Ulasan Semester I-2019

Kinerja Poundsterling Semester I: Brexit, Brexit, dan Brexit

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 July 2019 14:21
Poundsterling Diprediksi Makin Jeblok
Foto: Ilustrasi Poundsterling (REUTERS/Dado Ruvic)
Semester-II tidak akan lebih mudah bagi poundsterling, dalam tiga pekan ke depan Inggris akan memiliki perdana menteri baru. Saat ini ada dua kandidat yang akan menggantikan May, mereka adalah Boris Johnson dan Jeremy Hunt.

Johnson menjadi unggulan saat ini, tetapi ia adalah tokoh euroskeptik dan telah menyatakan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan (Soft Brexit) ataupun tanpa kesepakatan alias no-deal (Hard Brexit) pada 31 Oktober. Kuatnya nama Boris Johnson menjadi perdana menteri Inggris menjadi salah satu alasan jebloknya poundsterling.


Masalah politik di Inggris juga tidak akan selesai setelah memiliki perdana menteri baru. Partai Buruh, sebagai oposisi, mengancam akan langsung melayangkan mosi tidak percaya kepada PM yang baru begitu menduduki kursi pemerintahan tertinggi.

Namun, pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn diprediksi akan menahan diri untuk mengajukan mosi tidak percaya hingga September nanti. Belum lagi Parlemen Eropa yang akan memasuki masa reses mulai 25 Juli hingga 3 September, hal ini berarti PM baru punya waktu yang sangat singkat untuk mengajukan proposal ke parlemen sebelum 31 Oktober.

Selain Brexit yang mencapai babak akhir (jika tidak ada penundaan lagi), kondisi ekonomi Inggris juga akan menjadi perhatian. Data terbaru menunjukkan perekonomian Inggris tidak mempunyai modal yang bagus memasuki semester II.



Markit di pekan ini melaporkan data aktivitas bisnis (sektor manufaktur, konstruksi, dan jasa) Inggris yang semuanya buruk. Angka indeks dari Makit menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau penurunan aktivitas, sebaliknya di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas. 

Pada hari Senin (1/7/19), Markit melaporkan data aktivitas sektor manufaktur sebesar 48,0 di bulan Juni, turun dari bulan sebelumnya 49,4. Kontraksi sektor pengolahan tersebut menjadi yang terdalam sejak Februari 2013.

Masih belum cukup, data sektor konstruksi lebih buruk lagi. Selasa (2/7/19) lalu Markit melaporkan angka indeks sektor konstruksi bulan Juni sebesar 43,1, turun dari bulan sebelumnya 48,6. Rilis tersebut merupakan angka terendah dalam 10 tahun terakhir, atau tepatnya sejak April 2009.

Sementara, data sektor jasa yang dirilis Rabu (3/7/19) sebesar 50,2, menurun dibandingkan bulan Mei sebesar 51,0. Aktivitas sektor jasa tersebut sedikit diambang batas antara ekspansi dan kontraksi. Buruknya data tersebut memicu spekulasi Gubernur BOE, Mark Carney, akan mengubah sikapnya.

Mengutip pemberitaan Reuters pelaku pasar kini memprediksi BOE dalam 12 bulan ke depan akan memangkas suku bunga acuannya. Masalah Brexit dan memburuknya ekonomi Inggris membuat Bank Barclays kini semakin bearish terhadap poundsterling.

Di akhir kuartal-III 2019, Barclays memprediksi poundsterling akan berada di kisaran US$ 1,27, dan di akhir tahun berada di kisaran US$ 1,25. Barclays bahkan memprediksi the cable akan mencapai US$ 1,20 di akhir kuartal-II 2020, mengutip poundsterlinglive.com.

Namun, prediksi dari Barclays bisa saja berubah seandainya terjadi Soft Brexit pada 31 Oktober nanti. Semua kembali tertuju pada Brexit, Brexit, dan Brexit.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular