
Setelah Izin Tanito Dicabut, Bagaimana Nasib KPC & Arutmin?
tahir saleh, CNBC Indonesia
12 July 2019 15:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Manajemen PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebagai induk usaha dari dua perusahaan tambang, PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (KPC), masih menunggu keputusan resmi pemerintah terkait konversi pemegang Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dua perusahaan tambang batu bara tersebut adalah pemegang PKP2B yang akan habis masa berlakunya. Kontrak Arutmin akan berakhir pada 2020, sementara KPC selesai pada 2021.
Direktur Independen BUMI Dileep Srivastava mengatakan pihaknya masih menunggu keputusan resmi pemerintah dan tidak ingin memberi pernyataan yang mendahului.
"Kami masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah on Coal Contract of Work [CCow atau PKP2B] conversion to IUPK," tegas Dileep kepada CNBC Indonesia, Jumat ini (12/7/2019).
Dileep menegaskan pihaknya belum bisa memberikan kepastian sikap karena masih menunggu keputusan otoritas. "Sebelum ada kejelasan, kami tidak berspekulasi," katanya. "Let wait and see [kita tunggu saja]," katanya.
Laporan keuangan BUMI per Maret 2019, mengungkapkan, bahwa BUMI menguasai saham Arutmin sebesar 70% secara langsung, dan 20% secara tak langsung lewat PT Green Resources. BUMI punya 99,50% saham Green.
BUMI juga memegang 25% saham langsung KPC dan 26% secara tak langsung lewat PT Sitrade Coal. BUMI memiliki 99,99% saham Sitrade.
Masih dari data laporan keuangan, pada 2 November 1981, Arutmin meneken PKP2B dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang dulunya bernama Perusahaan Negara Tambang Batubara. PKP2B itu untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi cadangan batu bara di area Blok VI Kalimantan Tenggara, sedangkan KPC diteken dengan PTBA pada 1982.
Kini, para pemegang PKP2B memang tengah harap-harap seiring dengan revisi Peraturan Pemerintah nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, selain PT Tanito Harum yang sudah dicabut izinnya, ada tujuh PKP2B lain yang segera berakhir dalam 5 tahun mendatang, yakni PT Kendilo Coal Indonesia pada pada 2021, KPC pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, Arutmin 2020, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, serta PT Berau Coal pada 2025.
Permohonan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK sebetulnya bisa diajukan dalam jangka waktu paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun sebelum berakhirnya PKP2B.
Namun pada kasus Tanito, izin operasionalnya dicabut dan lahan bekas tambangnya pun kembali ke negara sehingga kondisi ini membuat pelaku industri khawatir.
Menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif, kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, kekhawatiran bisa timbul jika PKP2B lain mengalami nasib serupa. Ia mencontohkan, apabila Arutmin Indonesia yang habis masa kontrak pada 2020 dan KPC yang habis izin pada 2021 juga terkatung-katung nasibnya maka akan memberikan dampak pada industri batu bara, karena total produksi keduanya mencapai 100 juta ton.
"Saat ini sedang terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara UU seperti saat ini. Semua ini jalan keluarnya lewat diskresi Presiden," ujar Irwandi kepada reporter CNBC Indonesia.
Hal serupa pun disampaikan oleh Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia. "PKP2B lain itu menyumbang hampir separuh produksi nasional, jadi kalau tidak ada kejelasan, dampaknya cukup besar," tandas Hendra.
Simak ulasan sentimen domestik dan emiten batu bara.
[Gambas:Video CNBC]
(gub) Next Article Habis Tahun Depan, Bagaimana Nasib Tambang Batu Bara BUMI?
Dua perusahaan tambang batu bara tersebut adalah pemegang PKP2B yang akan habis masa berlakunya. Kontrak Arutmin akan berakhir pada 2020, sementara KPC selesai pada 2021.
Direktur Independen BUMI Dileep Srivastava mengatakan pihaknya masih menunggu keputusan resmi pemerintah dan tidak ingin memberi pernyataan yang mendahului.
"Kami masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah on Coal Contract of Work [CCow atau PKP2B] conversion to IUPK," tegas Dileep kepada CNBC Indonesia, Jumat ini (12/7/2019).
Dileep menegaskan pihaknya belum bisa memberikan kepastian sikap karena masih menunggu keputusan otoritas. "Sebelum ada kejelasan, kami tidak berspekulasi," katanya. "Let wait and see [kita tunggu saja]," katanya.
Laporan keuangan BUMI per Maret 2019, mengungkapkan, bahwa BUMI menguasai saham Arutmin sebesar 70% secara langsung, dan 20% secara tak langsung lewat PT Green Resources. BUMI punya 99,50% saham Green.
BUMI juga memegang 25% saham langsung KPC dan 26% secara tak langsung lewat PT Sitrade Coal. BUMI memiliki 99,99% saham Sitrade.
Masih dari data laporan keuangan, pada 2 November 1981, Arutmin meneken PKP2B dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang dulunya bernama Perusahaan Negara Tambang Batubara. PKP2B itu untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi cadangan batu bara di area Blok VI Kalimantan Tenggara, sedangkan KPC diteken dengan PTBA pada 1982.
Kini, para pemegang PKP2B memang tengah harap-harap seiring dengan revisi Peraturan Pemerintah nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, selain PT Tanito Harum yang sudah dicabut izinnya, ada tujuh PKP2B lain yang segera berakhir dalam 5 tahun mendatang, yakni PT Kendilo Coal Indonesia pada pada 2021, KPC pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, Arutmin 2020, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, serta PT Berau Coal pada 2025.
Permohonan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK sebetulnya bisa diajukan dalam jangka waktu paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun sebelum berakhirnya PKP2B.
Namun pada kasus Tanito, izin operasionalnya dicabut dan lahan bekas tambangnya pun kembali ke negara sehingga kondisi ini membuat pelaku industri khawatir.
Menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif, kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Sebab, kekhawatiran bisa timbul jika PKP2B lain mengalami nasib serupa. Ia mencontohkan, apabila Arutmin Indonesia yang habis masa kontrak pada 2020 dan KPC yang habis izin pada 2021 juga terkatung-katung nasibnya maka akan memberikan dampak pada industri batu bara, karena total produksi keduanya mencapai 100 juta ton.
"Saat ini sedang terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara UU seperti saat ini. Semua ini jalan keluarnya lewat diskresi Presiden," ujar Irwandi kepada reporter CNBC Indonesia.
Hal serupa pun disampaikan oleh Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia. "PKP2B lain itu menyumbang hampir separuh produksi nasional, jadi kalau tidak ada kejelasan, dampaknya cukup besar," tandas Hendra.
Simak ulasan sentimen domestik dan emiten batu bara.
[Gambas:Video CNBC]
(gub) Next Article Habis Tahun Depan, Bagaimana Nasib Tambang Batu Bara BUMI?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular