Inflasi Aman Terkendali, Bisakah BI Turunkan Bunga Lagi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 September 2019 13:08
Namun BI Juga Perlu Hati-hati
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Akan tetapi, ada pula faktor yang bisa membuat BI ragu untuk kembali memangkas suku bunga acuan. Pertama, Gubernur Perry Warijiyo dan kolega baru menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate dua bulan beruntun.



Tentu MH Thamrin ingin melihat dulu bagaimana dampak dari dua penurunan ini. Selagi dampaknya masih dalam proses transmisi, tampaknya menambah 'dosis' penurunan suku bunga acuan menjadi kurang bijak.

Apalagi BI sudah ahead of the curve, karena Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) saja baru sekali menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate yang kedua diprediksi terjadi bulan ini, dengan probabilitas 96,9% menurut CME Fedwatch.

Jadi kalau Ketua Jerome 'Jay' Powell menurunkan suku bunga acuan bulan ini, BI sudah lebih dulu melakukannya. BI punya ruang, tidak perlu terburu-buru untuk menurunkannya lagi.

Kedua, transmisi kebijakan moneter butuh waktu. Saat ini, sepertinya perbankan masih menyesuaikan diri dan merespons kenaikan suku bunga acuan yang sampai empat kali tahun lalu. Terlihat bahwa tren suku bunga deposito masih merangkak naik sampai Juni.



Penurunan suku bunga acuan tidak bisa serta-merta menurunkan suku bunga deposito, apalagi kredit. Jadi, mengapa harus buru-buru?


Ketiga, penurunan suku bunga acuan tidak otomatis atau langsung berdampak kepada suku bunga kredit perbankan. Sebab, ada saja alasan perbankan untuk menahan suku bunga kredit.

Salah satunya adalah masalah efisiensi. Terlihat bahwa efisiensi perbankan masih perlu diperbaiki, karena rasio Biaya Operasional-Pendapatan Operasional (BOPO) yang masih tinggi di kisaran 80%.



Ketika bank kurang efisien, maka cara untuk membuat neraca tetap sehat adalah menjaga suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) tetap menarik sehingga deposan tidak pergi. Kala suku bunga DPK masih tinggi, sulit untuk menurunkan suku bunga kredit.

Oleh karena itu, selagi perbankan masih belum efisien, maka penurunan suku bunga acuan akan memakan banyak waktu sebelum menjelma menjadi penurunan suku bunga kredit. Sekali lagi, mengapa harus buru-buru?

Keempat, penurunan suku bunga acuan mau tidak mau akan menurunkan imbalan investasi di pasar keuangan domestik. Instrumen yang paling merasakan adalah obligasi.

Sejak awal tahun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sudah anjlok 66,5 basis poin (bps). Bagi pemerintah selaku penerbit, ini tentu kabar gembira karena penurunan yield di pasar sekunder akan memperkuat posisi tawar pemerintah dalam penentuan kupon untuk penerbitan selanjutnya.

Namun bagi investor, penurunan yield berarti cuan berkurang. Meski yield obligasi pemerintah Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga, tetapi kalau turun terus (seiring penurunan suku bunga acuan) maka minat investor bisa tergerus.




Padahal, seperti yang sudah disinggung di atas, transaksi berjalan Indonesia masih defisit. Tanpa dukungan dari arus modal portofolio di sektor keuangan, neraca pembayaran secara keseluruhan akan terancam. Kalau neraca pembayaran sampai defisit, maka sulit mengharapkan rupiah bisa perkasa.

Oleh karena itu, BI dihadapkan kepada situasi yang agak tricky. Rilis data inflasi hari ini membuat ruang menurunkan suku bunga acuan menjadi terbuka. Namun, ada hal-hal lain yang masih perlu mendapat perhatian.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular