BI Akhirnya Pangkas Bunga, Likuiditas Perbankan Apa Kabar?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 July 2019 15:40
BI Akhirnya Pangkas Bunga, Likuiditas Perbankan Apa Kabar?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin (18/7/2019), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempublikasikan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Mei 2019. Melalui publikasi ini, muramnya industri perbankan tanah air kian terlihat.

Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 memang terbilang lebih oke dari tahun 2018.


Hingga Mei 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.208,1 triliun, naik 11,1% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada Mei 2018 yakni pertumbuhan sebesar 10,4% saja (year-on-year/YoY).

Namun, kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per Mei 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.414,6 triliun, naik 6,28% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada Mei 2018 yakni pertumbuhan sebesar 6,31% YoY.

Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau loan to deposits ratio (LDR) bank umum konvensional berada di level 96,19% per Mei 2019, dari yang sebelumnya 91,99% pada Mei 2018.


Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika Bank Indonesia (BI) mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps. Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.

Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, marjin bunga bersih/net interest margin (NIM) perbankan menjadi menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Pada Mei 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,09%. Per Mei 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,9% saja.

Kalau likuiditas perbankan sudah begitu ketat seperti saat ini, tentu perekonomian akan sulit dipacu untuk melaju secara kencang. Walaupun ada permintaan kredit yang tinggi, ruang bagi perbankan untuk menyalurkannya sangatlah terbatas.

Beberapa hari yang lalu, BI merilis publikasi Survei Perbankan edisi kuartal II-2019. Sebagai informasi, survei ini dilakukan terhadap 40 bank umum dengan pangsa pasar kredit sekitar 80% dari total kredit.

Melalui publikasi ini, dapat diperoleh gambaran mengenai permintaan kredit di masa depan, berikut dengan prospek penghimpunan DPK.

Untuk periode kuartal III-2019, pertumbuhan kredit baru secara kuartalan (quarter-on quarter/QoQ) diperkirakan akan meningkat seiring dengan naiknya saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru menjadi 92,8%, dari 78,3% pada kuartal II-2019. Optimisme terhadap kuatnya kondisi perekonomian serta kondisi politik yang kondusif pasca pemilihan umum (Pemilu) disebut oleh responden sebagai faktor yang akan mendorong penyaluran kredit tumbuh lebih tinggi lagi pada kuartal ini.

Sementara itu, penghimpunan dana masyarakat pada kuartal III-2019 diperkirakan tumbuh melambat, tercermin dari SBT pertumbuhan DPK yang sebesar 87,1%, lebih rendah ketimbang capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 95,4%.

Jika survei dari BI ini benar terjadi, likuiditas perbankan akan semakin ketat pada kuartal-III 2019.

Lanjut ke halaman berikutnya >>>


Beruntung, BI datang membawa harapan baru. Momen yang ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar keuangan tanah air, berikut juga berbagai pejabat pemerintah, akhirnya datang juga. Pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari yang dimulai sejak hari Rabu (17/7/2019) dan berakhir kemarin, BI mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.

Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebanyak 175 bps.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan ini membawa harapan bahwa likuiditas perbankan akan mengendur. Pasalnya, pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan mendorong yield obligasi pemerintah turun.


Melansir data yang dipublikasikan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), pada perdagangan kemarin yield obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 5 tahun turun sebesar 3,17 bps. Untuk tenor 10, 15, dan 20 tahun, penurunannya masing-masing adalah sebesar 3,42 bps, 2,64 bps, dan 0,57 bps.

Ingat, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.


Pada hari ini (hingga artikel ini ditulis, 15:00 WIB), yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 1,2 bps dan 1,3 bps, melansir data Refinitiv.

Kedepannya, tingkat suku bunga acuan bisa terus turun. Hal ini dikarenakan BI sendiri membuka ruang untuk kembali memangkas suku bunga acuan. BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.

"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Dengan penurunan yield yang sudah terjadi sedari saat ini, ditambah potensi penurunan lebih lanjut kedepannya, tingkat suku bunga deposito yang sudah terus dikerek naik oleh perbankan pun akan dianggap menarik oleh pelaku pasar. Kalau yield terus turun dengan besaran yang signifikan, deposito akan dianggap kian menarik. Akibatnya, dana pelaku pasar bisa dialihkan ke deposito sehingga membuat likuiditas perbankan menjadi longgar. Pada akhirnya, penyaluran kredit bisa dipacu lebih deras lagi.

Sebagai catatan, semenjak BI mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan pada Mei 2018 lalu, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun. Per Mei 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja, investasi, dan konsumsi (denominasi rupiah) tercatat masing-masing sebesar 10,54%, 10,29%, dan 12,34%.  Per Mei 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,46%, 10,26%, dan 11,57%.

Dengan tingkat suku bunga kredit saat ini, penyaluran kredit sudah tumbuh relatif tinggi, menandakan bahwa permintaan atas kredit itu memang ada. Karena sudah menurunkan tingkat suku bunga kredit dan ‘mengorbankan’ NIM, mungkin bank tak perlu lagi menurunkan suku bunga kredit dalam merespons pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang diumumkan oleh BI kemarin.

Kombinasi antara melimpahnya likuiditas dan NIM yang terjaga (karena tingkat suku bunga kredit mungkin tak perlu lagi dipangkas) akan membuat bank-bank di tanah air semakin bersemangat untuk menyalurkan kredit.

Jadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi oleh Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral datang di saat yang begitu krusial. Racikan kebijakan moneter oleh BI seharusnya bisa disambut oleh pemerintah dengan merilis insentif fiskal, supaya dampaknya terhadap perekonomian bisa lebih besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular