
Muramnya Industri Perbankan: Likuiditas Ketat & Marjin Tipis
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 June 2019 12:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempublikasikan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode April 2019. Melalui publikasi ini, muramnya industri perbankan tanah air kian terlihat.
Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 memang terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga April 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.098,8 triliun, naik 11,2% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 9% saja (year-on-year/YoY).
Namun, kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per April 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.098,7 triliun, naik 6,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,9% YoY.
Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposits Ratio (LDR) naik menjadi 94,25% pada April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018.
Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika Bank Indonesia (BI) mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps.
Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada April 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per April 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,87% saja.
Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 memang terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga April 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.098,8 triliun, naik 11,2% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 9% saja (year-on-year/YoY).
Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposits Ratio (LDR) naik menjadi 94,25% pada April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018.
Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika Bank Indonesia (BI) mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps.
Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga pinjaman yang ditawarkan bank harus menarik. Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada April 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per April 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,87% saja.
Next Page
Bank Indonesia Perlu Gerak Cepat
Pages
Most Popular