Dalam lima tahun terakhir, IHSG tercatat hanya melemah dua kali secara bulanan pada bulan Oktober, yakni pada tahun 2014 (-0,93%) dan 2018 (-2,42%).
Apalagi, sejumlah sentimen penting juga akan membayangi pada bulan ini dan bisa menekan kinerja IHSG.
Pertama, ada rilis angka inflasi yang dijadwalkan pada hari ini, Selasa (1/10/2019), oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memproyeksikan pada bulan September justru terjadi deflasi sebesar 0,15% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) diproyeksikan berada di level 3,52%.
Jika benar ada deflasi pada bulan lalu, maka akan menandai deflasi pertama sejak bulan Februari.
Pada perdagangan kemarin, pelaku pasar sudah terlihat grogi dalam menantikan rilis angka inflasi. Pada perdagangan kemarin, indeks sektor barang konsumsi terkoreksi 0,45%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG setelah indeks sektor jasa keuangan yang melemah 0,88%.
Memang, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan terjadinya deflasi seperti kehadiran musim panen dan turunnya harga emas dunia.
Namun begitu, dikhawatirkan bahwa adanya deflasi justru mempertegas lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Sebelumnya pada periode Agustus 2019, BPS mencatat terjadi inflasi 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%.
Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.
Rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di level yang relatif rendah.
Lebih lanjut, tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat juga ditunjukkan oleh indikator lain. Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.
Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.
Sebagai catatan, sudah sedari Mei 2019 pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Sudah Dingin, AS-China Kini Panas Lagi
Memanasnya hubungan AS-China di bidang perdagangan menjadi sentimen kedua yang berpotensi menekan kinerja IHSG pada bulan ini. CNBC International melaporkan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump kini sedang mempertimbangkan langkah untuk memangkas investasi AS di China, seperti dikutip dari seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Sumber tersebut menyebut bahwa salah satu opsi yang mungkin diambil adalah memblokir seluruh investasi keuangan dari AS terhadap perusahaan-perusahaan asal China. Restriksi tersebut dimaksudkan untuk melindungi investor asal AS dari risiko yang berlebihan yang mereka tanggung, seiring dengan kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh China terhadap perusahaan-perusahaan di sana.
Sebelumnya, Bloomberg memberitakan bahwa para pejabat pemerintahan AS mempertimbangkan opsi untuk men-delisting perusahaan-perusahaan asal China yang melantai di AS. Langkah ini dimaksudkan guna membatasi aliran modal portofolio dari investor asal AS ke perusahaan-perusahaan asal China. Lebih lanjut, AS juga mempertimbangkan untuk melarang dana pensiun dari pegawai pemerintah untuk diinvestasikan ke pasar keuangan China.
Pemberitaan ini muncul kala kedua negara akan segera menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington. Melansir Bloomberg, Kementerian Perdagangan China menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He akan bertandang ke AS selepas tanggal 7 Oktober guna memimpin delegasi China.
Sebelumnya, seperti dilansir dari CNBC International yang mengutip tiga orang sumber yang mengetahui masalah tersebut, negosiasi dagang tingkat tinggi antara AS dan China akan digelar selama dua hari, yakni pada tanggal 10 dan 11 Oktober.
Sekedar mengingatkan, sebelumnya hubungan AS-China di bidang perdagangan telah berangsur-angsur membaik. Pada pekan lalu, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa Beijing telah membeli kedelai dan daging babi asal AS dalam jumlah yang cukup besar menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi antar kedua negara.
Pengumuman ini merupakan sebuah perubahan sikap yang signifikan dari pihak China, mengingat pada bulan Agustus Beijing memutuskan untuk menghentikan seluruh pembelian produk agrikultur asal AS.
Beijing pun pada akhirnya geram dengan pemberitaan yang kini beredar. Global Times pada hari Minggu (29/9/2019) menyebut bahwa potensi dibatasinya investasi AS di China sebagai sebuah langkah baru dari Washington untuk menjauhkan diri dari China.
Pemberitaan dari Global Times menyebut bahwa pemberitaan dari langkah-langkah seperti men-delisting perusahaan China dari bursa saham AS diproyeksikan akan menghasilkan dampak yang signifikan bagi perekonomian kedua negara, begitu pula dengan perusahaan-perusahaan.
Untuk diketahui, Global Times merupakan media yang dimiliki dan dijalankan oleh Partai Komunis China.
Dengan langkah pemerintah AS yang membuyarkan suasana ini, ada kemungkinan bahwa negosiasi dagang tingkat tinggi pada bulan depan tak akan berlangsung dengan mulus. Malahan, yang ada justru perang dagang bisa kembali tereskalasi.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> The Fed Pangkas Bunga Lagi? Belum Tentu!
Sentimen ketiga yang bisa menekan kinerja pasar saham tanah air adalah arah kebijakan moneter dari The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Memang, hasil pertemuan The Fed pada bulan depan baru akan diumumkan pada tanggal 31 Oktober waktu Indonesia.
Namun, ekspektasi terkait hasil pertemuan tersebut dipastikan akan menggerakan pasar keuangan global. Celakanya, perkembangan terkait ekspektasi tersebut kini tak menguntungkan bagi pasar saham.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 30 September 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan depan berada di level 46,5%. Padahal sebulan yang lalu, probabilitasnya mencapai 54,6%.
Sekedar mengingatkan, pada pertengahan bulan lalu The Fed mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke rentang 1,75%-2%, menandai pemangkasan kedua di tahun ini pasca sebelumnya The Fed juga mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan Juli. Keputusan tersebut sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian AS, serta rendahnya tekanan inflasi.
Namun, ada nada hawkish yang dilontarkan oleh Jerome Powell selaku Gubernur The Fed pada saat konferensi pers. Nada hawkish tersebut mengempiskan ekspetasi pelaku pasar bahwa masih akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan lagi hingga akhir tahun.
Walau menyebut bahwa pihaknya akan melakukan hal yang diperlukan guna mempertahankan ekspansi ekonomi, Powell menilai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan bulan lalu sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.
Pernyataan tersebut lantas menegaskan komentar Powell di bulan Juli bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
“Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif,” kata Powell pada bulan Juli silam, dilansir dari CNBC International.
“Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat.”
Keputusan The Fed terkait tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini akan sangat ditentukan oleh rilis data tenaga kerja AS. Pada tanggal 4 Oktober, data penciptaan lapangan kerja (sektor non-pertanian) periode September 2019 akan dirilis, berikut juga data tingkat pengangguran untuk periode yang sama.
Untuk diketahui, The Fed memperhatikan dua indikator utama dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya, yakni kondisi pasar tenaga kerja dan inflasi. Jika data tenaga kerja AS oke, maka ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan depan bisa semakin memudar.
Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut oleh The Fed akan membawa perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Lebih lanjut, memudarnya ekspektasi atas pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut oleh The Fed dikhawatirkan akan membatasi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
Untuk diketahui, dalam tiga pertemuan terakhir BI selalu memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps sehingga jika ditotal menjadi 75 bps. Hasil pertemuan BI pada bulan Oktober akan diumumkan pada tanggal 24.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> No-Deal Brexit Akan Jadi Kenyataan?
Sentimen keempat yang bisa membuat pasar keuangan tanah air meringis pada bulan ini adalah perkembangan proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias British exit (Brexit).
Beberapa waktu yang lalu, parlemen Inggris sejatinya telah menggolkan legislasi guna mencegah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membawa Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (no-deal Brexit).
Hingga saat ini, walaupun Inggris belum menyegel kesepakatan perceraian apapun dengan Uni Eropa, Johnson masih bersikukuh untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada tanggal 31 Oktober.
Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris sebelumnya telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pada kuartal II-2019, perekonomian Inggris tercatat jatuh sebesar 0,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter). Jika di kuartal III-2019 tetap terjadi kontraksi, maka Inggris akan resmi masuk ke jurang resesi.
Mengingat Inggris merupakan satu dari 10 negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentulah hantaman bagi perekonomian Inggris akan secara signifikan mempengaruhi laju perekonomian dunia, sekaligus menjadi sentimen negatif bagi bursa saham global.
TIM RISET CNBC INDONESIA