
BI Akhirnya Pangkas Bunga, Likuiditas Perbankan Apa Kabar?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 July 2019 15:40

Beruntung, BI datang membawa harapan baru. Momen yang ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar keuangan tanah air, berikut juga berbagai pejabat pemerintah, akhirnya datang juga. Pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari yang dimulai sejak hari Rabu (17/7/2019) dan berakhir kemarin, BI mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.
Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebanyak 175 bps.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan ini membawa harapan bahwa likuiditas perbankan akan mengendur. Pasalnya, pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan mendorong yield obligasi pemerintah turun.
Melansir data yang dipublikasikan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), pada perdagangan kemarin yield obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 5 tahun turun sebesar 3,17 bps. Untuk tenor 10, 15, dan 20 tahun, penurunannya masing-masing adalah sebesar 3,42 bps, 2,64 bps, dan 0,57 bps.
Ingat, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Pada hari ini (hingga artikel ini ditulis, 15:00 WIB), yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 1,2 bps dan 1,3 bps, melansir data Refinitiv.
Kedepannya, tingkat suku bunga acuan bisa terus turun. Hal ini dikarenakan BI sendiri membuka ruang untuk kembali memangkas suku bunga acuan. BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Dengan penurunan yield yang sudah terjadi sedari saat ini, ditambah potensi penurunan lebih lanjut kedepannya, tingkat suku bunga deposito yang sudah terus dikerek naik oleh perbankan pun akan dianggap menarik oleh pelaku pasar. Kalau yield terus turun dengan besaran yang signifikan, deposito akan dianggap kian menarik. Akibatnya, dana pelaku pasar bisa dialihkan ke deposito sehingga membuat likuiditas perbankan menjadi longgar. Pada akhirnya, penyaluran kredit bisa dipacu lebih deras lagi.
Sebagai catatan, semenjak BI mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan pada Mei 2018 lalu, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun. Per Mei 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja, investasi, dan konsumsi (denominasi rupiah) tercatat masing-masing sebesar 10,54%, 10,29%, dan 12,34%. Per Mei 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,46%, 10,26%, dan 11,57%.
Dengan tingkat suku bunga kredit saat ini, penyaluran kredit sudah tumbuh relatif tinggi, menandakan bahwa permintaan atas kredit itu memang ada. Karena sudah menurunkan tingkat suku bunga kredit dan ‘mengorbankan’ NIM, mungkin bank tak perlu lagi menurunkan suku bunga kredit dalam merespons pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang diumumkan oleh BI kemarin.
Kombinasi antara melimpahnya likuiditas dan NIM yang terjaga (karena tingkat suku bunga kredit mungkin tak perlu lagi dipangkas) akan membuat bank-bank di tanah air semakin bersemangat untuk menyalurkan kredit.
Jadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi oleh Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral datang di saat yang begitu krusial. Racikan kebijakan moneter oleh BI seharusnya bisa disambut oleh pemerintah dengan merilis insentif fiskal, supaya dampaknya terhadap perekonomian bisa lebih besar lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/roy)
Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebanyak 175 bps.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan ini membawa harapan bahwa likuiditas perbankan akan mengendur. Pasalnya, pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan mendorong yield obligasi pemerintah turun.
Melansir data yang dipublikasikan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), pada perdagangan kemarin yield obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 5 tahun turun sebesar 3,17 bps. Untuk tenor 10, 15, dan 20 tahun, penurunannya masing-masing adalah sebesar 3,42 bps, 2,64 bps, dan 0,57 bps.
Ingat, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Pada hari ini (hingga artikel ini ditulis, 15:00 WIB), yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 1,2 bps dan 1,3 bps, melansir data Refinitiv.
Kedepannya, tingkat suku bunga acuan bisa terus turun. Hal ini dikarenakan BI sendiri membuka ruang untuk kembali memangkas suku bunga acuan. BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Dengan penurunan yield yang sudah terjadi sedari saat ini, ditambah potensi penurunan lebih lanjut kedepannya, tingkat suku bunga deposito yang sudah terus dikerek naik oleh perbankan pun akan dianggap menarik oleh pelaku pasar. Kalau yield terus turun dengan besaran yang signifikan, deposito akan dianggap kian menarik. Akibatnya, dana pelaku pasar bisa dialihkan ke deposito sehingga membuat likuiditas perbankan menjadi longgar. Pada akhirnya, penyaluran kredit bisa dipacu lebih deras lagi.
Sebagai catatan, semenjak BI mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan pada Mei 2018 lalu, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun. Per Mei 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja, investasi, dan konsumsi (denominasi rupiah) tercatat masing-masing sebesar 10,54%, 10,29%, dan 12,34%. Per Mei 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,46%, 10,26%, dan 11,57%.
Dengan tingkat suku bunga kredit saat ini, penyaluran kredit sudah tumbuh relatif tinggi, menandakan bahwa permintaan atas kredit itu memang ada. Karena sudah menurunkan tingkat suku bunga kredit dan ‘mengorbankan’ NIM, mungkin bank tak perlu lagi menurunkan suku bunga kredit dalam merespons pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang diumumkan oleh BI kemarin.
Kombinasi antara melimpahnya likuiditas dan NIM yang terjaga (karena tingkat suku bunga kredit mungkin tak perlu lagi dipangkas) akan membuat bank-bank di tanah air semakin bersemangat untuk menyalurkan kredit.
Jadi, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi oleh Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral datang di saat yang begitu krusial. Racikan kebijakan moneter oleh BI seharusnya bisa disambut oleh pemerintah dengan merilis insentif fiskal, supaya dampaknya terhadap perekonomian bisa lebih besar lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/roy)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular