Likuiditas Kering Kerontang, AS Pasti Masuk Jurang Resesi?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 September 2019 08:16
Likuiditas Kering Kerontang, AS Pasti Masuk Jurang Resesi?
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah hiruk-pikuk sentimen yang mewarnai pasar keuangan dunia seperti perang dagang AS-China dan arah kebijakan moneter dari The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS, ada satu hal yang sejatinya penting namun kurang mendapat perhatian dari pelaku pasar.

Hal yang dimaksud tersebut adalah keringnya likuiditas di sistem perbankan AS. Pada hari Selasa (17/9/2019), overnight borrowing rates di AS meroket, memaksa The Fed untuk turun tangan dengan menggelontorkan dana segar dalam jumlah yang besar.


Di Indonesia, overnight borrowing rates biasa dikenal dengan nama suku bunga pasar uang antar bank (PUAB). Suku bunga tersebut merupakan suku bunga yang dikenakan oleh suatu bank kepada bank lain ketika meminjam dana, yang biasanya dalam jumlah besar namun dengan tenor yang sangat pendek (hitungan hari).

PUAB sangatlah penting bagi perbankan karena merupakan sumber pendanaan utama mereka dalam memenuhi ketentuan regulasi. Di dunia perbankan, ada yang dikenal dengan istilah "kalah kliring". Kalah kliring terjadi kala dana yang mengalir keluar dari sebuah bank lebih besar ketimbang dana yang mengalir masuk ke bank tersebut. Selisih dari dana yang keluar dengan dana yang masuk harus dinolkan dan PUAB menjadi tempat bagi bank untuk mencari pendanaan secara instan.

Tingkat suku bunga PUAB sangat perlu untuk dijaga di level yang sudah dipatok bank sentral. Ketika tingkat suku bunga PUAB kelewat jauh melampaui target, maka tingkat suku bunga pinjaman yang ditawarkan ke masyarakat akan menjadi tinggi juga sehingga bisa menekan aktivitas penyaluran kredit.

Federal Funds Rate yang merupakan tingkat suku bunga acuan di AS merupakan nama lain dari overnight borrowing rates. The Fed memiliki wewenang untuk mematok rentang dari Federal Funds Rate tersebut untuk kemudian direalisasikan dengan menggunakan instrumen-instrumen yang tersedia.

Pada hari Senin (16/9/2019), masalah sudah mulai terlihat kala overnight borrowing rates menyentuh level 5%, jauh di atas rentang FFR yang berada di level 2%-2,25%. Pada hari Selasa, overnight borrowing rates sempat meroket hingga 10%, memaksa The Fed untuk melakukan intervensi.

New York Federal Reserve menyuntikkan dana segar senilai US$ 53 miliar menggunakan mekanisme yang disebut overnight repo operation. Melalui mekanisme ini, The Fed membeli surat utang dan surat berharga lain yang dimiliki oleh perbankan. Perbankan lantas mendapatkan dana segar sehingga kebutuhan untuk meminjam di PUAB menjadi berkurang dan tingkat suku bunga di sana mengendur.

Masalah tak berakhir di hari Selasa. Pada hari Rabu (18/9/2019), Kamis (19/9/2019), dan Jumat (20/9/2019), permasalahan ketatnya likuiditas kembali mencuat dan memaksa New York Federal Reserve untuk menyuntikkan dana segar dengan nilai yang luar biasa besar, yakni US$ 75 miliar setiap harinya. Jika ditotal, suntikan dana yang diberikan pada hari Selasa hingga Jumat mencapai US$ 278 miliar.

Melansir CNN, intensitas intervensi yang dilakukan The Fed dalam beberapa hari terakhir tak pernah didapati dalam lebih dari satu dekade terakhir.

Berdasarkan data terakhir yang kami himpun dari Refinitiv, tingkat suku bunga PUAB di AS berada di level 2,25%. Sudah berkurang dari titik tertingginya pada hari Senin yang mencapai 10%, namun masih di atas rentang yang ditetapkan oleh The Fed.

Sebagai informasi, pada Kamis dini hari waktu Indonesia The Fed mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke rentang 1,75%-2%, menandai pemangkasan kedua di tahun ini pasca sebelumnya The Fed juga mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan Juli.

Menipisnya likuiditas di sistem perbankan terjadi kala AS santer diproyeksikan akan masuk ke jurang resesi. Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek. 

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi. 

Untuk diketahui, berdasarkan model yang digunakan oleh Federal Reserve Bank of New York dengan data per Agustus 2019, probabilitas terjadinya resesi di AS dalam periode 12 bulan ke depan sudah mencapai 37,9%.

Bahkan, Larry Summers selaku Profesor Universitas Harvard dan mantan menteri keuangan AS mengatakan peluang terjadinya resesi sebelum tahun 2021 telah berada di angka hampir 50%.

"Saya belum pernah mendengar hal seburuk ini sejak krisis keuangan," kata Summers mengenai kondisi ekonomi AS dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Apa Penyebabnya?

Hingga saat ini, penyebab pasti dari mengetatnya likuiditas di sistem perbankan AS masih menjadi misteri. Ada beberapa teori yang beredar, namun tak ada yang 100% pasti.

Namun begitu, kami mencoba menjelaskannya dengan dua teori yang paling masuk akal. Pertama, pembayaran pajak kuartalan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di AS. Untuk diketahui, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di AS bisa memilih satu dari dua jenis kalender guna mencatatkan kinerja keuangannya, yakni tahun kalender dan tahun fiskal.

Satu tahun dalam tahun kalender mencakup periode 1 Januari-31 Desember. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan menggunakan tahun kalender guna mencatatkan kinerja keuangannya.

Sementara itu, satu tahun dalam tahun fiskal tidak mencakup periode 1 Januari-31 Desember seperti di tahun kalender. Setiap negara memiliki ketentuan sendiri terkait dengan periode tahun fiskal yang mereka gunakan. Di AS, tahun fiskal dimulai pada 1 Oktober dan berakhir pada 30 September. Pemerintahan AS sendiri dalam merancang anggarannya menggunakan tahun fiskal dan bukan tahun kalender.

Baik yang digunakan itu tahun kalender ataupun tahun fiskal, kesimpulannya tetap saja sama. Saat ini, perusahaan-perusahaan sedang mulai mengumpulkan dana untuk menyetor pajak kuartalan ke Kementerian Keuangan AS. Akibatnya, likuiditas di sistem perbankan ditarik dan kebutuhan perbankan untuk meminjam di PUAB menjadi besar. 

Hal tersebut diamini sendiri oleh Jerome Powell selaku Gubernur The Fed. Powell mengungkapkan bahwa musim pembayaran pajak merupakan faktor penting di balik mengkerutnya likuiditas di sistem perbankan AS.

“Tekanan ke atas ini (atas tingkat suku bunga PUAB) timbul seiring dengan mengalirnya dana dari sektor swasta ke Kementerian Keuangan terkait dengan pembayaran pajak,” kata Powell, seperti dilansir dari CNN.

Tetapi, penarikan dana oleh perusahaan-perusahaan untuk keperluan pembayaran pajak merupakan hal rutin yang terjadi setiap tahunnya. Seharusnya, hal tersebut sudah diantisipasi oleh The Fed sehingga rasanya mustahil jika itu menjadi satu-satunya faktor yang membuat   likuiditas di sistem perbankan AS menjadi begitu ketat secara tiba-tiba.

Nah, satu faktor lain yang menurut kami sangat mungkin menjelaskan fenomena yang saat ini terjadi adalah getolnya pemerintah AS dalam menerbitkan surat utang.

Dalam 11 bulan pertama dari tahun fiskal 2019 (Oktober 2018-Agustus 2019), defisit fiskal pemerintahan AS tercatat mencapai US$ 1,067 triliun, menandai kali pertama batas US$ 1 triliun berhasil dijebol dalam tujuh tahun. Defisit dalam 11 bulan pertama tahun fiskal 2019 membengkak hingga 19% jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama di tahun fiskal 2018.

Defisit dalam 11 bulan pertama tahun fiskal 2019 sudah melampaui defisit untuk keseluruhan tahun fiskal 2018 yang senilai US$ 898 miliar.

Membengkaknya defisit anggaran di AS merupakan kombinasi dari pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang disahkan pada akhir 2017 serta derasnya belanja pemerintah yang digelontorkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

Seiring dengan membengkaknya defisit anggaran di AS, penerbitan obligasi pun melonjak. Melansir data dari Refinitiv yang mengutip Kementerian Keuangan AS, total surat utang pemerintah AS yang bisa diperdagangkan berada di level US$ 16,15 triliun per Agustus 2019, menandai kali pertama nilainya menembus level US$ 16 triliun.

Untuk diketahui, selain untuk mendapatkan pendaanan guna memenuhi ketentuan regulasi, perbankan di AS juga getol mencari pendanaan di PUAB guna membeli surat berharga. Berbeda dengan perbankan di Indonesia yang divisi treasury­-nya cenderung kurang aktif, divisi treasury­ di AS sangatlah aktif dalam mencari keuntungan, salah satunya lewat jual-beli surat utang.

Patut dicurigai, perbankan di AS dalam beberapa waktu terakhir gencar memburu surat utang terbitan pemerintah AS. Selain karena jumlahnya yang memang membludak seiring dengan penerbitan yang semakin kencang, imbal hasil (yield) di pasar sekunder juga bergerak naik dalam beberapa waktu terakhir, membuatnya menjadi semakin menggiurkan.

Nah, keinginan bank untuk memburu surat utang terbitan pemerintah AS ini terjadi kala korporasi sedang gencar menarik dana dari sistem perbankan untuk memenuhi kewajiban pajak. Alhasil, bank-bank beralih untuk mencari pendanaan di PUAB dengan nilai yang sangat besar.

Hukum permintaan dan penawaran berbicara di sini. Kala penawaran tetap namun permintaan membludak, harga (tingkat suku bunga PUAB dalam kasus ini) akan bergerak naik.


BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Haruskah Kita Khawatir?



Lantas, apa iya ketatnya likuiditas di AS yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir merupakan sinyal bahwa resesi akan segera datang? Jawabannya: tidak.

Ada dua alasan yang mendasari pemikiran kami. Pertama, permasalahan ketatnya likuiditas kemungkinan besar akan berakhir dalam waktu dekat, bukan sesuatu yang akan berkepanjangan.

Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, salah satu faktor yang membuat likuiditas di sistem perbankan AS saat ini ketat adalah korporasi sedang gencar menarik dana dari sistem perbankan untuk memenuhi kewajiban pajak. Pasca musim pembayaran pajak kuartalan usai, tentu tekanan terhadap likuiditas akan berkurang.

Lebih lanjut, The Fed sudah mengambil langkah supaya bank tak kelewat banyak menyimpan kelebihan dana yang dimilikinya di bank sentral. Sama seperti di Indonesia, bank-bank di AS bisa menaruh kelebihan dana yang dimilikinya di bank sentral dan mendapatkan bunga. Bunga tersebut dinamakan interest on excessive reserves (IOER).

Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, IOER dipangkas sebesar 30 bps oleh The Fed, lebih besar ketimbang pemangkasan pada Federal Funds Rate yang sebesar 25 bps saja.

Diharapkan, pemangkasan ini akan memberi disinsentif bagi perbankan untuk menaruh kelebihan dananya di bank sentral dan memilih untuk menggunakannya untuk memenuhi ketentuan regulasi dan pembelian surat utang. Jika benar ini yang terjadi, maka permintaan dana di PUAB dipastikan akan mengendur. 

Alasan kedua yang melandasi proyeksi kami bahwa permasalahan ketatnya likuiditas di AS bukan merupakan sinyal dari datangnya resesi adalah kondisi perbankan di AS saat ini yang terbilang sehat.

Pada tahun 2008 kala The Fed turun tangan untuk memompa likuiditas ke sistem perbankan dengan jumlah yang besar, ada ketidakpercayaan yang besar antar bank-bank.

Pada saat itu, perbankan saling tidak percaya antara satu dengan yang lain lantaran banyak dari bank-bank di AS yang terjerumus untuk memeluk aset berupa mortgage-backed security (MBS) yang pada akhirnya membawa perekonomian AS jatuh ke jurang krisis. Wajar jika pada saat itu tingkat suku bunga PUAB meroket.

Kini, regulasi di AS sudah membatasi perbankan dari aksi spekulasi semacam itu. Perbankan di AS kini memiliki neraca (balance sheet) yang jauh lebih sehat sehingga tak ada ketakutan dari bank-bank untuk saling meminjamkan dana satu sama lain.

Kombinasi dari kedua hal tersebut membuat kami yakin bahwa ketatnya likuditas yang saat ini tengah menerpa sistem keuangan AS bukanlah sebuah pertanda datangnya resesi.

Saat ini, skenario yang paling mungkin terjadi adalah perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular