Menguat, Poundsterling Jauhi Level Terlemahnya 34 Tahun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 August 2019 19:56
Dua faktor tersebut, dan melihat posisi poundsterling di dekat level terlemah 34 tahun memicu aksi beli.
Foto: Pound Sterling (REUTERS/Leonhard Foeger)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang poundsterling Inggris menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (15/8/19), dan kembali ke atas level US$ 1,21. Sepanjang pekan ini poundsterling terus tertahan di dekat level terlemah dalam 34 tahun terakhir, penguatan hari ini tentunya membuatnya menjauhi level tersebut.

Pada pukul 19:24 WIB, poundsterling diperdagangkan di kisaran US$ 1,2132 atau menguat 0,62% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Pada perdagangan Senin (12/8/19), poundsterling menyentuh level US$ 1,2105. Level tersebut menjadi yang terlemah sejak Januari 2017. Kala itu level terlemah poundsterling berada di level US$ 1,1979.



Mundur lagi ke belakang, poundsterling mengalami flash crash pada 7 Oktober 2016, ketika secara tiba-tiba poundsterling jeblok ke level US$ 1,1450, tetapi tidak lama kemudian kembali pulih dan mengakhiri perdagangan hari itu di level US$ 1,2432, melansir data Refinitiv.


Titik terendah saat flash crash tersebut merupakan level terlemah 31 tahun poundsterling melawan dolar AS. Saat itu nilai tukar poundsterling tiba-tiba jeblok hampir 10%, dan dengan cepat berbalik lagi. Belum jelas penyebab flash crash, tetapi media-media internasional melaporkan hal itu sebagai akibat aksi jual besar yang dilakukan sistem komputer.

Jika tidak melihat titik terendah saat flash crash, maka level terlemah poundsterling dalam 31 tahun terakhir adalah US$ 1,2054 di bulan Januari 2017. Melihat posisi saat ini, level tersebut tidak terlalu jauh. Jika berhasil dilewati, maka poundsterling akan mencatat level terlemah 34 tahun melawan dolar AS.

Penguatan poundsterling pada hari ini terbantu tekanan yang dialami oleh dolar AS akibat inversi yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dengan 10 tahun. Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda akan ada resesi di AS.


Selain itu data dari Inggris juga cukup bagus. Office for National Statistic melaporkan penjualan ritel bulan Juli tumbuh 0,2% month-on-month (MoM), melanjutkan pertumbuhan 0,9% bulan sebelumnya. Rilis data untuk bulan Juli tersebut lebih baik dari prediksi penurunan 0,3% di Forex Factory.

Dua faktor tersebut, dan melihat posisi poundsterling di dekat level terlemah 34 tahun memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat Mata Uang Inggris ini mampu menguat melawan dolar AS. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Pertumbuhan Ekonomi Mandek, Poundsterling Malah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular