
Inflasi Aman Terkendali, Bisakah BI Turunkan Bunga Lagi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 September 2019 13:08

Ruang untuk kembali menurunkan suku bunga acuan memang masih terbuka. BI sendiri sudah mengakui hal itu.
"Ke depan, Bank Indonesia akan melanjutkan bauran kebijakan yang akomodatif sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," demikian disebutkan BI dalam pernyataan tertulis dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus.
Pernyataan BI itu menyebutkan setidaknya ada tiga syarat untuk kembali menurunkan suku bunga acuan. Pertama inflasi, kedua stabilitas eksternal, ketiga pertumbuhan ekonomi.
Syarat pertama mungkin sudah lebih dari cukup. Inflasi aman terkendali, kemungkinan besar tidak ada kejutan berarti sampai akhir tahun.
Bagaimana dengan stabilitas eksternal? Sepertinya di sisi ini juga ada perbaikan.
Biasanya ukuran stabilitas eksternal yang sering digunakan adalah transaksi berjalan (current account). Ini adalah salah satu pos di transaksi berjalan yang menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini lebih berdimensi jangka panjang sehingga lebih kuat dalam menopang stabilitas nilai tukar mata uang.
Pada kuartal II-2019, transaksi berjalan membukukan defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,6% PDB.
Namun, BI menyatakan defisit transaksi berjalan yang lebih parah itu lebih disebabkan faktor musiman. Laju ekonomi yang belum 'panas' pada kuartal I menyebabkan impor belum terlalu deras. Pada kuartal II, laju ekonomi sudah mulai menemukan bentuk permainan terbaik sehingga impor mulai naik dan membebani transaksi berjalan.
Untuk keseluruhan 2019 dan 2020, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan mengecil yaitu di kisaran 2,5-3% PDB. Jadi di sisi stabilitas eksternal, ada perbaikan dan bisa menjadi alasan untuk menurunkan suku bunga acuan.
Ketiga adalah mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini yang penting, karena tanda-tanda perlambatan ekonomi domestik sudah semakin terasa.
Pada Agustus, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia versi Nikkei/Markit berada di 49 terendah sejak Juli 2017. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 49,6.
Sudah dua bulan beruntun PMI berada di bawah 50. Artinya, dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah terkontraksi.
Industri manufaktur memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Pada kuartal II-2019, industri manufaktur menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan PDB yaitu mencapai 19,52%.
Jadi kalau industri manufaktur menunjukkan tanda-tanda 'demam', seperti yang bisa terlihat di data PMI, maka perekonomian secara keseluruhan ada risiko bermasalah. Laju pertumbuhan ekonomi pun terancam.
Oleh karena itu, rasanya tiga syarat untuk melanjutkan pelonggaran moneter sudah terpenuhi. Tidak ada salahnya kalau kita berharap bunga acuan bisa turun lagi bulan ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
"Ke depan, Bank Indonesia akan melanjutkan bauran kebijakan yang akomodatif sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," demikian disebutkan BI dalam pernyataan tertulis dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus.
Pernyataan BI itu menyebutkan setidaknya ada tiga syarat untuk kembali menurunkan suku bunga acuan. Pertama inflasi, kedua stabilitas eksternal, ketiga pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana dengan stabilitas eksternal? Sepertinya di sisi ini juga ada perbaikan.
Biasanya ukuran stabilitas eksternal yang sering digunakan adalah transaksi berjalan (current account). Ini adalah salah satu pos di transaksi berjalan yang menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini lebih berdimensi jangka panjang sehingga lebih kuat dalam menopang stabilitas nilai tukar mata uang.
Pada kuartal II-2019, transaksi berjalan membukukan defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,6% PDB.
Namun, BI menyatakan defisit transaksi berjalan yang lebih parah itu lebih disebabkan faktor musiman. Laju ekonomi yang belum 'panas' pada kuartal I menyebabkan impor belum terlalu deras. Pada kuartal II, laju ekonomi sudah mulai menemukan bentuk permainan terbaik sehingga impor mulai naik dan membebani transaksi berjalan.
Untuk keseluruhan 2019 dan 2020, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan mengecil yaitu di kisaran 2,5-3% PDB. Jadi di sisi stabilitas eksternal, ada perbaikan dan bisa menjadi alasan untuk menurunkan suku bunga acuan.
Ketiga adalah mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini yang penting, karena tanda-tanda perlambatan ekonomi domestik sudah semakin terasa.
Pada Agustus, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia versi Nikkei/Markit berada di 49 terendah sejak Juli 2017. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 49,6.
Sudah dua bulan beruntun PMI berada di bawah 50. Artinya, dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah terkontraksi.
Industri manufaktur memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Pada kuartal II-2019, industri manufaktur menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan PDB yaitu mencapai 19,52%.
Jadi kalau industri manufaktur menunjukkan tanda-tanda 'demam', seperti yang bisa terlihat di data PMI, maka perekonomian secara keseluruhan ada risiko bermasalah. Laju pertumbuhan ekonomi pun terancam.
Oleh karena itu, rasanya tiga syarat untuk melanjutkan pelonggaran moneter sudah terpenuhi. Tidak ada salahnya kalau kita berharap bunga acuan bisa turun lagi bulan ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Namun BI Juga Perlu Hati-hati
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular