
Pasar Obligasi Menguat Lagi, Genapkan Reli Sepekan Ini
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
14 June 2019 19:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup menguat, menggenapkan reli yang terjadi sepekan ini akibat ekspektasi penurunan suku bunga acuan AS yaitu The Fed Fund Rate akibat penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Naiknya harga surat utang negara (SUN) itu seiring dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0077 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 7 basis poin (bps) menjadi 7,22%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Enry Danil, Head of Fixed Income PT Syailendra Capital, menilai positifnya pasar obligasi hingga sepekan ini disebabkan masih tersisanya sentimen positif dari penaikan peringkat utang Indonesia menjadi BBB pada 31 Mei lalu.
"[Menurut kami faktor positifnya adalah] efek spillover dari ekspektasi penurunan FFR yang terjadi pada saat Indonesia liburan Idul Fitri," ujarnya sore ini (14/6/19).
Dia mengatakan ke depannya, investor pasar SUN masih akan memperhatikan tiga fokus, yaitu rapat penentuan suku bunga AS (FOMC), Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan menentukan suku bunga 7 days reverse repo rate (7DRRR), dan harga minyak.
Harga minyak mentah dunia yang sedang berkontraksi lumrah menjadi perhatian investor pasar keuangan domestik karena Indonesia adalah nett-importer minyak mentah dunia.
Sehingga, pergerakan komoditas emas hitam tersebut menjadi krusial bagi APBN yang akan berdampak pada aktivitas perdagangan luar negeri dan nilai tukar rupiah serta pasar keuangan.
Sumber: Refinitiv
Sumber: IBPA
Apresiasi pasar obligasi pemerintah hari ini tidak tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih melemah.
Indeks tersebut turun 0,01 poin (0,001%) menjadi 250,22 dari posisi kemarin 250,23.
Apresiasi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 562 bps, melebar dari posisi kemarin 558 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,06% dari posisi kemarin 2,11%.
Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 950,39 triliun SBN, atau 38,01% dari total beredar Rp 2.500 triliun berdasarkan data per 12 Juni.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 57,14 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Penguatan di pasar surat utang hari ini tidak seperti yang terjadi di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,36% dan 0,32%.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan terjadi di Brasil, China, India, Singapura, dan Thailand. Di negara maju, penguatan terjadi di pasar bund, OAT Perancis, gilt Inggris, JGB Jepang, dan US Treasury di AS.
Hal tersebut mencerminkan instrumen obligasi pemerintah negara maju masih diburu investor global di tengah kontraksi sentimen negatif pasar keuangan dunia.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Naiknya harga surat utang negara (SUN) itu seiring dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0077 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 7 basis poin (bps) menjadi 7,22%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Enry Danil, Head of Fixed Income PT Syailendra Capital, menilai positifnya pasar obligasi hingga sepekan ini disebabkan masih tersisanya sentimen positif dari penaikan peringkat utang Indonesia menjadi BBB pada 31 Mei lalu.
"[Menurut kami faktor positifnya adalah] efek spillover dari ekspektasi penurunan FFR yang terjadi pada saat Indonesia liburan Idul Fitri," ujarnya sore ini (14/6/19).
Dia mengatakan ke depannya, investor pasar SUN masih akan memperhatikan tiga fokus, yaitu rapat penentuan suku bunga AS (FOMC), Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan menentukan suku bunga 7 days reverse repo rate (7DRRR), dan harga minyak.
Harga minyak mentah dunia yang sedang berkontraksi lumrah menjadi perhatian investor pasar keuangan domestik karena Indonesia adalah nett-importer minyak mentah dunia.
Sehingga, pergerakan komoditas emas hitam tersebut menjadi krusial bagi APBN yang akan berdampak pada aktivitas perdagangan luar negeri dan nilai tukar rupiah serta pasar keuangan.
Yield Obligasi Negara Acuan 14 Jun'19 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 13 Jun'19 (%) | Yield 14 Jun'19 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 14 Jun'19 |
FR0077 | 5 tahun | 7.296 | 7.226 | -7.00 | 7.1884 |
FR0078 | 10 tahun | 7.701 | 7.695 | -0.60 | 7.6786 |
FR0068 | 15 tahun | 8.07 | 8.036 | -3.40 | 8.0003 |
FR0079 | 20 tahun | 8.202 | 8.159 | -4.30 | 8.1375 |
Avg movement | -3.83 |
Yield Wajar Obligasi Negara Acuan 14 Jun'19 | ||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 13 Jun'19 (%) | Yield 14 Jun'19 (%) | Selisih (basis poin) |
FR0077 | 5 tahun | 7.1828 | 7.1884 | 0.56 |
FR0078 | 10 tahun | 7.6325 | 7.6786 | 4.61 |
FR0068 | 15 tahun | 7.9761 | 8.0003 | 2.42 |
FR0079 | 20 tahun | 8.1194 | 8.1375 | 1.81 |
Avg movement | 2.35 |
Apresiasi pasar obligasi pemerintah hari ini tidak tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih melemah.
Indeks tersebut turun 0,01 poin (0,001%) menjadi 250,22 dari posisi kemarin 250,23.
Apresiasi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 562 bps, melebar dari posisi kemarin 558 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,06% dari posisi kemarin 2,11%.
Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 14 Jun'2019 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 13 Jun'19 (%) | Yield 14 Jun'19 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.221 | 2.184 | 3 bulan-5 tahun | 38.1 |
UST 2020 | 2 Tahun | 1.889 | 1.808 | 2 tahun-5 tahun | 0.5 |
UST 2021 | 3 Tahun | 1.828 | 1.747 | 3 tahun-5 tahun | -5.6 |
UST 2023 | 5 Tahun | 1.881 | 1.803 | 3 bulan-10 tahun | 11.9 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2.127 | 2.065 | 2 tahun-10 tahun | -25.7 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 950,39 triliun SBN, atau 38,01% dari total beredar Rp 2.500 triliun berdasarkan data per 12 Juni.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 57,14 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Penguatan di pasar surat utang hari ini tidak seperti yang terjadi di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,36% dan 0,32%.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan terjadi di Brasil, China, India, Singapura, dan Thailand. Di negara maju, penguatan terjadi di pasar bund, OAT Perancis, gilt Inggris, JGB Jepang, dan US Treasury di AS.
Hal tersebut mencerminkan instrumen obligasi pemerintah negara maju masih diburu investor global di tengah kontraksi sentimen negatif pasar keuangan dunia.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 12 Jun'19 (%) | Yield 13 Jun'19 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 8 | 7.88 | -12.00 |
China | 3.302 | 3.279 | -2.30 |
Jerman | -0.235 | -0.266 | -3.10 |
Perancis | 0.118 | 0.086 | -3.20 |
Inggris | 0.869 | 0.832 | -3.70 |
India | 7.036 | 6.939 | -9.70 |
Jepang | -0.113 | -0.123 | -1.00 |
Malaysia | 3.731 | 3.731 | 0.00 |
Filipina | 5.177 | 5.277 | 10.00 |
Rusia | 7.66 | 7.7 | 4.00 |
Singapura | 2.008 | 1.942 | -6.60 |
Thailand | 2.205 | 2.12 | -8.50 |
Amerika Serikat | 2.127 | 2.065 | -6.20 |
Afrika Selatan | 8.33 | 8.36 | 3.00 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Most Popular