
Revisi PP Minerba Deadlock! Saham Emiten Batu Bara Berguguran
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
09 July 2019 10:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham emiten batu bara bertumbangan pada perdagangan pagi ini, Selasa (9/7/2019) setelah pembahasan mengenai revisi PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (minerba) tak jelas penyelesaiannya.
Data perdagangan pukul 10.00 WIB, menunjukkan, harga saham PT Indika Energy Tbk (INDY) turun 2,58% ke level harga Rp 1.700/saham, saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 1,45% ke level Rp 1.360/saham.
Demikian pula dengan saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun 0,43%, PT Harum Energy Tbk (HRUM) turun 0,36% ke level harga Rp 1.400 dan saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) turun 0,34%.
Senin kemarin (8/7/219) Komisi VII DPR RI melangsungkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot, Dirut PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum Budi Gunadi Sadikin, dan Plh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesian Mining Association (API-IMA) Djoko Widajatno membahas revisi PP 23/2010.
Namun pembahasan tersebut akhirnya deadlock atau buntu. Komisi VII DPR RI pun sampai kesal karena tarik ulur revisi PP tersebut.
Bahkan, sampai menyebut kalau menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo melakukan hal anarkis.
"Pemerintah ini anarkis sehingga banyak aturan-aturan," ujar Anggota Komisi VII DPR Fraksi Demokrat Zulfan Lindan.
"Coba draft revisi PP 23 itu, sudah ditandatangani oleh Menteri ESDM, Perindustrian, Menko Maritim. Tinggal satu yang tidak tanda tangan, itu Menteri BUMN, akhirnya harus dibalikin lagi draft-nya. Ini anarkis cara-cara begini," tutur Zulfan.
Memang, sampai saat ini, revisi PP 23/2010 belum jelas juntrungannya. Info yang diterima CNBC Indonesia dari pejabat di Kemensetneg, revisi yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara ini sementara tak berjalan sejak ada surat dan masukan yang dikirim oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, beberapa waktu lalu.
"Deadlock, ada masukan dari BUMN," ujar si pejabat yang tak mau disebut namanya, Jumat (21/6/2019).
Tarik ulur revisi PP Ii pun semakin kencang. BUMN berkeras bahwa tambang-tambang batu bara yang akan terminasi, yang kebetulan dimiliki oleh para taipan, tetap harus ditawarkan kepada BUMN terlebih dulu sebelum diberi perpanjangan.
Ini tertuang di surat Rini pada kepada Menteri Sekretaris Negara Praktikno 1 Maret 2019 lalu. "Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangan tangan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air. Apalagi tujuh tambang yang akan terminasi bisa dibilang tambang batu bara raksasa.
Kendati demikian, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menegaskan, apa yang dilakukan oleh Rini Soemarno hanya meminta agar revisi PP 23 tersebut disesuaikan dengan UU Minerba.
"Sama sekali tidak ada (maksud untuk menguasai semua lahan PKP2B yang habis izinnya). Surat bu menteri tidak ada itu," tegas Fajar, ketika dijumpai di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Upaya Pemerintah Ambil Alih Tambang Batu Bara
[Gambas:Video CNBC]
Imbasnya tak kelarnya pembahasan PP ini, ada tujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat masih terkatung-katung nasibnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, perpanjangan PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mengacu pada Undang-Undang 4/2009, PP 23/2010, dan PP 77/2014 yang merupakan perubahan ketiga dari PP 23/2010. Sehingga, pemberian perpanjangan kontrak pada dasarnya tidak menjadi masalah.
Sebelumnya, Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman pernah mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.
Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.
Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.
"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.
Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.
"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.
(hps/tas) Next Article Asa Pengusaha Batu Bara Pada Pemerintah
Data perdagangan pukul 10.00 WIB, menunjukkan, harga saham PT Indika Energy Tbk (INDY) turun 2,58% ke level harga Rp 1.700/saham, saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 1,45% ke level Rp 1.360/saham.
Demikian pula dengan saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun 0,43%, PT Harum Energy Tbk (HRUM) turun 0,36% ke level harga Rp 1.400 dan saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) turun 0,34%.
Senin kemarin (8/7/219) Komisi VII DPR RI melangsungkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot, Dirut PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum Budi Gunadi Sadikin, dan Plh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesian Mining Association (API-IMA) Djoko Widajatno membahas revisi PP 23/2010.
Namun pembahasan tersebut akhirnya deadlock atau buntu. Komisi VII DPR RI pun sampai kesal karena tarik ulur revisi PP tersebut.
Bahkan, sampai menyebut kalau menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo melakukan hal anarkis.
"Pemerintah ini anarkis sehingga banyak aturan-aturan," ujar Anggota Komisi VII DPR Fraksi Demokrat Zulfan Lindan.
"Coba draft revisi PP 23 itu, sudah ditandatangani oleh Menteri ESDM, Perindustrian, Menko Maritim. Tinggal satu yang tidak tanda tangan, itu Menteri BUMN, akhirnya harus dibalikin lagi draft-nya. Ini anarkis cara-cara begini," tutur Zulfan.
Memang, sampai saat ini, revisi PP 23/2010 belum jelas juntrungannya. Info yang diterima CNBC Indonesia dari pejabat di Kemensetneg, revisi yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara ini sementara tak berjalan sejak ada surat dan masukan yang dikirim oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, beberapa waktu lalu.
"Deadlock, ada masukan dari BUMN," ujar si pejabat yang tak mau disebut namanya, Jumat (21/6/2019).
Tarik ulur revisi PP Ii pun semakin kencang. BUMN berkeras bahwa tambang-tambang batu bara yang akan terminasi, yang kebetulan dimiliki oleh para taipan, tetap harus ditawarkan kepada BUMN terlebih dulu sebelum diberi perpanjangan.
Ini tertuang di surat Rini pada kepada Menteri Sekretaris Negara Praktikno 1 Maret 2019 lalu. "Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangan tangan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air. Apalagi tujuh tambang yang akan terminasi bisa dibilang tambang batu bara raksasa.
Kendati demikian, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menegaskan, apa yang dilakukan oleh Rini Soemarno hanya meminta agar revisi PP 23 tersebut disesuaikan dengan UU Minerba.
"Sama sekali tidak ada (maksud untuk menguasai semua lahan PKP2B yang habis izinnya). Surat bu menteri tidak ada itu," tegas Fajar, ketika dijumpai di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Upaya Pemerintah Ambil Alih Tambang Batu Bara
[Gambas:Video CNBC]
Imbasnya tak kelarnya pembahasan PP ini, ada tujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat masih terkatung-katung nasibnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, perpanjangan PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mengacu pada Undang-Undang 4/2009, PP 23/2010, dan PP 77/2014 yang merupakan perubahan ketiga dari PP 23/2010. Sehingga, pemberian perpanjangan kontrak pada dasarnya tidak menjadi masalah.
Sebelumnya, Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman pernah mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.
Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.
Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.
"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.
Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.
"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.
(hps/tas) Next Article Asa Pengusaha Batu Bara Pada Pemerintah
Most Popular