Ulasan Semester I-2019

Kinerja Poundsterling Semester I: Brexit, Brexit, dan Brexit

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 July 2019 14:21
Kinerja Poundsterling Semester I: Brexit, Brexit, dan Brexit
Foto: Pound Sterling (REUTERS/Stefan Wermuth)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang poundsterling Inggris membukukan pelemahan 0,35% melawan dolar AS sepanjang semester-I 2019. Memang pelemahan yang tidak terlalu besar, tetapi hal tersebut bisa jadi mengecewakan.

Sejak awal tahun hingga pertengahan Maret, sterling sebenarnya sudah menguat hampir 5%. Setelah itu kekuatan the cable perlahan runtuh hingga masuk ke zona merah. 



Brexit. Satu kata tersebut menggambarkan berbagai kejadian yang menggerakkan sterling.

Penguatan poundsterling melawan dolar AS pada kuartal-I 2019 terjadi akibat Parlemen Inggris menolak terjadinya no-deal Brexit atau Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun. Banyak dinamika di pemerintah dan parlemen Inggris serta Uni Eropa, singkat cerita Brexit yang seharusnya dilakukan pada 29 Maret ditunda menjadi 31 Oktober 2019.

Setelah Brexit resmi ditunda, drama masih berlanjut di Inggris. Proposal Brexit yang dibuat Perdana Menteri (PM) Theresa May tiga kali ditolak Parlemen Inggris. Parlemen mengambil akhirnya mengambil-alih proses legislasi Brexit sehingga bisa membuat proposal sendiri.

Tidak kurang dari 10 proposal yang dibuat oleh parlemen semuanya gagal mendapat suara mayoritas saat voting. Arah Brexit menjadi tidak jelas, dan poundsterling mulai menunjukkan tren penurunan memasuki kuartal-II 2019.


Performa poundsterling semakin jeblok setelah PM May mendapat desakan mundur oleh Partai Konservatif. Theresa May, Perdana Menteri Inggris wanita kedua setelah Margaret Thatcher akhirnya mengumumkan pengunduran diri pada 24 Mei, dan mulai berlaku pada 7 Juni. May masih akan menjabat hingga PM baru terpilih.

Tarik ulur masalah Brexit memang menjadi penggerak utama poundsterling sepanjang tahun ini. Namun, kondisi ekonomi Inggris juga tidak bisa dikesampingkan.



Pasar tenaga kerja Inggris menunjukkan kekuatannya di tengah ketidakpastian Brexit. Tingkat pengangguran turun menjadi 3,8% pada bulan Maret, menjadi yang terendah sejak tahun 1974. Selain itu, rata-rata gaji per jam dalam tiga bulan yang berakhir April naik 3,1% dibandingkan periode yang sama setahun sebelumnya.

Di sisi lain, di bulan April inflasi Inggris tumbuh 2,1% year-on-year (YoY), jauh di bawah pertumbuhan rata-rata gaji. Perbandingan inflasi yang rata-rata gaji tersebut memberikan gambaran daya beli masyarakat Inggris masih akan cukup kuat.

Pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) juga cukup bagus, tumbuh 0,5% di kuartal-I 2019 dari kuartal-IV 2018.



Tidak heran jika Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) masih tetap berencana menaikkan suku bunga acuannya, berbeda dengan bank sentral lainnya yang akan memangkas bahkan ada yang sudah memangkas suku bunga.

Namun, sayangnya kinerja ekonomi yang cukup bagus terus dihantui oleh Brexit, yang membuat poundsterling terus melemah.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Semester-II tidak akan lebih mudah bagi poundsterling, dalam tiga pekan ke depan Inggris akan memiliki perdana menteri baru. Saat ini ada dua kandidat yang akan menggantikan May, mereka adalah Boris Johnson dan Jeremy Hunt.

Johnson menjadi unggulan saat ini, tetapi ia adalah tokoh euroskeptik dan telah menyatakan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa dengan kesepakatan (Soft Brexit) ataupun tanpa kesepakatan alias no-deal (Hard Brexit) pada 31 Oktober. Kuatnya nama Boris Johnson menjadi perdana menteri Inggris menjadi salah satu alasan jebloknya poundsterling.


Masalah politik di Inggris juga tidak akan selesai setelah memiliki perdana menteri baru. Partai Buruh, sebagai oposisi, mengancam akan langsung melayangkan mosi tidak percaya kepada PM yang baru begitu menduduki kursi pemerintahan tertinggi.

Namun, pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn diprediksi akan menahan diri untuk mengajukan mosi tidak percaya hingga September nanti. Belum lagi Parlemen Eropa yang akan memasuki masa reses mulai 25 Juli hingga 3 September, hal ini berarti PM baru punya waktu yang sangat singkat untuk mengajukan proposal ke parlemen sebelum 31 Oktober.

Selain Brexit yang mencapai babak akhir (jika tidak ada penundaan lagi), kondisi ekonomi Inggris juga akan menjadi perhatian. Data terbaru menunjukkan perekonomian Inggris tidak mempunyai modal yang bagus memasuki semester II.



Markit di pekan ini melaporkan data aktivitas bisnis (sektor manufaktur, konstruksi, dan jasa) Inggris yang semuanya buruk. Angka indeks dari Makit menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau penurunan aktivitas, sebaliknya di atas 50 menunjukkan ekspansi atau peningkatan aktivitas. 

Pada hari Senin (1/7/19), Markit melaporkan data aktivitas sektor manufaktur sebesar 48,0 di bulan Juni, turun dari bulan sebelumnya 49,4. Kontraksi sektor pengolahan tersebut menjadi yang terdalam sejak Februari 2013.

Masih belum cukup, data sektor konstruksi lebih buruk lagi. Selasa (2/7/19) lalu Markit melaporkan angka indeks sektor konstruksi bulan Juni sebesar 43,1, turun dari bulan sebelumnya 48,6. Rilis tersebut merupakan angka terendah dalam 10 tahun terakhir, atau tepatnya sejak April 2009.

Sementara, data sektor jasa yang dirilis Rabu (3/7/19) sebesar 50,2, menurun dibandingkan bulan Mei sebesar 51,0. Aktivitas sektor jasa tersebut sedikit diambang batas antara ekspansi dan kontraksi. Buruknya data tersebut memicu spekulasi Gubernur BOE, Mark Carney, akan mengubah sikapnya.

Mengutip pemberitaan Reuters pelaku pasar kini memprediksi BOE dalam 12 bulan ke depan akan memangkas suku bunga acuannya. Masalah Brexit dan memburuknya ekonomi Inggris membuat Bank Barclays kini semakin bearish terhadap poundsterling.

Di akhir kuartal-III 2019, Barclays memprediksi poundsterling akan berada di kisaran US$ 1,27, dan di akhir tahun berada di kisaran US$ 1,25. Barclays bahkan memprediksi the cable akan mencapai US$ 1,20 di akhir kuartal-II 2020, mengutip poundsterlinglive.com.

Namun, prediksi dari Barclays bisa saja berubah seandainya terjadi Soft Brexit pada 31 Oktober nanti. Semua kembali tertuju pada Brexit, Brexit, dan Brexit.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(pap/pap) Next Article Sudah Naik 7 Hari, Poundsterling Tembus Rp 20.000 Pekan Ini?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular