
Kinerja Emiten Pelayaran Tertekan, Orderan BUMN Masih Oke?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
24 July 2019 14:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang kuartal pertama tahun ini, kinerja industri pelayaran cukup tertekan karena harga minyak dunia yang meroket, harga batu bara yang anjlok, dan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Naiknya harga minyak tentu berpengaruh kepada tarif pelayaran (freight) termasuk juga dari perusahaan-perusahaan pelayaran di Bursa Efek Indonesia.
Tim Riset CNBC Indonesia merangkum kinerja beberapa emiten pelayaran.
Berdasarkan tabel di atas, terlihat kinerja keuangan mayoritas emiten pelayaran tertekan dengan mencatatkan pertumbuhan negatif pada pos laba bersih, atau bahkan gagal meraup keuntungan dan harus pasrah merugi.
Kenaikan harga minyak dunia pada 3 bulan pertama 2019 berdampak pada tingginya biaya operasional perusahaan. Pasalnya, pemasukan industri pelayaran umumnya contract base atau berbasis kontrak, dengan kata lain biaya pengiriman yang dikenakan kepada pelanggan berdasarkan nilai kontrak yang telah disetujui.
Jika harga minyak naik maka biaya bahan bakar perusahaan semakin tinggi dan akan mengikis keuntungan perusahaan. Sebagai informasi, pada kuartal I-2019 harga minyak dunia jenis Brent (untuk patokan pasar Eropa) naik 32,44%, sedangkan jenis lightsweet (WTI) naik 27,12%.
Lebih lanjut, untuk perusahaan pelayaran yang mengangkut batu bara seperti PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS), rendahnya permintaan batu bara tentunya akan berdampak pada penurunan permintaan jasa pengangkutan komoditas tersebut.
Permintaan batu bara turun dikarenakan rendahnya permintaan dari China yang merupakan imbas dari tensi perang dagang AS dan China, serta komitmen Negeri Tiongkok untuk mulai mengurangi konsumsi energi berbahan bakar fosil.
Uniknya, meski kinerja laba bersih mayoritas emiten pelayaran tertekan, namun pemasukan dari proyek kerja sama dengan perusahaan milik pemerintah, seperti Pertamina masih meningkat.
Sebagai contohnya, sepanjang kuartal I-2019, HITS mencatat pemasukan dari PT Pertamina naik menjadi US$ 11,51 juta (Rp 163,93 miliar) dari US$ 9,1 juta (Rp 129,55 miliar) di kuartal I-2018.
Selain itu, PT Logindo Samudramakmur (LEAD) yang per Maret 2019 merugi Rp 49,73 miliar masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari PT Pertamina Hulu Mahakam, yang sebelumnya sebesar US$ 2,38 juta (Rp 33,87 miliar) menjadi US$ 2,62 juta (Rp 37,29 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Kinerja Q1 I-2019 Tokcer, Harga Saham Soechi Meroket 32%
Naiknya harga minyak tentu berpengaruh kepada tarif pelayaran (freight) termasuk juga dari perusahaan-perusahaan pelayaran di Bursa Efek Indonesia.
Tim Riset CNBC Indonesia merangkum kinerja beberapa emiten pelayaran.
![]() |
Berdasarkan tabel di atas, terlihat kinerja keuangan mayoritas emiten pelayaran tertekan dengan mencatatkan pertumbuhan negatif pada pos laba bersih, atau bahkan gagal meraup keuntungan dan harus pasrah merugi.
Kenaikan harga minyak dunia pada 3 bulan pertama 2019 berdampak pada tingginya biaya operasional perusahaan. Pasalnya, pemasukan industri pelayaran umumnya contract base atau berbasis kontrak, dengan kata lain biaya pengiriman yang dikenakan kepada pelanggan berdasarkan nilai kontrak yang telah disetujui.
Jika harga minyak naik maka biaya bahan bakar perusahaan semakin tinggi dan akan mengikis keuntungan perusahaan. Sebagai informasi, pada kuartal I-2019 harga minyak dunia jenis Brent (untuk patokan pasar Eropa) naik 32,44%, sedangkan jenis lightsweet (WTI) naik 27,12%.
Lebih lanjut, untuk perusahaan pelayaran yang mengangkut batu bara seperti PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS), rendahnya permintaan batu bara tentunya akan berdampak pada penurunan permintaan jasa pengangkutan komoditas tersebut.
Permintaan batu bara turun dikarenakan rendahnya permintaan dari China yang merupakan imbas dari tensi perang dagang AS dan China, serta komitmen Negeri Tiongkok untuk mulai mengurangi konsumsi energi berbahan bakar fosil.
Uniknya, meski kinerja laba bersih mayoritas emiten pelayaran tertekan, namun pemasukan dari proyek kerja sama dengan perusahaan milik pemerintah, seperti Pertamina masih meningkat.
Sebagai contohnya, sepanjang kuartal I-2019, HITS mencatat pemasukan dari PT Pertamina naik menjadi US$ 11,51 juta (Rp 163,93 miliar) dari US$ 9,1 juta (Rp 129,55 miliar) di kuartal I-2018.
Selain itu, PT Logindo Samudramakmur (LEAD) yang per Maret 2019 merugi Rp 49,73 miliar masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari PT Pertamina Hulu Mahakam, yang sebelumnya sebesar US$ 2,38 juta (Rp 33,87 miliar) menjadi US$ 2,62 juta (Rp 37,29 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Kinerja Q1 I-2019 Tokcer, Harga Saham Soechi Meroket 32%
Most Popular