Update Polling CNBC Indonesia

Aduh, Neraca Dagang Desember Diramal Tekor US$ 456,5 Juta

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 January 2020 06:35
Aduh, Neraca Dagang Desember Diramal Tekor US$ 456,5 Juta
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Menambahkan proyeksi dari Bahana Sekuritas.

Jakarta, CNBC Indonesia - 
Neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2019 diperkirakan kembali membukukan defisit. Namun sepertinya defisit neraca perdagangan tidak akan separah bulan sebelumnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data perdagangan internasional Indonesia periode Desember 2019 pada esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor masih akan mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 1,9% secara year-on-year (YoY). Sementara impor juga terkontraksi 4,4% YoY dan neraca perdagangan defisit US$ 456,5 juta.



Institusi

Pertumbuhan Ekspor (%YoY)

Pertumbuhan Impor (%YoY)

Neraca Perdagangan (US$ Juta)

ING

-0.7

-4.4

-277.2

Citi

5.2

-0.2

-267

Barclays

-0.3

-4

-500

Maybank Indonesia

-3.25

-7.06

-413

CIMB Niaga

-5.8

-8.9

-500

Standard Chartered

-1.5

-4

-632

BNI Sekuritas

-3.74

-6.64

-548.7

BCA

-1.9

-7.2

-207

Moody's Analytics

 

-800

Bahana Sekuritas

-3.81

-2.58

-89

MEDIAN

-1.9

-4.4

-456.5


Sebagai catatan, ekspor turun 5,67% YoY pada November 2019. Kemudian impor minus 9,24% YoY dan neraca perdagangan tekor US$ 1,33 miliar. Jadi kalau data Desember 2019 sesuai ekspektasi, maka ada perbaikan dibandingkan bulan sebelumnya.



Baca: Masalah RI Bukan Cuma Neraca Dagang Tekor, Lebih dari Itu!

Di sisi ekspor, pertumbuhan negatif sudah terjadi selama 13 bulan beruntun dan kemungkinan bakal 14 kali jika Desember kembali terkontraksi. Ini adalah rantai kontraksi ekspor terpanjang sejak Oktober 2014 hingga Agustus 2016.

Sedangkan impor 'baru' mencatat kontraksi dalam lima bulan terakhir. Apabila Desember 2019 minus lagi, maka akan menjadi enam bulan berturut-turut.

 


[Gambas:Video CNBC]



Apa mau dikata, memang sulit untuk berharap kinerja perdagangan internasional bisa membaik pada 2019. Ekspor tidak bisa diandalkan seiring penurunan harga komoditas andalan Indonesia.

Bank Indonesia (BI) mencatat indeks harga komoditas ekspor turun 3,7% YoY pada 2019. Lebih dalam dibandingkan koreksi pada 2018 yaitu 2,8% YoY.

Berikut gambaran perubahan indeks harga komoditas ekspor Indonesia secara YoY:

Komoditas

2016

2017

2018

2019 (s/d 11 Desember)

Tembaga

-10.5

27.1

6.7

-8.2

Batu Bara

6.8

48.2

2.5

-8.9

CPO

21.3

5.7

-19.2

-5.5

Karet

-2.2

28.1

-16.8

12.5

Nikel

-15.4

8.9

27.8

5.7

Timah

13.1

13.1

0.5

-7.1

Aluminium

-3.5

22.9

7.4

-14.3

Kopi

4.3

-2.9

-15.4

-9.2

Lainnya

1

6.8

1.2

-0.7

Indeks Harga Komoditas Indonesia

5.4

21.7

-2.8

-3.7

Tinjauan Kebijakan Moneter BI edisi Desember 2019

Baca: Duh Sedih Banget! Harga Aluminium Hingga Batu Bara RI Boncos

Penyebabnya apa lagi kalau bukan perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China. Selama 18 bulan terakhir, dua kekuatan ekonomi terbesar di planet Bumi tersebut saling hambat dengan 'berbalas pantun' mengenakan bea masuk.

Selama masa perang dagang, AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Ini dibalas oleh China dengan membebankan bea masuk terhadap impor produk AS senilai US$ 185 miliar.

Saat barang China sulit masuk ke AS gara-gara ada bea masuk dan begitu pula sebaliknya, maka dunia usaha di kedua negara tentu akan mengurangi produksi. Sepanjang 2019 terlihat bahwa pertumbuhan produksi industri di AS dan China terus melambat, bahkan AS sudah masuk ke zona kontraksi.



Nah, ketika pengusaha di AS dan China mengurangi produksi maka permintaan bahan baku dan barang modal tentu menurun. Tentu saja termasuk permintaan dari negara lain. Inilah yang disebut dengan rantai pasok.

Baca: Bunga Acuan Turun Pun Kalau Permintaan Lesu Mau Apa?

Dengan status sebagai dua pasar terbesar di dunia, penurunan permintaan di AS dan China tentu menyebabkan ekspor global ikut seret. Jadi tidak cuma di Indonesia, perdagangan dunia juga tumbuh negatif pada 2019.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan global pada 2019 hanya 1,2%. Jauh memburuk ketimbang 2018 yang mampu tumbuh 3%.

"Proyeksi yang lebih buruk ini memang mengkhawatirkan, tetapi bukan tidak terduga. Konflik perdagangan meningkatkan kadar ketidakpastian sehingga membuat dunia usaha mengurangi produksi. Ini tentunya bisa berdampak terhadap kehidupan masyarakat, karena penciptaan lapangan kerja akan terpukul. Menyelesaikan perselisihan dagang adalah kunci untuk menghindari risiko tersebut," tegas Roberto Azevedo, Direktur Jenderal WTO, sebagaimana dikutip dari siaran pers.

Baca: Makin Suram, Perdagangan Dunia Cuma Bakal Tumbuh 1,2% di 2019


Namun, kini ada harapan badai telah berlalu. Setelah melewati 2019 yang penuh derita, mulai terlihat ada pelangi pada 2020.

Yup, kini AS-China sudah di ambang damai dagang. Rencananya AS-China akan meneken kesepakatan damai dagang Fase I pada 15 Januari di Gedung Putih.


"Kami sudah menyelesaikan proses penerjemahan (dokumen). Semua akan melihat betapa luasnya cakupan kesepakatan ini," kata Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, seperti diberitakan Reuters.

Mnuchin menyebutkan, kesepakatan damai dagang AS-China Fase I akan mencakup hal-hal besar seperti perlindungan atas hak kekayaan intelektual, penghentian pemaksaan transfer teknologi, sampai urusan manipulasi kurs. Di luar itu, China juga berkomitmen untuk lebih banyak membeli produk made in the USA.

"Akan ada (pembelian) berbagai produk tambahan senilai US$ 200 miliar selama dua tahun. Termasuk (pembelian) produk-produk pertanian senilai US$ 40-50 miliar," ungkap Mnuchin.

Lebih menggembirakan lagi, AS-China juga akan segera bersiap untuk membahas kesepakatan Fase II. Pemerintahan Presiden Donald Trump berencana menyelesaikan perjanjian Fase II tahun ini yang di dalamnya akan mencakup seputar subsidi kepada perusahaan milik negara sampai keamanan siber. Tidak hanya itu, perjanjian damai dagang Fase II juga akan menentukan apakah AS dan China akan mencabut berbagai bea masuk yang diterapkan pada masa perang.

Perang dagang AS-China akhirnya akan berakhir. Perang dagang yang membuat ekonomi dunia nyaris lumpuh, bahkan menyeret sejumlah negara ke jurang resesi itu akan segera selesai.


Jadi, ke depan sepertinya kinerja perdagangan dunia akan membaik. Kalau itu terjadi, maka Indonesia tentu akan ikut merasakannya. Bukan tidak mungkin ekspor bisa kembali tumbuh positif pada tahun ini.

Semoga...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular