'Hantu' Resesi Mulai Tenang, Sudah Boleh Santai Nih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 August 2019 10:08
'Hantu' Resesi Mulai Tenang, Sudah Boleh Santai <i>Nih</i>?
Ilustrasi Dolar AS (REUTERS/Sertac Kayar)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, tema besar di pasar keuangan global adalah resesi. Amit-amit, tetapi memang ada aura yang lumayan kuat bahwa resesi bisa jadi sudah di depan mata.

Salah satu indikator resesi, kontraksi ekonomi alias minus selama dua kuartal beruntun pada tahun yang sama, adalah inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) tenor dua dan 10 tahun. Inversi berarti yield obligasi tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang tenor panjang. Saat investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek, maka kemungkinan ada risiko besar dalam waktu dekat.

Yield obligasi tenor dua dan 10 tahun agak spesial. Kali terakhir yield dua tenor itu mengalami inversi adalah pada 2007. Beberapa bulan setelah itu, meletuslah krisis keuangan di Negeri Paman Sam yang menjalar menjadi masalah global.

Terhitung sudah lima kali yield obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun mengalami inversi. Kelimanya berujung kepada resesi.


Baca: Resesi, Resesi, dan Resesi

Saat ini yield dua tenor itu memang sudah normal, tidak lagi ada inversi. Pada pukul 09:10 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun ada di 1,5266% sementara yang 10 tahun adalah 1,5741%.

Namun bukan berarti risiko resesi sudah pergi. Belajar dari pengalaman, pasar keuangan AS tancap gas selama sekitar 1,5 tahun setelah inversi. Namun kemudian yang menyusul adalah kondisi sebaliknya, karena resesi sudah terjadi.


AS adalah perekonomian terbesar di dunia, sang lokomotif. Jadi kalau AS sudah resesi, maka perekonomian global bisa dipastikan bakal terjun ke jurang yang sama. Mungkin di beberapa negara tidak ada resesi, tetapi perlambatan ekonomi hampir mustahil bisa dihindari.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tidak hanya di pasar keuangan, data ekonomi di sektor riil pun mendukung ke arah resesi. Di Inggris, indeks pemesanan produk-produk industri pada Agustus tercatat -13. Sudah lima bulan beruntun indeks ini terjebak dalam teritori negatif.




Kemudian di Korea Selatan, inflasi tingkat produsen pada Juli terkontraksi 0,3% year-on-year (YoY). Ini menjadi kali pertama terjadi deflasi produsen sejak Oktober 2016.



Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa dunia usaha di berbagai negara sedang lesu. Ada yang pemesanannya turun, ada yang ragu-ragu menaikkan harga. Pertanda konsumsi sedang bermasalah.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk menangkal 'hantu' resesi, beberapa negara sudah berkomitmen untuk melakukan terobosan. Di Jerman, pemerintahan koalisi pimpinan Kanselir Angela Merkel menegaskan siap untuk merilis stimulus fiskal untuk meredam perlambatan ekonomi.

Mengutip laporan majalah Der Spiegel, dilansir Reuters, pemerintah Jerman siap untuk mengubah anggaran berimbang menuju defisit sebagai sebuah langkah counter-cyclical. Bukan apa-apa, ancaman perlambatan ekonomi memang sudah sangat terasa di Negeri Panser.

Pada Juli, inflasi produsen di Jerman adalah 1,1% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 1,2% YoY. Angka 1,1% juga menjadi yang terlemah sejak Desember 2016.



Kemudian di China, Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC) memperkenalkan suku bunga acuan baru yang berpedoman kepada fasilitas likuiditas jangka menengah. Seperti diwartakan Reuters, suku bunga acuan yang baru ini diharapkan bisa mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga aktivitas ekonomi dapat terangkat.

"Melalui reformasi ini, suku bunga di tingkat perbankan akan mengacu kepada LPR (Loan Prime Rate) dan LPR berpedoman kepada MLF (Medium-term Lending Facility). Jadi akan tercipta transmisi yang mulus. Ke depan, saat suku bunga acuan turun maka suku bunga kredit juga akan turun, yang dapat menekan biaya bagi korporasi," ungkap Ma Jun, Penasihat PBoC.

Di AS, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa pemerintah mempertimbangkan untuk kembali menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh). "Kami sedang mempertimbangkan pengurangan pajak. PPh gaji adalah salah satu yang kami pikirkan," ungkapnya, seperti diberitakan Reuters.

Pemotongan tarif PPh terbukti ampuh mendorong laju perekonomian Negeri Adidaya. Pada akhir 2017, Trump menempuh kebijakan serupa dan pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 cukup impresif.

 


Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya otoritas moneter dan fiskal pun bersiap untuk mengusir 'hantu' resesi.

Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) bulan lalu. Gubernur Perry Warjiyo mengungkapkan ruang untuk pelonggaran moneter lebih lanjut masih terbuka, walau sepertinya BI 7 Day Reverse Repo Rate diperkirakan belum turun lagi bulan ini.


Sementara pemerintah berencana all-out menjaga konsumsi domestik melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan perluasan program Bantuan Sosial (Bansos) dengan menambah 'kartu sakti' yaitu Kartu Pra Kerja dan Kartu Sembako. Pemerintah juga memperluas cakupan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan rencana peluncuran KIP Kuliah.

Selain itu, pemerintah juga terus berupaya mengundang investasi dengan berbagai insentif pajak seperti super deduction tax (pengurangan laba kena pajak) dan mini tax holiday untuk penanaman modal di bawah Rp 500 miliar. Ketika investor masuk, maka lapangan kerja terbuka dan konsumsi rumah tangga terdongkrak.

Well, untuk saat ini 'hantu' resesi memang tidak semenakutkan pekan lalu. Namun bukan berarti dia sudah benar-benar pergi, auranya masih terasa dan siap kembali bergentayangan kapan saja. Oleh karena itu, kewaspadaan tidak boleh diturunkan.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/dru) Next Article Gawat Risiko Resesi di AS Meninggi, Masihkah Ada Harapan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular