Tak Ada Perubahan Pengendali di Jababeka, Tak Jadi Default?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
12 August 2019 15:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Manajemen lama PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) secara tegas menolak untuk mengakui adanya perubahan pengendali atau changes of control perseroan. Oleh Karena itu, klausul mengenai pembelian kembali (buyback) surat utang senilai US$ 300 juta yang diterbitkan anak usaha KIJA dapat ditangguhkan.
Seperti diketahui, mengacu hasil RUPS 26 Juni lalu, dengan adanya perubahan pengurus baru, seharusnya Jababeka diwajibkan membeli kembali Senior Notes senilai US$300 juta dengan nilai beli 101%. Namun, hingga kini belum ada penawaran dari perseroan kepada pemegang surat utang terkait pembelian kembali senior notes tersebut.
Direktur Utama KIJA Budianto Liman mengutarakan hingga saat ini pihaknya memang belum menawarkan pembelian kembali atau buy back kepada para pemegang obligasi (bond holder). Sebabnya, Jababeka belum memiliki dana sebesar US$300 juta untuk pelunasan dan juga manajemen lama belum mengakui adanya perubahan control.
Jababeka, kata Budianto Liman, terus berusaha sebaik mungkin agar deklarasi itu tidak dimungkinkan akan terjadi.
Namun, perseroan juga tidak bisa berbuat apa-apa seandainya bond holders menunjuk konsultan hukum sendiri untuk menginvestigasi yang terjadi dengan polemik yang sedang terjadi.
"Bila konsultan independen mengtakan terjadi changes of control maka KIJA harus membayar notes," kata Direktur Utama Jababeka Budianto Liman, Senin (12/8/2019) di Jakarta, saat dialog dengan awak media.
Dalam kesempatan yang sama, pendiri dan komisaris Jababeka, SD Darmono mengatakan selama perseroan belum mengakui adanya change of control maka klausul tersebut tidak akan aktif. Jababeka, kata Darmono, baru menyebut adanya potensi change of control namun belum ada pengakuan secara tertulis.
"Change of control ini baru dikatakan potensi, belum kenyataan," kata Darmono.
Mengacu data Bursa Efek Indonesia, saat ini nilai kas yang dimiliki perseroan hingga akhir Juni 2019 tercatat sebesar Rp 845 miliar, sedangkan notes senior jangka panjang tersebut harus dibayarkan dalam kurun waktu sebulan, senilai US$ 300 juta atau setara Rp 4,5 triliun. Bila dipaksakan harus membayar, Jababeka akan berada dalam kondisi lalai atau default.
Darmono mengakui, ada beberapa pihak yang menginginkan perseroan berada dalam kondisi default, sehingga kawasan industri Jababeka bisa terancam mengalami kebangkrutan. "Kalau KIJA bangkrut maka yang akan masuk untuk mengatur adalah para kreditur, bukan manajemen saat ini," tandasnya.
(hps/hps) Next Article Kisruh Jababeka, Diduga Ada Penyelundupan Hukum di Hasil RUPS
Seperti diketahui, mengacu hasil RUPS 26 Juni lalu, dengan adanya perubahan pengurus baru, seharusnya Jababeka diwajibkan membeli kembali Senior Notes senilai US$300 juta dengan nilai beli 101%. Namun, hingga kini belum ada penawaran dari perseroan kepada pemegang surat utang terkait pembelian kembali senior notes tersebut.
Direktur Utama KIJA Budianto Liman mengutarakan hingga saat ini pihaknya memang belum menawarkan pembelian kembali atau buy back kepada para pemegang obligasi (bond holder). Sebabnya, Jababeka belum memiliki dana sebesar US$300 juta untuk pelunasan dan juga manajemen lama belum mengakui adanya perubahan control.
Namun, perseroan juga tidak bisa berbuat apa-apa seandainya bond holders menunjuk konsultan hukum sendiri untuk menginvestigasi yang terjadi dengan polemik yang sedang terjadi.
"Bila konsultan independen mengtakan terjadi changes of control maka KIJA harus membayar notes," kata Direktur Utama Jababeka Budianto Liman, Senin (12/8/2019) di Jakarta, saat dialog dengan awak media.
Dalam kesempatan yang sama, pendiri dan komisaris Jababeka, SD Darmono mengatakan selama perseroan belum mengakui adanya change of control maka klausul tersebut tidak akan aktif. Jababeka, kata Darmono, baru menyebut adanya potensi change of control namun belum ada pengakuan secara tertulis.
"Change of control ini baru dikatakan potensi, belum kenyataan," kata Darmono.
Mengacu data Bursa Efek Indonesia, saat ini nilai kas yang dimiliki perseroan hingga akhir Juni 2019 tercatat sebesar Rp 845 miliar, sedangkan notes senior jangka panjang tersebut harus dibayarkan dalam kurun waktu sebulan, senilai US$ 300 juta atau setara Rp 4,5 triliun. Bila dipaksakan harus membayar, Jababeka akan berada dalam kondisi lalai atau default.
Darmono mengakui, ada beberapa pihak yang menginginkan perseroan berada dalam kondisi default, sehingga kawasan industri Jababeka bisa terancam mengalami kebangkrutan. "Kalau KIJA bangkrut maka yang akan masuk untuk mengatur adalah para kreditur, bukan manajemen saat ini," tandasnya.
(hps/hps) Next Article Kisruh Jababeka, Diduga Ada Penyelundupan Hukum di Hasil RUPS
Most Popular