Likuiditas Kering Kerontang, AS Pasti Masuk Jurang Resesi?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 September 2019 08:16
Apa Penyebabnya?
Foto: Ketua Dewan Federal Reserve AS Jerome Powell berpartisipasi dalam diskusi Economic Club di Washington, AS, 10 Januari 2019. REUTERS / Jim Young

Hingga saat ini, penyebab pasti dari mengetatnya likuiditas di sistem perbankan AS masih menjadi misteri. Ada beberapa teori yang beredar, namun tak ada yang 100% pasti.

Namun begitu, kami mencoba menjelaskannya dengan dua teori yang paling masuk akal. Pertama, pembayaran pajak kuartalan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di AS. Untuk diketahui, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di AS bisa memilih satu dari dua jenis kalender guna mencatatkan kinerja keuangannya, yakni tahun kalender dan tahun fiskal.

Satu tahun dalam tahun kalender mencakup periode 1 Januari-31 Desember. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan menggunakan tahun kalender guna mencatatkan kinerja keuangannya.

Sementara itu, satu tahun dalam tahun fiskal tidak mencakup periode 1 Januari-31 Desember seperti di tahun kalender. Setiap negara memiliki ketentuan sendiri terkait dengan periode tahun fiskal yang mereka gunakan. Di AS, tahun fiskal dimulai pada 1 Oktober dan berakhir pada 30 September. Pemerintahan AS sendiri dalam merancang anggarannya menggunakan tahun fiskal dan bukan tahun kalender.

Baik yang digunakan itu tahun kalender ataupun tahun fiskal, kesimpulannya tetap saja sama. Saat ini, perusahaan-perusahaan sedang mulai mengumpulkan dana untuk menyetor pajak kuartalan ke Kementerian Keuangan AS. Akibatnya, likuiditas di sistem perbankan ditarik dan kebutuhan perbankan untuk meminjam di PUAB menjadi besar. 

Hal tersebut diamini sendiri oleh Jerome Powell selaku Gubernur The Fed. Powell mengungkapkan bahwa musim pembayaran pajak merupakan faktor penting di balik mengkerutnya likuiditas di sistem perbankan AS.

“Tekanan ke atas ini (atas tingkat suku bunga PUAB) timbul seiring dengan mengalirnya dana dari sektor swasta ke Kementerian Keuangan terkait dengan pembayaran pajak,” kata Powell, seperti dilansir dari CNN.

Tetapi, penarikan dana oleh perusahaan-perusahaan untuk keperluan pembayaran pajak merupakan hal rutin yang terjadi setiap tahunnya. Seharusnya, hal tersebut sudah diantisipasi oleh The Fed sehingga rasanya mustahil jika itu menjadi satu-satunya faktor yang membuat   likuiditas di sistem perbankan AS menjadi begitu ketat secara tiba-tiba.

Nah, satu faktor lain yang menurut kami sangat mungkin menjelaskan fenomena yang saat ini terjadi adalah getolnya pemerintah AS dalam menerbitkan surat utang.

Dalam 11 bulan pertama dari tahun fiskal 2019 (Oktober 2018-Agustus 2019), defisit fiskal pemerintahan AS tercatat mencapai US$ 1,067 triliun, menandai kali pertama batas US$ 1 triliun berhasil dijebol dalam tujuh tahun. Defisit dalam 11 bulan pertama tahun fiskal 2019 membengkak hingga 19% jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama di tahun fiskal 2018.

Defisit dalam 11 bulan pertama tahun fiskal 2019 sudah melampaui defisit untuk keseluruhan tahun fiskal 2018 yang senilai US$ 898 miliar.

Membengkaknya defisit anggaran di AS merupakan kombinasi dari pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang disahkan pada akhir 2017 serta derasnya belanja pemerintah yang digelontorkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

Seiring dengan membengkaknya defisit anggaran di AS, penerbitan obligasi pun melonjak. Melansir data dari Refinitiv yang mengutip Kementerian Keuangan AS, total surat utang pemerintah AS yang bisa diperdagangkan berada di level US$ 16,15 triliun per Agustus 2019, menandai kali pertama nilainya menembus level US$ 16 triliun.

Untuk diketahui, selain untuk mendapatkan pendaanan guna memenuhi ketentuan regulasi, perbankan di AS juga getol mencari pendanaan di PUAB guna membeli surat berharga. Berbeda dengan perbankan di Indonesia yang divisi treasury­-nya cenderung kurang aktif, divisi treasury­ di AS sangatlah aktif dalam mencari keuntungan, salah satunya lewat jual-beli surat utang.

Patut dicurigai, perbankan di AS dalam beberapa waktu terakhir gencar memburu surat utang terbitan pemerintah AS. Selain karena jumlahnya yang memang membludak seiring dengan penerbitan yang semakin kencang, imbal hasil (yield) di pasar sekunder juga bergerak naik dalam beberapa waktu terakhir, membuatnya menjadi semakin menggiurkan.

Nah, keinginan bank untuk memburu surat utang terbitan pemerintah AS ini terjadi kala korporasi sedang gencar menarik dana dari sistem perbankan untuk memenuhi kewajiban pajak. Alhasil, bank-bank beralih untuk mencari pendanaan di PUAB dengan nilai yang sangat besar.

Hukum permintaan dan penawaran berbicara di sini. Kala penawaran tetap namun permintaan membludak, harga (tingkat suku bunga PUAB dalam kasus ini) akan bergerak naik.


BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Haruskah Kita Khawatir?


(ank/roy)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular