
Ekspor Nikel Disetop, Saham INCO & ANTM Diborong Asing!

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua emiten pertambangan mineral, emas dan nikel, yakni PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tak (ANTM) tiba-tiba melonjak pada sesi I perdagangan awal pekan ini, Senin (2/9/2019) di tengah rencana pemerintah mempercepat larangan ekspor nikel.
Keputusan pemerintah yang akan mempercepat pelarangan ekspor nikel dari semula pada 2022 menjadi tahun ini memang menjadi sentimen penggerak atas sektor ini dalam sebulan terakhir. Tujuan kebijakan ini ialah untuk meningkatkan ekspor produk nikel melalui pengolahan raw material sehingga dapat menghasilkan produk ekspor yang memiliki nilai tambah.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, pada sesi I, saham INCO melesat 14,73% di level 4.050/saham, dengan nilai transaksi Rp 249 miliar dan volume perdagangan 62,81 juta saham.
Investor asing hari ini masuk Rp 32,5 miliar di saham INCO, kendati sebulan terakhir asing malah melepas Rp 93,25 miliar di semua pasar. Saham INCO secara year to date, naik 24% sejak awal tahun.
Adapun saham ANTM juga menguat 7,01% di level Rp 1.145/saham dengan nilai transaksi 250,46 miliar dan volume perdagangan 221,25 juta saham.
Asing juga masuk di saham ANTM sebesar Rp 34,30 miliar, kendati sebulan asing mencatatkan net sell (jual bersih) Rp 84,31 miliar. Saham Antam sudah naik 50% sejak awal tahun atau year to date.
Presiden Direktur Vale Indonesia, Nico Kanter berpendapat, wacana pelarangan ekspor bijih nikel berdampak positif bagi Vale. Apalagi, harga nikel dunia kembali menguat pascapemerintah melontarkan wacana ini ke publik. Nico menyebut, saat ini, Indonesia mendominasi suplai nikel ke pasar global yakni sebesar 27%.
"Setiap statement pemerintah akan berdampak bagi harga nikel, saya ingin sampaikan, ini dampak baiknya tidak hanya bagi Vale, tapi juga untuk Indonesia juga," kata Nico Kanter, Selasa (27/8/2019) di Gedung BEI, Jakarta.
Direktur Utama Antam Arie Prabowo Ariotedjo juga mengatakan rencana pemerintah tersebut pada dasarnya tidak menjadi masalah bagi perusahaan, lantaran di dalam kontrak sudah ada klausul force majeure apabila ada perubahan peraturan.
"Tidak masalah lah," ujar Arie kepada CNBC Indonesia saat dihubungi, Senin (19/8/2019).
Kendati demikian, Arie mengakui, jika ada penyetopan ekspor ore nikel maka Antam akan kehilangan potensi pendapatan dari komoditas itu meskipun tidak terlalu signifikan.
"Misal saja dalam setahun ada 4 juta ton ekspor sekitar US$ 150 juta per tahun kasarnya Rp 2 triliun. Target revenue kami kan bisa Rp 30 triliun. Jadi secara revenue untuk 1 tahun turun 7% lah," jelasnya.
Namun, lanjut Arie, akan ada kompensasi dari kenaikan harga dan peningkatan penjualan dan bauksit emas sehingga potensi Rp 2 triliun yang hilang itu bisa ditutupi.
(tas/dob) Next Article Ekspor Nikel Bakal Dilarang, Saham Emiten Nikel Amblas (Lagi)
