Duh! Kinerja Q2 Emiten Batu Bara Bakal Suram, Mana yang Kuat?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
20 May 2019 17:33
Duh! Kinerja Q2 Emiten Batu Bara Bakal Suram, Mana yang Kuat?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Menilik rilis statistik bulanan Bursa Efek Indonesia (BEI), dari total 25 emiten tambang batu baru, hanya 6 perusahaan yang belum melaporkan kinerja keuangan kuartal I-2019.

Sementara itu, dari emiten yang sudah merilis performa keuangan mereka, mayoritas mencatatkan pertumbuhan negatif pada pos laba bersih. Hal ini dikarenakan, hingga akhir Maret 2019 harga batu bara dunia tercatat anjlok lebih dari 8%.


Berdasarkan grafik di atas, tren pelemahan harga batu bara tampaknya masih akan berlanjut pada kuartal kedua tahun ini. Sejak April hingga Jumat pekan lalu (17/5/2019), harga batu bara Newscastle telah terkoreksi 10,29%, lebih parah dibanding pelemahan pada kuartal I-2019.

Sentimen utama yang menyelimuti pelemahan tersebut, masih berasal dari Negeri Tirai Bambu. Berdasarkan catatan Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara China, permintaan batu bara di pelabuhan masih sangat rendah, sehingga mengakibatkan tumpukan pasokan. Ketersediaan yang melimpah tentunya membebani harga komoditas tersebut.

Permintaan yang rendah seiring dengan aktifitas ekonomi Negeri Tiongkok yang kurang bergairah. Penjualan ritel China pada April menunjukkan perlambatan dengan hanya tumbuh 7,2% secara tahunan, yang merupakan laju terendah sejak Mei 2003. Produksi industri China periode April juga hanya tumbuh 5,4% YoY, di bawah konsensus yang dihimpun Refinitiv sebesar 6,5%.

Terlebih lagi, karena sudah memasuki musim panas maka penggunaan batu bara untuk penghangat otomatis turun.

Dengan mempertimbangkan kondisi eksternal di atas, penting bagi pelaku pasar untuk mencermati kondisi fundamental emiten batu bara agar mampu lebih bijak ketika memutuskan emiten mana yang akan masuk atau tetap berada pada keranjang portofolio ke depannya.

Jika kondisi fundamental perusahaan pada kuartal sebelumnya (kuartal I-2019) cukup solid, maka meskipun diterpa resiko penurunan harga, perusahaan masih mampu melanjutkan bisnisnya.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Tim Riset CNBC Indonesia mencoba merangkum dan menganalisa kinerja emiten batu bara dengan total aset di atas 15 triliun rupiah yang aktif diperdagangkan, dimana terdapat 6 emiten yang memenuhi kriteria tersebut.

Alasan kriteria tersebut dipilih karena dianggap sudah mampu merepresentasikan lebih dari 50% pangsa pasar dan kinerja industri batu bara
.

 
Catatan: Capaian ADRO, BUMI, DOID, INDY, dan ITMG sudah dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 14.400/US$.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa PT Adaro Energi Tbk (ADRO) memimpin klasemen dengan perolehan omzet dan laba bersih tertinggi sepanjang kuartal I-2019. Terlebih lagi ADRO juga menjadi satu-satunya emiten yang mencatatkan pertumbuhan positif pada pos laba bersih dengan naik 59,6% secara tahunan.

Sementara itu, emiten dengan kinerja yang paling mengecewakan adalah PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) karena tercatat mengalami koreksi terdalam pada pos laba bersih dengan anjlok 86,98% year-on-year (YoY). Laba bersih perusahaan juga hanya sebesar Rp 19,6 miliar.

Meskipun kinerja laba rugi tampak mengecewakan karena mencatatkan pertumbuhan negatif, tetapi faktor lainnya seperti tingkat likuiditas, resiko kredit (utang), dan marjin perusahaan bisa membalikkan keadaan.

(BERLANJUT KE HALAMAN KETIGA) Beberapa rasio keuangan yang umum digunakan untuk menganalisis kinerja fundamental perusahaan adalah rasio lancar (current ratio), rasio utang terhadap total modal (debt to equity ratio/DER), rasio laba terhadap total aset (return on asset/ROA), rasio laba terhadap modal (return on equity/ROE), dan imbal hasil (net profit margin/NPM).

Rasio lancar menggambarkan seberapa likuid perusahaan dengan menganalisis kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aset lancar yang dimiliki saat ini. Semakin tinggi nilainya, semakin likuid perusahaan.

DER menunjukkan tingkat utang perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas. DER bisa juga menandakan resiko kredit perusahaan, semakin tinggi nilainya maka semakin besar resiko kredit.

ROA dan ROE mengindikasi kemampuan perusahaan memanfaatkan aset dan modal (ekuitas) untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi nilainnya, semakin besar imbal hasil yang didapat perusahaan.
Duh! Kinerja Q2 Emiten Batu Bara Bakal Suram, Mana yang Kuat?Foto: CNBC Indonesia/Dwi Ayunintyas

Catatan: hijau (lebih baik dari rata-rata), merah (lebih buruk dari rata-rata), krem (kisaran rata-rata)

Dari tabel di atas terlihat bahwa PT Bukit Asam Tbk (PTBA) adalah emiten dengan perolehan rasio keuangan yang paling baik. Pasalnya, capaain PTBA selalu lebih baik dari perolehan rata-rata.

Rasio lancar PTBA mencapai 2,86x menandakan bahwa kinerja neraca perusahaan paling likuid. Selain itu, rasio imbal hasil, yaitu ROA dan NPM juga tercatat paling besar dibandingkan 5 emiten lainnya.

Lebih lanjut, rasio keuangan DOID menjadi yang paling mengecewakan karena rasio keuangan perusahaan mayoritas berada di zona merah. Semua rasio imbal hasil, yaitu ROA, ROE, dan NPM perusahaan tercatat memperoleh nilai paling kecil.

Sementara itu, meskipun PT Bumi Resources Tbk (BUMI) terbilang kurang likuid dan memiliki tingkat utang yang besar, kemampuan imbal hasil perusahaan terbilang cukup baik.

Namun, investor diharapkan tidak tergiur dengan tingkat pengembalian yang besar, karena tingkat likuiditas yang rendah dan tingkat hutang yang tinggi menunjukkan masalah mendasar yang serius dan butuh waktu lama untuk dipulihkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular