Inflasi Aman Terkendali, Bisakah BI Turunkan Bunga Lagi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 September 2019 13:08
Inflasi Aman Terkendali, Bisakah BI Turunkan Bunga Lagi?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diperkirakan, lajuĀ inflasi Agustus 2019 aman terkendali. Apakah ini akan membuat Bank Indonesia (BI) tergerak hatinya untuk kembali menurunkan suku bunga acuan?

Hari ini, Senin (2/9/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi bulan lalu sebesar 0,12% month-on-month (MoM). Sementara laju inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 3,49% dan inflasi inti berada di 3,3% YoY.

Realisasi ini sedikit lebih rendah ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan berada di 0,16%. Sementara inflasi tahunan diperkirakan sebesar 3,54% dan inflasi inti tahunan adalah 3,18%.


Lagi-lagi inflasi sepertinya tidak menjadi isu bagi Indonesia. Suhariyanto, Kepala BPS, menyebutkan target inflasi 3,5% plus minus satu untuk 2019 sepertinya masih aman.

"Perkembangan dua tahun sebelumnya, inflasi biasanya turun kemudian naik pada November dan Desember. Untuk bulan-bulan terakhir sampai Desember, (inflasi) sepertinya tetap terkendali," katanya.



Inflasi yang kondusif adalah salah satu prasyarat untuk melonggarkan kebijakan moneter. Dengan inflasi yang rendah, maka ada ruang bagi bank sentral untuk mengangkat kaki dari pedal rem. Laju ekonomi bisa dipercepat tanpa kekhawatiran percepatan laju inflasi.

Oleh karena itu, BI selalu menggunakan inflasi sebagai salah satu alasan dalam menurunkan suku bunga acuan, yang sudah dilakukan dua kali sejak awal tahun. Alasan lainnya adalah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

Menarik untuk menebak-nebak bagaimana arah kebijakan moneter BI selepas rilis data inflasi Agustus. Apakah bulan ini BI 7 Day Reverse Repo Rate bisa turun lagi?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Ruang untuk kembali menurunkan suku bunga acuan memang masih terbuka. BI sendiri sudah mengakui hal itu.

"Ke depan, Bank Indonesia akan melanjutkan bauran kebijakan yang akomodatif sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," demikian disebutkan BI dalam pernyataan tertulis dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus.

Pernyataan BI itu menyebutkan setidaknya ada tiga syarat untuk kembali menurunkan suku bunga acuan. Pertama inflasi, kedua stabilitas eksternal, ketiga pertumbuhan ekonomi.

Syarat pertama mungkin sudah lebih dari cukup. Inflasi aman terkendali, kemungkinan besar tidak ada kejutan berarti sampai akhir tahun.

Bagaimana dengan stabilitas eksternal? Sepertinya di sisi ini juga ada perbaikan.

Biasanya ukuran stabilitas eksternal yang sering digunakan adalah transaksi berjalan (current account). Ini adalah salah satu pos di transaksi berjalan yang menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini lebih berdimensi jangka panjang sehingga lebih kuat dalam menopang stabilitas nilai tukar mata uang.

Pada kuartal II-2019, transaksi berjalan membukukan defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,6% PDB.




Namun, BI menyatakan defisit transaksi berjalan yang lebih parah itu lebih disebabkan faktor musiman. Laju ekonomi yang belum 'panas' pada kuartal I menyebabkan impor belum terlalu deras. Pada kuartal II, laju ekonomi sudah mulai menemukan bentuk permainan terbaik sehingga impor mulai naik dan membebani transaksi berjalan.

Untuk keseluruhan 2019 dan 2020, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan mengecil yaitu di kisaran 2,5-3% PDB. Jadi di sisi stabilitas eksternal, ada perbaikan dan bisa menjadi alasan untuk menurunkan suku bunga acuan.

Ketiga adalah mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini yang penting, karena tanda-tanda perlambatan ekonomi domestik sudah semakin terasa.

Pada Agustus, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia versi Nikkei/Markit berada di 49 terendah sejak Juli 2017. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 49,6.



Sudah dua bulan beruntun PMI berada di bawah 50. Artinya, dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah terkontraksi.

Industri manufaktur memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Pada kuartal II-2019, industri manufaktur menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan PDB yaitu mencapai 19,52%.



Jadi kalau industri manufaktur menunjukkan tanda-tanda 'demam', seperti yang bisa terlihat di data PMI, maka perekonomian secara keseluruhan ada risiko bermasalah. Laju pertumbuhan ekonomi pun terancam.


Oleh karena itu, rasanya tiga syarat untuk melanjutkan pelonggaran moneter sudah terpenuhi. Tidak ada salahnya kalau kita berharap bunga acuan bisa turun lagi bulan ini...


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Akan tetapi, ada pula faktor yang bisa membuat BI ragu untuk kembali memangkas suku bunga acuan. Pertama, Gubernur Perry Warijiyo dan kolega baru menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate dua bulan beruntun.



Tentu MH Thamrin ingin melihat dulu bagaimana dampak dari dua penurunan ini. Selagi dampaknya masih dalam proses transmisi, tampaknya menambah 'dosis' penurunan suku bunga acuan menjadi kurang bijak.

Apalagi BI sudah ahead of the curve, karena Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) saja baru sekali menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate yang kedua diprediksi terjadi bulan ini, dengan probabilitas 96,9% menurut CME Fedwatch.

Jadi kalau Ketua Jerome 'Jay' Powell menurunkan suku bunga acuan bulan ini, BI sudah lebih dulu melakukannya. BI punya ruang, tidak perlu terburu-buru untuk menurunkannya lagi.

Kedua, transmisi kebijakan moneter butuh waktu. Saat ini, sepertinya perbankan masih menyesuaikan diri dan merespons kenaikan suku bunga acuan yang sampai empat kali tahun lalu. Terlihat bahwa tren suku bunga deposito masih merangkak naik sampai Juni.



Penurunan suku bunga acuan tidak bisa serta-merta menurunkan suku bunga deposito, apalagi kredit. Jadi, mengapa harus buru-buru?


Ketiga, penurunan suku bunga acuan tidak otomatis atau langsung berdampak kepada suku bunga kredit perbankan. Sebab, ada saja alasan perbankan untuk menahan suku bunga kredit.

Salah satunya adalah masalah efisiensi. Terlihat bahwa efisiensi perbankan masih perlu diperbaiki, karena rasio Biaya Operasional-Pendapatan Operasional (BOPO) yang masih tinggi di kisaran 80%.



Ketika bank kurang efisien, maka cara untuk membuat neraca tetap sehat adalah menjaga suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) tetap menarik sehingga deposan tidak pergi. Kala suku bunga DPK masih tinggi, sulit untuk menurunkan suku bunga kredit.

Oleh karena itu, selagi perbankan masih belum efisien, maka penurunan suku bunga acuan akan memakan banyak waktu sebelum menjelma menjadi penurunan suku bunga kredit. Sekali lagi, mengapa harus buru-buru?

Keempat, penurunan suku bunga acuan mau tidak mau akan menurunkan imbalan investasi di pasar keuangan domestik. Instrumen yang paling merasakan adalah obligasi.

Sejak awal tahun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sudah anjlok 66,5 basis poin (bps). Bagi pemerintah selaku penerbit, ini tentu kabar gembira karena penurunan yield di pasar sekunder akan memperkuat posisi tawar pemerintah dalam penentuan kupon untuk penerbitan selanjutnya.

Namun bagi investor, penurunan yield berarti cuan berkurang. Meski yield obligasi pemerintah Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga, tetapi kalau turun terus (seiring penurunan suku bunga acuan) maka minat investor bisa tergerus.




Padahal, seperti yang sudah disinggung di atas, transaksi berjalan Indonesia masih defisit. Tanpa dukungan dari arus modal portofolio di sektor keuangan, neraca pembayaran secara keseluruhan akan terancam. Kalau neraca pembayaran sampai defisit, maka sulit mengharapkan rupiah bisa perkasa.

Oleh karena itu, BI dihadapkan kepada situasi yang agak tricky. Rilis data inflasi hari ini membuat ruang menurunkan suku bunga acuan menjadi terbuka. Namun, ada hal-hal lain yang masih perlu mendapat perhatian.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Bunga Acuan BI Ditahan Hari Ini, Nanti Bisa Turun Nggak?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular