Sebabkan Defisit Parah, Ini 4 Alasan Harga CPO Terjun Bebas

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
16 May 2019 15:43
Sebabkan Defisit Parah, Ini 4 Alasan Harga CPO Terjun Bebas
Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia adalah turunnya harga salah satu komoditas ekspor andalan, yaitu minyak kelapa sawit dan olahannya.

Sepanjang Januari-April 2019, nilai ekspor minyak hewan/nabati (yang sebagian besar merupakan hasil sawit) hanya sebesar US$ 5,43 miliar, atau anjlok 19,88% dibanding Januari-April 2019 yang sebesar US$ 6,78 miliar.

Padahal berdasarkan keterangan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, volume ekspor produk tersebut masih meningkat sekitar 5% pada periode tersebut.

Tapi kenapa sih harga sawit anjlok?

Sebagai gambaran, untuk menakar harga ekspor sawit Indonesia kita dapat melihat pergerakan harga kontrak berjangka minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang ada di bursa Malaysia Derivatives Exchange.

Itu karena perdagangan kontrak sawit paling aktif di kawasan ASEAN ada di bursa tersebut. Selain itu, pergerakan harga CPO di Malaysia akan mempengaruhi harga global, dimana Indonesia termasuk di dalamnya.



Per hari Kamis (16/5/2019), harga CPO acuan kontrak pengiriman Agustus berada di posisi MYR 2.075/ton. Itu artinya sejak awal tahun 2018, harga CPO sudah melemah hingga 18%, karena pada saat masih sebesar MYR 2.532/ton.

Bahkan bila ditarik lebih ke belakang, sejak tahun 2017 pelemahan harga CPO sudah sebesar 33,32% dari yang sebesar MYR 3.109/ton.

Tim Riset CNBC Indonesia merangkum setidaknya ada 4 faktor utama yang membuat harga CPO terus berada dalam tekanan.

1. Produksi Sawit Indonesia dan Malaysia Terus Meningkat
Produksi minyak hasil olahan kelapa sawit yang terus meningkat di Indonesia dan Malaysia tentu saja akan membuat pasokan global terus meluap.

Pada tahun 2017, total produksi minyak sawit Indonesia mencapai 41,98 juta ton atau naik 10% year on year (YoY), berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Di Malaysia juga sama. Tahun 2017, produksi minyak sawit Malaysia naik hingga 15% YoY menjadi sebesar 19,91 juta ton, berdasarkan data dari Malaysia Palm Oil Board (MPOB).

Tahun 2018 pun juga serupa. Produksi minyak sawit Indonesia naik hingga 13% YoY menjadi sebesar 47,43 juta ton. Sementara produksi di Malaysia turun tipis 1,98%, tapi masih tetap tinggi, yakni mencapai 19,52 juta ton.



Sementara itu, permintaan tidak menunjukkan adanya peningkatan yang sepadan. Alhasil inventori minyak sawit di Indonesia dan Malaysia terus menggunung.

Bahkan pada akhir tahun 2018, inventori minyak sawit di Malaysia sudah sebesar 3,21 juta ton atau merupakan yang paling tinggi sejak 19 tahun terakhir.

Sama juga dengan di Indonesia dimana inventori membengkak hingga 4,9 juta ton pada pertengahan tahun 2018.

Meningkatnya stok sudah tentu akan membuat keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar global menjadi timpang. Pasokan yang melimpah sudah tentu membuat harga terus berada dalam tekanan.



2. Peningkatan Pajak Impor Sawit India
Pada tahun 2018 India menaikkan pajak impor CPO menjadi 44% dari yang semula 30%. Sedangkan untuk produk olahan sawit juga naik menjadi 54% dari 40%. Baru pada Desember 2018 India menurunkan bea impor CPO menjadi 40%, tapi itu juga khusus Malaysia, sementara Indonesia tetap.

Langkah tersebut diambil oleh pemerintah India untuk mendukung industri minyak nabati domestik yang banyak disumbang dari rapeseed.

Dampaknya produksi minyak nabati India terus mengalami peningkatan hingga hari ini.

Berdasarkan keterangan dari B.V. Mehta, Direktur Eksekutif Solvent Extractors Association of India yang dilansir dari Reuters, produksi rapeseed akan menyentuh rekor 8 juta ton pada tahun ini (2019). Hal itu akan menyebabkan ketersediaan minyak rapeseed domestik India akan naik 1,5 juta ton.

Perlu diketahui minyak rapeseed merupakan produk substitusi sawit yang memperebutkan bagian di pasar minyak nabati global.

India yang merupakan importir minyak sawit terbesar di dunia tentu saja akan sangat mempengaruhi keseimbangan pasokan-permintaan di pasar. Kala permintaan India terus turun, maka serapan pasokan minyak sawit juga berkurang. Harga pun mendapat tekanan yang cukup kuat.

BERLANJUT KE HALAMAN 2
3. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China
Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia juga memiliki dampak yang besar pada pergerakan harga minyak sawit.

Pasalnya China yang merupakan importir kedelai utama AS mulai memberlakukan tarif impor sebesar 10% tahun 2018 silam. Alhasil pembelian kedelai dari China menurun di tahun 2018.

Sebagai informasi, Negeri Paman Sam merupakan negara asal kedelai impor nomor 2 di China. Dampaknya, tentu saja stok kedelai di AS menjadi melimpah dan membuat harga berjatuhan.

Hal ini juga diungkapkan oleh GAPKI dalam laporan bulanan yang dirilis kemarin (15/5/2019).

Perlu diingat bahwa minyak kedelai merupakan salah satu rival minyak sawit di pasar global. Saat harga minyak kedelai amblas, maka minyak sawit juga akan mengikuti untuk tetap berada pada level yang kompetitif.

4. Ancaman Pelarangan Sawit di Uni Eropa
Awal tahun 2019, Uni Eropa mengeluarkan rancangan peraturan yang mengkategorikan minyak sawit sebagai produk yang 'tidak berkelanjutan'.

Alasannya adalah, ekspansi perkebunan sawit yang terjadi sepanjang tahun 2018 dinilai memberi dampak yang besar terhadap deforestasi di dunia yang berpotensi mempercepat pemanasan global

Akibatnya, penggunaan minyak sawit untuk biosolar akan dihapus secara bertahap hingga dilarang sama sekali pada tahun 2030.

Meskipun belum benar-benar dilarang saat ini, namun sentimen ini sudah membuat importir minyak sawit di Eropa berjaga-jaga. Mereka akan cenderung konservatif dengan mulai mencari produk substitusi seperti minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.

"Negara-negara Eropa bisa memperketat impor minyak sawit," kata pialang di Kuala Lumpur yang biasa memasok minyak sawit ke Eropa, mengutip Reuters. "importir tampaknya akan enggan untuk mengambil risiko."

Hingga saat ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih mengupayakan mediasi kepada pihak Uni Eropa agar aturan ini tidak diterapkan. Menurut pemerintah Indonesia, peraturan tersebut merupakan tindakan diskriminatif dan mengancam penghasilan lebih dari 17 juta petani di Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular