Update Polling CNBC Indonesia

Konsensus: Neraca Dagang Juni Diramal Surplus US$ 516 Juta

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 July 2019 10:19
Konsensus: Neraca Dagang Juni Diramal Surplus US$ 516 Juta
Ilustrasi Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Menambah proyeksi dari Bank Danamon

Jakarta, CNBC Indonesia -
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali surplus pada Juni 2019. Namun sepanjang kuartal II-2019, neraca perdagangan sepertinya masih minus.


Awal pekan depan, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juni. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 8,3% year-on-year (YoY).  

Sementara impor diperkirakan negatif 5,26% YoY. Kemudian neraca perdagangan diramal surplus US$ 516 juta. 

InstitusiPertumbuhan Ekspor (%YoY)Pertumbuhan Impor (%YoY)Neraca Perdagangan (US$ Juta)
CIMB Niaga-10-5970
Bahana Sekuritas-5.31-7.77142
ING-8.7-11.41,885
Citi-15.4-7.1516
BCA8.222.1281
Danareksa Reserarch Institute-7.92.5400
ANZ-9-61,185
Maybank Indonesia-14.96-7.23580
Barclays52072
Bank Permata-3.525687
Moody's Analytics---1,400
Standard Chartered-4.66.2402
Bank Danamon-11.35-5.52855
MEDIAN-8.3-5.26516
 
Pada Mei, ekspor tercatat turun 8,9% YoY dan impor anjlok 17,71% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 208 juta. 

Baca:
Neraca Dagang Maret Memang Surplus, Tapi Jangan Happy Dulu!

Selama kuartal II-2019, neraca perdagangan masih tekor US$ 2,08 miliar karena defisit yang begitu dalam pada April. Oleh karena itu, meski neraca perdagangan kembali surplus pada Juni nyaris mustahil membalik neraca perdagangan menjadi surplus. 

 

Menarik untuk melihat dampak data perdagangan terhadap arah suku bunga acuan. Neraca perdagangan yang kemungkinan besar defisit pada kuartal II-2019 akan berdampak ke transaksi berjalan (current account). 

Pada kuartal I-2019, neraca perdagangan membukukan defisit tipis US$ 60 juta. Itu pun sudah membuat transaksi berjalan defisit 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2018. 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin defisit transaksi berjalan kuartal II-2019 akan lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya. Padahal transaksi berjalan menjadi salah satu indikator yang dipantau ketat oleh Bank Indonesia (BI). 

Ketika transaksi berjalan defisit, maka pasokan devisa yang berjangka panjang (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa cenderung mampet. Ini membuat nilai tukar mata uang mudah melemah karena fondasi yang rapuh. 

Baca:
Terobosan Menteri Jokowi Atasi CAD, Ampuh atau Lumpuh?

Kalau nilai tukar rupiah melemah, tentu BI tidak bisa santai. Sebab salah satu mandat BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar. 

Untuk mengimbangi defisit di transaksi berjalan, maka pasokan valas dari sektor keuangan atau investasi portofolio (hot money) harus kencang. Salah satu yang bisa menarik hot money adalah suku bunga tinggi. Ini yang membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali tahun lalu. 

Saat ini rupiah memang boleh dibilang stabil bahkan perkasa. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat sampai 1,19% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 



Akan tetapi, rupiah tetap rawan 'digoyang' kalau transaksi berjalan masih bermasalah. Ini tentu membuat BI pikir-pikir. Apakah memang sudah saatnya menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sebenarnya BI punya celah untuk menurunkan suku bunga acuan. Sebab, setidaknya sampai akhir tahun ini, ada kemungkinan arus hot money akan 'menyerbu' Indonesia karena tren pelonggaran kebijakan moneter di negara-negara maju. 

Misalnya di AS. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas pemangkasan suku bunga acuan dua kali atau 50 basis poin (bps) sampai akhir 2019 adalah 36,9%. Sementara peluang penurunan Federal Funds Rate sampai tiga kali atau 75 bps adalah 35,7%. 

Artinya, suku bunga acuan di Negeri Paman Sam bakal turun setidaknya dua kali tahun ini. Berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik, dan arus modal pun mencari lokasi yang masih mendatangkan cuan jumbo. 

Indonesia bisa menjadi pilihan, karena menawarkan keuntungan yang lebih ketimbang negara-negara tetangga. Contohnya di obligasi negara.  

Imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun pada pukul 10:02 WIB berada di 7,226%. Lebih tinggi ketimbang instrumen serupa di Malaysia (3,632%), Thailand (2%), Filipina (5,045%), sampai India (6,493%). 

Jadi masih ada harapan investor mau menanamkan modal di pasar keuangan Indonesia. Dengan begitu pasokan valas tetap terjaga, meski yang datang ini bisa keluar kapan saja. 

Meski transaksi berjalan masih defisit, tetapi kemungkinan bisa ditalangi oleh transaksi modal dan finansial, terutama portofolio. Rupiah pun bisa stabil sehingga mengurangi kecemasan BI. 

Over to you, Pak Gubernur Perry... 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular