6 Emiten Terpaksa Ganti Usaha demi Sambung Nyawa, Tepatkah?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2019 09:14
6 Emiten Terpaksa Ganti Usaha demi Sambung Nyawa, Tepatkah?
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sebanyak enam emiten resmi mengubah klasifikasi sektor industri dan berlaku efektif mulai perdagangan pada Senin, 1 Juli 2019.

Keenam perusahaan tersebut yakni PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk (IKAI), PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), PT Capitalinc Investment Tbk (MTFN), PT Rimo International Tbk (RIMO), PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (MABA), dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS).

"Perubahan sektor industri ini berlaku efektif pada 1 Juli 2019," kata Irvan Susandy, Kadiv Pengaturan dan Operasional Perdagangan BEI serta Verdi Ikhwan, Kadiv Riset BEI, dalam pengumuman, dikutip Senin (1/7/2019).



Lantas, tepatkah keputusan para emiten tersebut?

Jika diperhatikan, mayoritas dari kegiatan usaha baru yang dipilih oleh keenam emiten di atas kurang menarik. Jika berbicara mengenai kegiatan usaha restoran, hotel, dan pariwisata, mahalnya harga tiket pesawat membuat prospek dari kegiatan usaha ini menjadi kurang menarik.

Restoran, Hotel dan Pariwisata

Dalam beberapa waktu terakhir, harga tiket pesawat memang melonjak dan menyebabkan pemanfaatan moda transportasi udara tersebut menjadi turun.


Pada periode mudik tahun ini saja misalnya, ada penurunan yang signifikan atas jumlah penumpang pesawat. Padahal, biasanya kehadiran hari raya Idul Fitri bisa mendongkrak jumlah penumpang lantaran masyarakat Indonesia menikmati distribusi Tunjangan Hari Raya (THR).

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, dari 36 bandara yang dipantau pada saat H-7 hingga H-2 Lebaran 2019 terjadi penurunan jumlah penerbangan sebesar 30,08% dibanding jumlah penerbangan tahun sebelumnya. Tahun lalu ada 13.921 penerbangan, sementara tahun ini sebesar 9.733 penerbangan.

Penurunan serupa juga terjadi pada jumlah penumpang. Di tahun 2018, jumlah penumpang terangkut pada H-7 sampai H-2 Lebaran sebanyak 1.732.023. Di tahun ini, jumlah penumpang terangkut hanya sebanyak 1.200.180 atau turun 30,71%.


Memang, pemerintah sudah mengambil langkah untuk menurunkan harga tiket pesawat. Namun, efeknya rasanya tak akan signifikan mengingat kebijakan yang diambil mungkin bisa dibilang setengah hati.

Pada awal pekan ini, pemerintah melalui Kementerian Bidang Perekonomian memutuskan untuk menurunkan harga tiket pesawat jenis Low Cost Carier (LCC). Namun, harga tiket yang akan turun hanyalah untuk penerbangan domestik dengan jadwal tertentu.

Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono mengatakan harga tiket yang akan turun adalah untuk LCC domestik di hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.

"Penerbangannya antara pukul 10.00-14.00 WIB di masing-masing bandara," katanya di Jakarta, Senin (1/7/2019).

Menurutnya, akan ada alokasi tempat duduk (seat) tertentu yang tiketnya diberikan diskon 50%.

"Untuk yang kami sampaikan tadi, akan diberikan diskon 50% dari tarif batas atas. Yang penting kita komitmen sekian persen dari total pesawat akan dialokasikan untuk penerbangan murah," jelasnya.

Detail dari kebijakan ini baru akan diumumkan pada hari Kamis (4/7/2019).

Kalau penurunan harga tiket pesawat hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, besar kemungkinan bahwa kegiatan usaha restoran, hotel, dan pariwisata tak akan bergairah.

LANJUT KE HALAMAN 2>>


Batu Bara
Berbicara mengenai kegiatan usaha pertambangan batu bara, saat ini harga batu bara sedang berada di level yang sangat rendah. Saat ini, harga batu bara sedang berada di kisaran level terendah sejak September 2016.

Sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin, 2/7/2019), harga batu bara Newcastle kontrak acuan telah ambruk hingga 30%, dari US$ 101,4/metrik ton menjadi US$ 70,95/metrik ton.

Perang dagang menjadi salah satu faktor yang menekan harga batu bara. Dimulai pada semester I-2018, hingga kini AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Perang dagang AS-China terlihat jelas sudah menyakiti perekonomian keduanya. Di China, dalam enam bulan pertama tahun 2019, tercatat aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.

Hal ini terlihat dari angka Manufacturing PMI pada bulan-bulan tersebut yang berada di bawah 50, menunjukkan adanya kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Kala aktivitas manufaktur terus saja lesu, praktis permintaan atas batu bara selaku salah satu sumber energi utama akan terus lemah dan menekan harganya.


   

Harga Minyak Sedang Merangkak Naik
Khusus untuk kegiatan usaha pertambangan minyak, prospek ke depannya bisa dibilang cukup seksi. Sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin), harga minyak WTI (west texas intermediate) kontrak acuan telah menguat 23,9%, sementara Brent kontrak acuan naik 16%.




Ke depannya, harga minyak mentah dunia bisa terus menguat. Berbeda dengan batu bara yang permintaan dan harganya tertekan seiring dengan panasnya perang dagang AS-China, harga minyak mentah bisa didongkrak naik oleh kesepakatan pemangkasan produksi oleh negara-negara penghasil minyak mentah, baik yang tergabung dalam OPEC maupun tidak.

Kemarin, Rusia dan sembilan negara produsen minyak non-OPEC lainnya setuju untuk memperpanjang pemangkasan produksi yang sedianya akan berakhir pada bulan ini untuk sembilan bulan mendatang.

Keputusan ini datang pasca pada hari Senin negara-negara anggota OPEC setuju untuk memperpanjang kebijakan tersebut selama sembilan bulan atau hingga Maret 2020.

Sebagai informasi, pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC pada saat ini adalah sekitar 1,2 juta barel per hari.

LANJUT KE HALAMAN 3>>


Berbicara mengenai kegiatan usaha properti, sejatinya penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) terbilang deras.

Pada kuartal I-2019, melansir publikasi Survei Harga Properti Residensial yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), penyaluran KPR dan KPA tumbuh sebesar 15,67% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan capaian periode yang sama tahun 2018 sebesar 11,99%.

Namun jika dicermati dari sisi harga, kenaikan harga properti ternyata tipis saja. Pada periode kuartal I-2019, BI mencatat bahwa harga properti residensial di 18 kota tumbuh sebesar 2,04% secara tahunan, lebih rendah ketimbang pertumbuhan pada periode kuartal I-2018 yang sebesar 3,69%.

Untuk periode kuartal II-2019, BI memperkirakan bahwa harga properti residensial di 18 kota tumbuh tipis 1,8% secara tahunan, di bawah realisasi pertumbuhan periode kuartal II-2018 yang sebesar 3,26%.

Agaknya, para pengembang mematok harga yang relatif murah guna mendongkrak penjualan. Hal ini tentu mempengaruhi marjin dari para pengembang.

Jangan lupakan juga bahwa likuditas perbankan saat ini sudah sangat ketat. Melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposits Ratio (LDR) dari bank umum konvensional naik menjadi 94,25% pada April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018. Per awal tahun 2019, LDR berada di angka 93,97%.

Ini artinya, ruang bagi perbankan untuk menyalurkan KPR dan KPA sudah tidak besar lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular