Simak! 4 Deal Akbar di Pasar Modal yang Kandas

tahir saleh, CNBC Indonesia
26 September 2019 12:11
Simak! 4 Deal Akbar di Pasar Modal yang Kandas
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Batalnya rencana mega merger perusahaan induk PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), Philip Morris International Inc (PMI) dengan Altria Group Inc, pada Rabu kemarin kian menambah deretan deal-deal yang kandas sepanjang tahun ini di pasar modal yang berkaitan dengan perusahaan Indonesia.

Berikut rangkuman beberapa kesepakatan bisnis baik merger dan akuisisi (M&A) yang batal karena ketidakcocokan harga, pertimbangan bisnis (laba/rugi), hingga sentimen regulasi yang tidak mendukung. Gagalnya kesepakatan bisnis itu semakin mencerminkan tidak mudah bagi dua perusahaan berskala besar dan menjadi pemain utama di sektor tertentu untuk mengambil keputusan bisnis.

Foto: Altria Group



Altria-Philip Morris International

Mega merger Altria dan Philip Morris International ini sebetulnya akan membentuk kapitalisasi pasar senilai US$ 187 miliar, setara Rp 2.618 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Sayangnya, merger ini dikabarkan akhirnya kandas, Rabu kemarin (25/9/2019).

Salah satu isu besar yang dihadapi terkait dengan batalnya mega merger ini adalah terganjal aturan ketat rokok elektrik (vape) yang dikeluarkan oleh otoritas Food & Drugs Administration (FDA) AS yang melarang rokok elektrik dengan kandungan rasa (flavored e-cigarettes).

Merger yang diperkirakan bernilai US$ 187 miliar atau versi Forbes sekitar US$ 200 miliar itu sempat terkatung-katung seiring dengan pengumuman FDA baru baru ini yang kian mengetatkan regulasi rokok elektrik di AS.


Bahkan Presiden AS Donald Trump memang sebelumnya berencana untuk menarik sebagian besar produk vape dari pasar karena meningkatnya kekhawatiran akan bahaya kesehatan dari menggunakan vape dan peningkatan penggunaan vape oleh remaja sebagai pengganti rokok.

FDA berencana melarang vape aroma buah yang populer beserta dengan rasa mentol dan mint. Hanya aroma tembakau yang akan diperbolehkan. Jika keputusan ini dijalankan, maka bisnis vape di AS akan terancam.

Menurut Forbes, baik Altria maupun PMI sama-sama masuk dan berinvestasi di rokok elektronik guna mengimbangi penurunan penjualan rokok tradisional.

Altria membayar US$ 12,8 miliar atau Rp 179 triliun untuk 35% saham Juul tahun lalu, sementara PMI menginvestasikan lebih dari US$ 6 miliar atau Rp 84 triliun pada perangkat tembakau yang dipanaskan yang disebut Iqos.

Namun, beberapa investor skeptis terhadap sinergi kedua perusahaan karena tingginya jumlah kematian dan penyakit terkait vaping yang dilaporkan di AS yang mungkin juga telah mengubah pemikiran dari para petinggi dua raksasa rokok dunia ini.

Foto: Doc.Telenor Swedia


Axiata-Telenor
Pada Mei lalu, pasar modal Asia dihebohkan dengan rencana merger Axiata Group Bhd Malaysia dengan perusahaan telekomunikasi Norwegia, Telenor ASA. Keduanya akan membuat holding company (Mergedco) di mana Telenor akan memegang saham mayoritas 56,5% sementara Axiata akan memegang 43,5%.

Gunn Wærsted, Chairman Telenor Group, dalam siaran persnya mengatakan dengan penggabungan ini, MergedCo akan memiliki hampir 300 juta pelanggan dan menjadi salah satu perusahaan infrastruktur seluler terbesar di Asia yang mengoperasikan sekitar 60.000 menara di seluruh Asia.

"Hari ini [Senin 6 Mei] kami mengumumkan bahwa Telenor dan Axiata sedang dalam diskusi tentang bergabungnya kekuatan di Asia, salah satu kawasan paling dinamis dan inovatif di dunia," kata Gunn dalam siaran pers dikutip CNBC Indonesia.


Manajemen Telenor mengungkapkan, dengan menyatukan dua organisasi yang kuat, maka akan ada peluang sinergi yang diperkirakan nilainya mencapai US$ 5 miliar atau 43 miliar krona Norwegia (NOK). Nilai tersebut setara dengan sekitar Rp 71 triliun, dengan asumsi kurs Rp 14.200/US$ dan kurs NOK Rp 1.641.

Sayangnya pada 9 September lalu, dalam keterangan resmi kedua pihak, di masing-masing situs perusahaan menunjukkan ada kendala prinsipil yang membuat keduanya tidak menemui kata sepakat dan mengakhiri rencana menggabungkan aset telekomunikasi mereka di Asia untuk menciptakan raksasa bisnis telekomunikasi Asia.

"Selama 4 bulan terakhir, kedua belah pihak telah bekerja dalam due diligence [uji tuntas] dan berupaya menyelesaikan perjanjian transaksi pada kuartal ketiga 2019. [tapi] karena beberapa kompleksitas dalam rencana transaksi ini, maka para pihak saling sepakat untuk mengakhiri diskusi [merger]," tulis pernyataan Telenor, diwakili Hanne Knudsen, Telenor Group Communications, dalam situs resmi perusahaan, dikutip CNBC Indonesia, Senin (9/9/2019).

LANJUT DI HALAMAN 2: Mandiri-Permata dan Antam-Halmahera

Mandiri-Permata
Pernyataan Standard Chartered (Stanchart) yang berencana melepas kepemilikan saham di PT Bank Permata Tbk (BNLI) langsung direspons oleh sejumlah institusi keuangan untuk mengincar bank swasta yang juga dimiliki oleh PT Astra International Tbk (ASII). Baik Stanchart maupun Astra memegang 45% saham BNLI.

Salah satu bank yang membidik BNLI ialah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Namun pada 27 Mei silam, sumber CNBC Indonesia, mengungkapkan Mandiri dikabarkan batal mengakuisisi saham BNLI. Alasannya disinyalir berkaitan dengan para pihak yang tak menemukan kata sepakat terkait dengan harga jual per saham bank tersebut.

"Diskusi terakhir dengan BMRI menunjukkan rencana mengakuisisi BNLI secara resmi batal setelah kedua pihak tak bersepakat soal harga," kata sumber tersebut, Senin (27/5/2019).

CNBC Indonesia sudah beberapa kali mengkonfirmasi kabar ini kepada perwakilan Bank Mandiri tapi belum mendapatkan pernyataan resmi, kendati sebelumnya manajemen Mandiri sempat menolak berkomentar saat ditanya soal batalnya transaksi ini.


Manajemen Mandiri hanya mengatakan rencana pengembangan anorganik (akuisisi) tersebut terlebih dahulu harus dimasukkan dalam rencana bisnis perusahaan atau disampaikan kepada regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pada awal mulai negosiasi pembelian Bank Permata, sumber CNBC Indonesia sempat menyampaikan bahwa Bank Mandiri awalnya masuk dengan penawaran harga nilai buku atau price to book value (PBV) sebesar 1,8x.

PBV ini adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, memiliki valuasi yang tinggi (overvalue) sedangkan saham yang memiliki PBV di bawah 1 memiliki valuasi yang rendah alias undervalue.

Seiring dengan proses negosiasi, Bank Mandiri kemudian menarik penawaran lama dan menyampaikan penawaran harga baru dengan PBV pada 1,4x-1,5x. Angka tersebut dinilai harga paling wajar bagi Bank Mandiri. Namun hingga kini rumor siapa pembeli BNLI pun belum terungkap.


Antam-Nusa Halmahera
Manajemen PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) resmi menyatakan sudah tak lagi tertarik untuk mengambil bagian dari rencana divestasi 26% saham PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) milik perusahaan tambang asal Australia, Newcrest Mining Limited (Newcrest).

Alasannya, Antam menilai cadangan emas di tambang tersebut sudah terbatas. Antam sebetulnya sudah memiliki 25% saham NHM dan punya hak penawaran terlebih dahulu atas saham yang dijual alias rights of first refusal.

Direktur Utama Aneka Tambang Arie Prabowo Ariotedjo mengatakan cadangan emas di NHM diperkirakan tinggal 300.000 troy ounce sehingga akuisisi ini dinilai tak cocok dengan segi ekonomisnya.

"Mungkin enggak [ikut] karena cadangannya tinggal 2-3 tahun lagi sudah habis. Menurut kita tinggal 300.000 troy ounce ya artinya kalau akuisisi dengan nilai yang ini ya bisa akuisisi rugi nanti ya, menurut kajian kami enggak masuk," kata Arie usai paparan pubik di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (21/8/2019).

Newcrest wajib mendivestasikan saham milik mereka sebesar 51% kepada pihak nasional dalam jangka waktu 2 tahun setelah penandatangan kontrak, atau pada 2020. Mereka sudah melepas 25% kepada Antam, dua kali yakni 17,5% dan 7,5% sehingga tersisa 26% lagi di mana Antam sebetulnya punya hak eksklusif untuk menyerap lebih dahulu.


(tas/hps) Next Article Gagal dengan Telenor, Axiata Ngotot Merger Bisnisnya di RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular