
Muramnya Industri Perbankan: Likuiditas Ketat & Marjin Tipis
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 June 2019 12:41

Bank Indonesia (BI) kini perlu mempertimbangkan dengan sangat serius opsi pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Jika BI 7-Day Reverse Repo Rate benar mau dipangkas, hal ini harus dilakukan dengan segera. Pasalnya jika tidak, ketatnya likuiditas yang saat ini dihadapi perbankan bisa terus terjadi kedepannya.
Sebagai informasi, pada bulan ini BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir Kamis (20/6/2019). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Memang, ada stimulus yang diberikan oleh bank sentral. BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%.
Namun, suntikan likuditas ke perbankan dari kebijakan ini bisa dibilang minim, hanya Rp 25 triliun.
Sayangnya lagi, hingga saat ini bank sentral terlihat masih ragu untuk melonggarkan tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan rasanya pas untuk segera dilakukan jika melihat AS-China yang kian dekat dengan yang namanya kesepakatan dagang. Sebagai informasi, rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di gelaran KTT G20 pada akhir bulan ini di Jepang sudah dikonfirmasi akan terealisasi. Konfirmasi tersebut datang sendiri dari Trump.
Menurut kami, pemangkasan tingkat suku bunga acuan merupakan opsi yang paling baik bagi perekonomian Indonesia, sekaligus bagi perbankan sendiri, dengan catatan bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif (perkembangan yang ada memang mengarah ke hal tersebut).
Kenapa hubungan AS-China harus kondusif? Alasannya, ketika AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif, yield obligasi pemerintah yang selama ini terkerek naik merespons perang dagang AS-China bisa melandai. Ditambah dengan pemangkasan suku bunga acuan, yield bisa turun lebih dalam lagi.
Karena yield obligasi pemerintah turun relatif dalam, perbankan bisa memotong tingkat suku bunga deposito yang ditawarkan. Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit rasanya tak perlu dipangkas karena semenjak BI mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan pada Mei 2018 lalu, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi denominasi rupiah tercatat masing-masing sebesar 10,57% dan 12,4%. Per April 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,53% dan 11,62%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi denominasi rupiah naik tipis menjadi 10,31% pada April 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Kombinasi antara diturunkannya tingkat suku bunga deposito dan dipertahankannya tingkat suku bunga kredit akan membuat NIM dari perbankan kembali naik, dan di saat yang bersamaan penyaluran kredit bisa didorong lebih deras lantaran berlimpahnya likuiditas. Pada akhirnya, bank senang dan perekonomian bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)
Sebagai informasi, pada bulan ini BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir Kamis (20/6/2019). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Memang, ada stimulus yang diberikan oleh bank sentral. BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%.
Namun, suntikan likuditas ke perbankan dari kebijakan ini bisa dibilang minim, hanya Rp 25 triliun.
Sayangnya lagi, hingga saat ini bank sentral terlihat masih ragu untuk melonggarkan tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan rasanya pas untuk segera dilakukan jika melihat AS-China yang kian dekat dengan yang namanya kesepakatan dagang. Sebagai informasi, rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di gelaran KTT G20 pada akhir bulan ini di Jepang sudah dikonfirmasi akan terealisasi. Konfirmasi tersebut datang sendiri dari Trump.
Menurut kami, pemangkasan tingkat suku bunga acuan merupakan opsi yang paling baik bagi perekonomian Indonesia, sekaligus bagi perbankan sendiri, dengan catatan bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif (perkembangan yang ada memang mengarah ke hal tersebut).
Kenapa hubungan AS-China harus kondusif? Alasannya, ketika AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif, yield obligasi pemerintah yang selama ini terkerek naik merespons perang dagang AS-China bisa melandai. Ditambah dengan pemangkasan suku bunga acuan, yield bisa turun lebih dalam lagi.
Karena yield obligasi pemerintah turun relatif dalam, perbankan bisa memotong tingkat suku bunga deposito yang ditawarkan. Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit rasanya tak perlu dipangkas karena semenjak BI mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan pada Mei 2018 lalu, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi denominasi rupiah tercatat masing-masing sebesar 10,57% dan 12,4%. Per April 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,53% dan 11,62%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi denominasi rupiah naik tipis menjadi 10,31% pada April 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Kombinasi antara diturunkannya tingkat suku bunga deposito dan dipertahankannya tingkat suku bunga kredit akan membuat NIM dari perbankan kembali naik, dan di saat yang bersamaan penyaluran kredit bisa didorong lebih deras lantaran berlimpahnya likuiditas. Pada akhirnya, bank senang dan perekonomian bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)
Pages
Most Popular