Jakarta, CNBC Indonesia - Tampaknya investor boleh sumringah lagi karena hari ini, pasar keuangan global diprediksi masih akan menerima angin positif dari ekspektasi stimulus ekonomi Eropa dan Jerman yang rencananya akan digelontorkan pekan ini.
Sayangnya, kondisi positif itu masih terjadi dan masih bergantung pada absennya kekhawatiran terhadap perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang masih vakup baku ancam jelang kopi darat kedua negara bulan ini dan awal bulan depan.
Kondisi itu, meskipun membuat dunia ambil nafas sejenak dari roller coaster hubungan Beijing-Washington, berada di atas rapuhnya ekonomi dunia, bukan sesuatu yang pantas dibanggakan memang.
Kemarin pasar keuangan regional masih setengah hati, karena sebagian masih dipengaruhi oleh lebih besarnya harapan terhadap lancarnya pemberian stimulus moneter dari negara-negara ekonomi terbesar dunia.
Di sisi lain, kondisi pasarnya dipengaruhi oleh sentimen negatif kenaikan inflasi China yang masih menjadi level tertinggi sejak Februari 2018 dan turunnya harga produsen China dengan laju terdalam sejak 3 tahun terakhir.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 10 poin (0,16%) menjadi 6.336, yang terselamatkan penguatan di sesi jelang penutupan (pre-closing) dan sesi setelah penutupan pasar (post-trading).
Perdagangan kemarin dimulai dengan apresiasi sebesar 0,09% ke level 6.331,73, IHSG menghabiskan mayoritas waktunya hingga jeda siang hari di zona hijau. Namun pada sesi dua, IHSG sempat tergelincir ke zona merah untuk waktu yang lumayan lama padahal data penjualan ritel Indonesia periode Juli yang dirilis pagi hari seharusnya cukup membuat pasar memiliki fundamental yang kuat menjelang sesi sore.
Data ritel naik menjadi 2,4%, ternyata di atas prediksi 2,3% dan sangat jauh di atas kinerja bulan sebelumnya yang dibukukan -1,8%.
Beruntung, menjelang menit-menit akhir perdagangan IHSG berhasil menanjak ke zona hijau. Per akhir sesi dua, indeks saham acuan utama domestik tersebut ditutup positif dan menandai apresiasi beruntun selama 5 hari terakhir.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+2,65%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,33%), PT Inti Bangun Sejahtera Tbk/IBST (+17,77%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,08%), dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (+2,8%).
Transaksi yang tercipta kemarin di pasar saham mencapai Rp 8,13 triliun dengan investor asing masih membukan aksi jual bersih (nett foreign sell) tipis di pasar reguler Rp 199,5 miliar, meskipun aksi jual di seluruh pasar (bersama dengan pasar negosiasi dan pasar tunai) lebih besar lagi yaitu Rp 438,82 miliar.
Angka itu menggenapi angka jual bersih asing di pasar reguler saja sejak awal tahun menjadi Rp 11,1 triliun, bukanlah hal yang baik karena masih terjadi defisit besar di angka tersebut.
Di pasar obligasi rupiah pemerintah, kemarin lelang rutin obligasi pemerintah cukup ramai dan mencetak rekor penerbitan tertinggi sejak 18 Juni. Ramainya lelang terjadi di tengah penguatan pasar akibat voidnya kekhawatiran perang dagang, untuk sementara waktu.
Nilai penerbitan surat utang negara (SUN) dalam lelang mencapai Rp 23,25 triliun, di atas rerata sejak awal tahun Rp 21,33 triliun dan dari penerbitan lelang terakhir Rp 17,3 triliun.
Jumlah penawaran dari peserta lelang mencapai Rp 44,72 triliun, lebih tinggi daripada lelang sebelumnya Rp 29,1 triliun meskipun masih lebih rendah daripada rerata per lelang sejak awal tahun Rp 49,37 triliun.
Positifnya pasar keuangan domestik mendukung hasil lelang sehingga membuat pelaku pasar agresif dalam melempar permintaan dalam lelang. Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup menguat hari ini dan menggenapkan reli yang terjadi sejak Rabu pekan lalu.
Turunnya tensi perang dagang juga didukung potensi penurunan suku bunga di Uni Eropa dan AS dan memberikan angin segar di tengah paceklik sentimen positif sejak retalisasi dilancarkan China terhadap kebijakan penaikan tarif sepihak AS.
Pergerakan paling positif dialami seri acuan FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan penurunan yield 7 basis poin (bps) menjadi 7,69%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Selain FR0068, ketiga seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Di pasar valas, rupiah ambil nafas dulu kemarin setelah 4 hari menang lari dari dolar AS dengan meyakinkan, di atas 1% setiap harinya. Pada penutupan pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.045 yang berarti rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,04%. Selepas itu, gerak rupiah tidak terlalu dinamis. Rupiah memang cenderung melemah, tetapi tipis-tipis saja.
BERLANJUT KE HAL 2
Dari Benua Biru Eropa, kemarin mayoritas indeks utama berbalik menguat setelah dibuka pada zona koreksi sejak pasar dibuka. Baru sekitar 2 jam menjelang penutupan, indeks utama di masing-masing negara menguat, terutama indeks FTSE 100 di London.
Indeks FTSE 100 di London naik 0,44%, DAX di Jerman naik 0,35%, dan CAC40 di Prancis naik tipis 0,08%. Pasar keuangan Eropa kemarin juga diwarnai peristiwa kembali hijaunya yield obligasi Jerman yaitu bund seri tenor 30 tahun.
Kenaikan yield, yang berarti penurunan harga, didorong oleh ekspektasi stimulus fiskal dan kekhawatiran terhadap skala stimulus yang akan diberikan ECB pekan ini.
Jerman dapat menghadapi potensi krisis ekonomi dengan menyuntikkan dana miliaran euro ke sistem keuangan mereka, kata menteri keuangannya, yang memberi sinyal kesiapan paket stimulus besar untuk menjaga Negeri Panser dari jurang resesi.
Dari Negeri Paman Trump, dua dari tiga indeks utama Wall Street ditutup positif dan mencerminkan arah investor yang semakin melepas saham yang dianggap lebih berisiko, di tengah masih absennya kekhawatiran perang dagang AS-China yang masih terjadi secara temporer.
Indeks S&P 500 naik tipis tadi pagi, dengan reli di saham energi dan industri yang mengimbangi koreksi di saham-saham sektor teknologi dan ril estate. Kondisi pasar itu dianggap sebagai cerminan perilaku investor yang lebih memilih saham berfundamental baik tetapi sudah mahal (
value stock) dibanding saham berprospek tumbuh tetapi masih murah (
growth stock).
Sektor industri mengangkat indeks Dow Jones Industrial Avg 0,28% yang berisi saham unggulan (blue chip) naik tipis dan juga mengerek S&P 500 meskipun lebih tipis yaitu 0,03%, sementara indeks Nasdaq yang lebih berat bobotnya di sektor teknologi membukukan koreksi ketiganya secara beruntun yaitu -0,04%.
"Peralihan ke saham yang lebih berorientasi valuasi sudah terjadi," ujar Robert Pavlik, chief investment strategist-senior portfolio manager dari SlateStone Wealth LLC di New York, kutip Reuters. "Investor sedang mencari area yang mungkin masuk akal dan berniat menurunkan risiko dalam portofolio mereka."
Harga produsen China turun bulan lalu dengan laju terdalam sejak 3 tahun terakhir, terutama akibat terpukul oleh perang dagang Beijing-Washington.
China diharapkan membeli lebih banyak produk pertanian AS untuk menuntaskan perundingan, seperti diberitakan South China Morning Post.
Data yang mengkhawatirkan dari China membebani pergerakan saham yang sensitif terhadap tarif .SPLRCT, yang turun 0,5%
Saat ini, investor menunggu bank sentral AS yaitu The Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa (ECB) untuk memangkas suku bunga mereka guna menggenjot pertumbuhan ekonomi. Perdana Menteri Jerman mengusulkan agar negerinya bersiap menghadapi potensi resesi dengan paket stimulus.
"Banyak orang yang berharap the Fed dan bank sentral negara lain untuk menurunkan suku bunga acuan," ujar Pavlik. "Tetapi coba pikirkan, jika mereka memangkas suku bunga maka hal itu berarti ekonomi mereka tidaklah bagus. Ini adalah arah logika yang salah."
Berita dari Jerman serta melunaknya tensi AS-China membuat tingkat imbal hasil (yield) obligasi AS yaitu US Treasury naik, searah dengan obligasi Jerman yang biasa disebut bund.
BERLANJUT KE HAL 3
Pertama, masih vakumnya kekhawatiran perang dagang, meskipun di atas fundamental yang sangat rapuh, tampaknya harus disyukuri membuat pasar keuangan lebih kondusif untuk sementara waktu, terutama menjelang keputusan ECB, Jerman, dan AS pekan depan. Jika stimulus yang dilempar ke pasar sesuai prediksi, tentu hasilnya akan positif juga bagi pasar keuangan.
Kedua,
faktor dipecatnya John R Bolton, penasihat keamanan nasional AS, oleh Paman Trump karena berbeda pandangan terhadap pendekatan terhadap musuh-musuh politik AS seperti Korut, Iran, dan Afganistan. Pemecatan terkait dengan keinginan 'President T' untuk memulai pembicaraan dengan Iran, yang ditentang Bolton.
Bolton selama ini terkenal sebagai elang (hawk) untuk politik luar negeri AS, yang berarti lebih memilih mengambil jalan perang atau meningkatkan eskalasi perang yang sudah terjadi. Dia juga ditengarai menjadi pihak yang mengusulkan AS untuk mendukung pergantian rezim penguasa di Iran, Suriah, Libya, Venezuela, Kuba, Yaman, dan Korut. Republikan ini juga dianggap neo-konservatif, yang dibantah oleh dirinya sendiri.
Pergantian dianggap lebih membuat Trump leluasa mengambil jalan damai dalam perundingan dengan negara-negara seteru AS, yang berarti pasar keuangan akan lebih jauh dari kekhawatiran perang dibanding sebelumnya.
Ketiga, peluncuran iPhone 11 oleh Apple diharapkan dapat mengangkat harga saham distributor ponsel di dalam negeri. Semalam iPhone seri baru itu baru diluncurkan dan dijual di angka US$ 699, di bawah peluncuran seri sebelumnya US$ 749. iPhone seri yang lebih tinggi yaitu iPhone 11 Pro akan dijual mulai dari US$ 999.
Keempat, data persediaan minyak mentah AS yang akan dirilis nanti malam masih harus ditunggu dan diperhatikan pasar. Jika turun, maka ada kemungkinan akan mengerek harga minyak naik dan tentu hal itu buruk bagi kesehatan makroekonomi Indonesia sebagai net importir
BBM.Kelima, data inflasi dari Jerman, Prancis, AS, serta penentuan suku bunga ECB tentu akan menjadi sentimen tersendiri yang kuat di pasar, meskipun dampaknya baru akan terjadi esoknya (Jumat) karena jika datanya buruk maka Indonesia justru akan diuntungkan dari perbedaan jam transaksi sehingga diharapkan dampaknya akan minim.
BERLANJUT KE HAL 4... Rabu, 11 SeptemberData persediaan minyak mentah, AS. 21:30.
RUPS PT Bank BTPN Tbk (BTPN) 10:00.
RUPS PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO) 10:00.
RUPS PT Mitra Komunikasi Nusantara Tbk (MKNT) 14:00.
Kamis, 12 SeptemberInflasi, Jerman. 13:00
Inflasi, Prancis. 13:45.
Suku bunga acuan, Uni Eropa. 16:45.
Inflasi, AS. 19:30.
Jumat, 13 SeptemberData investasi asing langsung (FDI), China. 14:00.
Neraca perdagangan, Uni Eropa. 16:00.
Allotment IPO PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS).
Cum dividen bonus PT Asuransi Sinarmas MSIG Tbk (LIFE) 16:15.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019Â YoY) | 5,05% |
Inflasi (Agustus 2019Â YoY) | 3,49% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019) | 5,5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2019) | US$ 126,4 miliar |
Â
TIM RISET CNBC INDONESIA