Newsletter

Jokowi Menang Lagi, Tapi Tirai Panggung Politik Belum Ditutup

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
21 May 2019 05:46
Jokowi Menang Lagi, Tapi Tirai Panggung Politik Belum Ditutup
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi. 

Kemarin, IHSG finis dengan penguatan signifikan yaitu 1,38%. Sepertinya investor, terutama domestik, memanfaatkan momentum IHSG yang sudah terdiskon habis-habisan karena pekan lalu anjlok 6,16%. Sementara investor asing malah mencatatkan jual bersih Rp 642,78 triliun. 


Minimnya arus modal asing membuat rupiah melemah tipis 0,03% di hadapan dolar AS. Depresiasi tipis itu kemungkinan besar terjadi karena campur tangan BI. Tanpa intervensi bank sentral dalam rangka stabilisasi nilai tukar, mungkin depresiasi rupiah bisa lebih parah. 

Baca:
Resep BI Jaga Rupiah: Gegenpressing A La Juergen Klopp

Sepertinya ada dua sentimen utama yang memberatkan langkah rupiah. Pertama adalah perkembangan harga minyak yang kemarin sempat melonjak di kisaran 1%. 

Selain ketegangan di Timur Tengah antara Arab Saudi cs versus Iran, kebijakan Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) juga mempengaruhi harga si emas hitam. Arab Saudi, pemimpin de facto OPEC, mengusulkan agar kebijakan pengurangan produksi dilanjutkan pada semester II-2019. 

"Pada semester II, kami cenderung untuk mempertahankan pengelolaan produksi dan menjaga inventori berkurang secara gradual. Perlahan tetapi pasti berkurang menuju level normal," kata Khalid Al Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. 

Persepsi kelangkaan pasokan membuat harga minyak bergerak ke utara alias naik. Ini bukan kabar baik buat rupiah karena bakal membuat biaya impor minyak membengkak dan membebani transaksi berjalan (current account). 

Kedua adalah kondisi politik dalam negeri usai Pemilu 2019. Hasil hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menempatkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang.

Namun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus menggaungkan ketidakpercayaan terhadap hasil rekapitulasi suara oleh KPU. Kubu 02 menilai berbagai kecurangan dalam Pemilu membuat hasilnya tidak sah dan harus diulang. 

Seruan untuk aksi massa pada 22 Mei di kantor KPU pun mengemuka. Bahkan polisi mencium ada upaya teror yang membonceng aksi ini untuk menyebarkan ketakutan. 

Situasi ini yang benar-benar dicermati investor. Bukan hanya siapa pemenang Pemilu, pelaku pasar juga memantau bagaimana situasi keamanan. Potensi chaos yang tidak bisa dikesampingkan tentu menjadi perhatian pasar.

Menuju 22 Mei, pelaku pasar sepertinya memilih untuk menunggu terlebih dulu. Ada kemungkinan investor menunda rencana masuk ke pasar keuangan Indonesia sebelum situasi agak tenang. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,33%, S&P 500 melemah 0,67%, dan Nasdaq Composite amblas 1,46%.

Investor mencemaskan isu perang dagang AS-China yang kembali bergulir. Pekan lalu, pemerintah AS telah memasukkanHuawei (perusahaan teknologi asal China) ke daftar hitam karena dinilai berpotensi mengganggu keamanan dan kepentingan nasional. Artinya, perusahaan AS dilarang berbisnis dengan Huawei kecuali mendapatkan restu dari pemerintah.

Satu per satu korporasi di Negeri Paman Sam meninggalkanHuawei. Salah satunya adalah Google, yang memutus akses aplikasi dan layanan untuk perangkat Huawei. Tidak hanya Google, perusahaan pembuat komponen seperti Intel, Xilink, dan Broadcom juga menghentikan pasokan ke Huawei.


Padahal Huawei adalah perusahaan pembuat perangkat telekomunikasi terbesar di dunia. Memutus pasokan berarti akan menggerus pasar Google, Intel, dkk secara signifikan. Akibatnya laba mereka bisa turun, yang membuat sahamnya kurang diapresiasi investor.

Harga saham Alphabet (induk usaha Google) merosot 2,06% sementara Intel ambrol 2,96%. Wajar saja indeks Nasdaq mengalami koreksi paling dalam.

"Risiko politik kini menjadi risiko bisnis. Laporan keuangan emiten-emiten teknologi akan sangat terpengaruh," tegas Chad Morganlander, Senior Portfolio Manager di Crossing Advisors yang berbasis di New Jersey, mengutip Reuters.

"Semakin jauh perang dagang berlangsung, maka eskalasi akan semakin tinggi. Investor tidak akan banyak melakukan pembelian," tambah Matt Watson, Portfolio Manager di James Investment Research yang berbasis di Ohio, dikutip dari Reuters.

Benar saja, pelaku pasar memang terlihat hati-hati. Volume perdagangan di Wall Street hari ini 'hanya' melibatkan 6,4 miliar unit saham. Jauh di bawah rata-rata 20 hari perdagangan terakhir yaitu 7,01 miliar.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang tidak impresif. Pesimisme Wall Street bisa menular ke Asia, membuat investor hati-hati, dan menghambat langkah IHSG.

Sentimen kedua adalah perang dagang AS-China yang perlu dipantau perkembangannya. Isu ini terbukti menjadi penyebab utama koreksi di Wall Street dan bukan tidak mungkin terulang di Asia.

China murka dengan serangkaian kebijakan AS, mulai dari menaikkan tarif bea masuk sampai memasukkan Huawei ke daftar hitam. Beijing menilai Washington terlalu memaksakan kehendak dan ingin sebuah kesepakatan dagang yang hanya menguntungkan mereka.

"Saya tidak tahu kesepakatan seperti apa yang diinginkan AS. Mungkin mereka punya ekspektasi sendiri, tetapi itu bukan kesepakatan yang kami inginkan. AS berusaha mencapai kepentingan yang tidak masuk akal dengan menekan kami. Cara seperti ini tidak akan berhasil," papar Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dilansir Reuters.

Langkah AS justru mengundang rencana balas dendam dari China. Pemerintah menegaskan akan menerapkan kebijakan yang diperlukan untuk menjaga hak-hak perusahaan China. Oleh karena itu, kemungkinan dialog AS-China untuk menuju damai dagang kemungkinan sulit terjadi dalam waktu dekat.

"Sepertinya AS melihat dirinya memiliki kekuatan absolut atas segalanya di dunia sehingga menghalalkan segala cara. China tidak akan menerimanya, begitu pula Huawei," demikian tajuk di China Daily, media terbitan Partai Komunis China, dikutip dari Reuters.

Panasnya hubungan dagang AS-China jika berlangsung semakin lama maka kian menjadi risiko bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Arus perdagangan dan rantai pasok global akan tersendat, sehingga menurunkan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Sesuatu yang tentu sangat membuat cemas pelaku pasar.

Tidak hanya hubungan dagang, relasi AS-China pun menegang akibat kapal perang AS yang melintasi Beting Scarborough di Laut China Selatan yang diklaim oleh Negeri Tirai Bambu. China menganggap AS mulai bermain-main dengan kedaulatan negara lain.

"Saya tegaskan lagi bahwa aksi yang dilakukan kapal perang AS melanggar kedaulatan China dan mengancam perdamaian di wilayah laut. China dengan tegas menentang langkah ini. Kami sangat mendesak AS untuk menghentikan aksi-aksi provokasi agar tidak menganggu hubungan AS-China serta perdamaian di kawasan," papar Lu.

Tampaknya investor masih harus waspada dengan sentimen hubungan AS-China. Sentimen ini berhasil menundukkan Wall Street, dan bisa saja terduplikasi di Asia.

Sentimen ketiga adalah kemungkinan pelaku pasar masih wait and see, semakin berdebar menunggu esok hari. Rapat pleno KPU telah memutuskan pasangan Jokowi-Amin sebagai pemenang pilpres 2019 dengan raihan 85,6 juta suara (55,41%). Sementara Prabowo-Sandiaga memperoleh 68,65 juta suara (44,59%).


Namun bukan berarti drama sudah selesai, tirai panggung politik belum ditutup. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga telah menegaskan tidak mengakui keputusan KPU.


Oleh karena itu, esok hari dipastikan masih akan gaduh. Rencana aksi massa masih terjadwal, yang membuat polisi mengerahkan puluhan ribu personel keamanan.

Ya, situasi keamanan ini yang menjadi sorotan investor. Jika sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka bisa saja investor yang tidak nyaman memilih keluar.



Jadi, mari kita semua menjaga diri. Jangan sampai kepentingan politik praktis membuat kita mempertaruhkan kepentingan yang lebih besar yaitu bergeraknya roda perekonomian.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

 
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan rumah bukan baru di AS periode April (21:00 WIB).
  • Rilis pembacaan awal Indeks Keyakinan Konsumen Zona Euro periode Mei (21:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (2018)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (April 2019)US$ 124,29 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular