
Simak! 4 Deal Akbar di Pasar Modal yang Kandas

Mandiri-Permata
Pernyataan Standard Chartered (Stanchart) yang berencana melepas kepemilikan saham di PT Bank Permata Tbk (BNLI) langsung direspons oleh sejumlah institusi keuangan untuk mengincar bank swasta yang juga dimiliki oleh PT Astra International Tbk (ASII). Baik Stanchart maupun Astra memegang 45% saham BNLI.
Salah satu bank yang membidik BNLI ialah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Namun pada 27 Mei silam, sumber CNBC Indonesia, mengungkapkan Mandiri dikabarkan batal mengakuisisi saham BNLI. Alasannya disinyalir berkaitan dengan para pihak yang tak menemukan kata sepakat terkait dengan harga jual per saham bank tersebut.
"Diskusi terakhir dengan BMRI menunjukkan rencana mengakuisisi BNLI secara resmi batal setelah kedua pihak tak bersepakat soal harga," kata sumber tersebut, Senin (27/5/2019).
CNBC Indonesia sudah beberapa kali mengkonfirmasi kabar ini kepada perwakilan Bank Mandiri tapi belum mendapatkan pernyataan resmi, kendati sebelumnya manajemen Mandiri sempat menolak berkomentar saat ditanya soal batalnya transaksi ini.
Manajemen Mandiri hanya mengatakan rencana pengembangan anorganik (akuisisi) tersebut terlebih dahulu harus dimasukkan dalam rencana bisnis perusahaan atau disampaikan kepada regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada awal mulai negosiasi pembelian Bank Permata, sumber CNBC Indonesia sempat menyampaikan bahwa Bank Mandiri awalnya masuk dengan penawaran harga nilai buku atau price to book value (PBV) sebesar 1,8x.
PBV ini adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, memiliki valuasi yang tinggi (overvalue) sedangkan saham yang memiliki PBV di bawah 1 memiliki valuasi yang rendah alias undervalue.
Seiring dengan proses negosiasi, Bank Mandiri kemudian menarik penawaran lama dan menyampaikan penawaran harga baru dengan PBV pada 1,4x-1,5x. Angka tersebut dinilai harga paling wajar bagi Bank Mandiri. Namun hingga kini rumor siapa pembeli BNLI pun belum terungkap.
Antam-Nusa Halmahera
Manajemen PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) resmi menyatakan sudah tak lagi tertarik untuk mengambil bagian dari rencana divestasi 26% saham PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) milik perusahaan tambang asal Australia, Newcrest Mining Limited (Newcrest).
Alasannya, Antam menilai cadangan emas di tambang tersebut sudah terbatas. Antam sebetulnya sudah memiliki 25% saham NHM dan punya hak penawaran terlebih dahulu atas saham yang dijual alias rights of first refusal.
Direktur Utama Aneka Tambang Arie Prabowo Ariotedjo mengatakan cadangan emas di NHM diperkirakan tinggal 300.000 troy ounce sehingga akuisisi ini dinilai tak cocok dengan segi ekonomisnya.
"Mungkin enggak [ikut] karena cadangannya tinggal 2-3 tahun lagi sudah habis. Menurut kita tinggal 300.000 troy ounce ya artinya kalau akuisisi dengan nilai yang ini ya bisa akuisisi rugi nanti ya, menurut kajian kami enggak masuk," kata Arie usai paparan pubik di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Newcrest wajib mendivestasikan saham milik mereka sebesar 51% kepada pihak nasional dalam jangka waktu 2 tahun setelah penandatangan kontrak, atau pada 2020. Mereka sudah melepas 25% kepada Antam, dua kali yakni 17,5% dan 7,5% sehingga tersisa 26% lagi di mana Antam sebetulnya punya hak eksklusif untuk menyerap lebih dahulu.
