Sentuh Harga Tertinggi 10 Pekan, Tanda Harga CPO Membaik?

Houtmand Saragih, CNBC Indonesia
09 August 2019 06:30
Harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada perdagangan kemarin menyentuh level tertinggi dalam 10 pekan terakhir
Foto: Kelapa sawit (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada perdagangan kemarin menyentuh level tertinggi dalam 10 pekan terakhir. Harapan damai dagang Amerika Serikat (AS)-China yang terjaga membuat harga komoditas ini terkerek.

Pada perdagangan kemarin harga CPO kontrak pengiriman Oktober di Bursa Malaysia Derivatives Exchange (BMDEX) menguat 0,29% ke MYR 2.110/ton (US$ 504,78/ton). Sehari sebelumnya, harga CPO ditutup menguat 0,1%.

Pada saat yang sama terjadi kenaikan harga minyak kedelai. Di bursa Chicago Board of Trade (CBOT), harga minyak kedelai acuan kontrak pengiriman September ditutup melesat pada perdagangan kemarin.



Minyak kedelai merupakan saingan sejati dari minyak sawit, dimana seluruh fungsi minyak sawit dapat diganti oleh minyak kedelai. Jadi pergerakan harga kedelai biasanya akan memberi pengaruh searah pada harga CPO.

Sementara, penutupan perdagangan kontrak berjangka (futures) kedelai AS terjadi pada dini hari waktu Indonesia. Perdagangan futures CPO di Malaysia dilakukan pada rentang waktu 09:30-17:00 WIB. Dengan demikian, dampak dari sentimen pergerakan harga perdagangan kedelai memiliki jeda satu sesi perdagangan dengan CPO.

Kenaikan harga kedelai dipengaruhi oleh harapan damai dagang AS-China yang kembali muncul. Dalam sebuah wawancara dengan CNBC Internasional, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan bahwa Presiden AS, Donald Trump, masih ingin melanjutkan dialog dagang dan membuka kemungkinan untuk memberi ruang pada pelonggaran bea impor produk China.




"Kenyataannya adalah kami masih mau untuk melakukan negosiasi. Kami merencanakan untuk mengundang tim negosiator China untuk datang ke mari (Washington) pada bulan September. Segala sesuatu dapat berubah terkait dengan tarif," ujar Kudlow dalam wawancara yang disiarkan dalam program "Squawk on the Street" di CNBC TV.

Pernyataan Kudlow memberi sinyal bahwa dialog dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia masih belum usai dan bisa jadi hasilnya positif.

Sebelumnya Trump telah mengumumkan rencana pengenaan tarif baru sebesar 10% atas produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang sebelumnya tidak terdampak perang dagang dalam sebuah cuitan melalui akun Twitter @realDonaldTrump. Wall Street Journal (WSJ) mengabarkan bahwa cuitan tersebut Trump buat meskipun sebagian besar penasihatnya menentang keputusan penerapan tarif baru.

"Dalam tweet dan percakapannya dengan tim perdagangan, dia (Trump) ingin melanjutkan negosiasi. Dia ingin membuat kesepakatan. Itu harus menjadi kesepakatan yang tepat untuk AS. Kami lebih suka transaksi komersial," pungkas Kudlow.

Meskipun tampaknya kesepakatan dagang masih jauh namun jalan ke arah sana kembali terbuka.

Pernyataan Trump tersebut sempat direspon oleh China, dengan memberikan reaksi menghentikan pembelian produk-produk agrikultur dari AS, termasuk kedelai.

Alhasil, ketegangan tersebut sempat membuat harga CPO turun. Namun dalam kurun waktu 10 minggu terakhir, ada tren harga CPO naik setelah terus tertekan dari awal tahun.

Namun kecenderungan harga naik dibayangi oleh kelebihan produksi CPO dunia. Indonesia sebagai negara produsen terbesar pada 2018 mampu memproduksi 47 juta ton CPO.

Pada 2019, jumlah produksi diperkirakan hanya 45 juta ton. Produsen CPO menahan diri memproduksi lebih banyak karena harga jual yang rendah.

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) kondisi industri minyak sawit Indonesia sedang tak tentu. Ketidakpastian dalam dinamika pasar minyak nabati dunia membuat harga CPO tetap bergerak pada kisaran harga rendah.

"Sementara itu, pertumbuhan daya serap pasar minyak sawit di dalam negeri juga tidak terlalu besar," ujar Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono, dalam siaran pers yang diterima CNBC Indonesia, Kamis (08/08/2019).

Menurut Mukti, kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tidak tumbuh maksimal karena ada beberapa dinamika di pasar global khususnya di negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti India, Uni Eropa, China dan AS.

[Gambas:Video CNBC]
(hps/sef) Next Article Pemerintah Hapus Pungutan CPO, Begini Respons Produsennya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular