia akan melihat permintaan barang-barang meningkat dari kedua negara tersebut, untuk mengganti barang yang terkena tarif ekstra. Ini menjadi peluang bagi industri nasional seperti baja, buah, dan produk pertanian. Hanya saja, Indonesia juga akan melihat produk kedua negara mengalir ke negara berkembang termasuk Indonesia jika permintaan di kedua negara tersebut menurun karena tarif yang tinggi. Imbasnya, produk lokal bakal menghadapi gemepuran produk China dan AS.
Terakhir, Indonesia akan melihat permintaan energi dan bahan baku dari kedua negara menurun ketika perekonomian keduanya melambat, akibat kenaikan biaya produksi dan penurunan konsumsi. Perlambatan kedua negara juga akan membuat permintaan dunia melambat sehingga bakal menekan ekspor energi dan bahan baku asal Indonesia.
Skenario terbaik apa yang bisa diharapkan?
AS dan China mencapai kesepakatan baru yang mencegah penaikan tarif, dengan klausul-klausul yang sedikit merugikan China-misalnya mencabut berbagai ketentuan transfer teknologi dan meningkatkan perlindungan HAKI. Jika ini terjadi, perdagangan dunia berjalan akan sebagaimana mestinya sehingga pertumbuhan ekonomi dunia tidak terganggu.
Skenario terburuk apa yang bisa terjadi?
Perang dagang berlarut-larut, dan China "menyamakan kedudukan" dengan menarik kepemilikannya di SUN AS (US treasury) yang saat ini nilainya mencapai US$1,12 triliun. Jika langkah tersebut diambil, yield obligasi AS diperkirakan menguat hingga 40 basis poin.
Kenaikan yield otomatis mendongkrak biaya pendanaan di pasar surat utang AS, dan memicu pelarian modal global dari negara berkembang untuk membeli SUN Negara Adi Daya itu. Hanya saja, pilihan ini juga tidak ideal untuk China karena akan membuat mata uangnya menguat tak terkendali, kecuali jika dananya diinvestasikan ke aset di negara lain
(ags/sef)