
Likuiditas Kering Kerontang, AS Pasti Masuk Jurang Resesi?

Lantas, apa iya ketatnya likuiditas di AS yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir merupakan sinyal bahwa resesi akan segera datang? Jawabannya: tidak.
Ada dua alasan yang mendasari pemikiran kami. Pertama, permasalahan ketatnya likuiditas kemungkinan besar akan berakhir dalam waktu dekat, bukan sesuatu yang akan berkepanjangan.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, salah satu faktor yang membuat likuiditas di sistem perbankan AS saat ini ketat adalah korporasi sedang gencar menarik dana dari sistem perbankan untuk memenuhi kewajiban pajak. Pasca musim pembayaran pajak kuartalan usai, tentu tekanan terhadap likuiditas akan berkurang.
Lebih lanjut, The Fed sudah mengambil langkah supaya bank tak kelewat banyak menyimpan kelebihan dana yang dimilikinya di bank sentral. Sama seperti di Indonesia, bank-bank di AS bisa menaruh kelebihan dana yang dimilikinya di bank sentral dan mendapatkan bunga. Bunga tersebut dinamakan interest on excessive reserves (IOER).
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, IOER dipangkas sebesar 30 bps oleh The Fed, lebih besar ketimbang pemangkasan pada Federal Funds Rate yang sebesar 25 bps saja.
Diharapkan, pemangkasan ini akan memberi disinsentif bagi perbankan untuk menaruh kelebihan dananya di bank sentral dan memilih untuk menggunakannya untuk memenuhi ketentuan regulasi dan pembelian surat utang. Jika benar ini yang terjadi, maka permintaan dana di PUAB dipastikan akan mengendur.
Alasan kedua yang melandasi proyeksi kami bahwa permasalahan ketatnya likuiditas di AS bukan merupakan sinyal dari datangnya resesi adalah kondisi perbankan di AS saat ini yang terbilang sehat.
Pada tahun 2008 kala The Fed turun tangan untuk memompa likuiditas ke sistem perbankan dengan jumlah yang besar, ada ketidakpercayaan yang besar antar bank-bank.
Pada saat itu, perbankan saling tidak percaya antara satu dengan yang lain lantaran banyak dari bank-bank di AS yang terjerumus untuk memeluk aset berupa mortgage-backed security (MBS) yang pada akhirnya membawa perekonomian AS jatuh ke jurang krisis. Wajar jika pada saat itu tingkat suku bunga PUAB meroket.
Kini, regulasi di AS sudah membatasi perbankan dari aksi spekulasi semacam itu. Perbankan di AS kini memiliki neraca (balance sheet) yang jauh lebih sehat sehingga tak ada ketakutan dari bank-bank untuk saling meminjamkan dana satu sama lain.
Kombinasi dari kedua hal tersebut membuat kami yakin bahwa ketatnya likuditas yang saat ini tengah menerpa sistem keuangan AS bukanlah sebuah pertanda datangnya resesi.
Saat ini, skenario yang paling mungkin terjadi adalah perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
