
Momen Pilpres Ternyata Lambungkan Pasar Obligasi, Kok Bisa?
Irvin Avriano A, CNBC Indonesia
09 April 2019 08:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun Pemilu 2009 dan 2014 yang bertepatan dengan positifnya iklim investasi global dan domestik, pasar obligasi menunjukkan apresiasi signifikan.
Pada 2009, harga surat berharga (SBN) naik yang tercermin dari turunnya tingkat imbal hasil (yield) seri acuan 10 tahun yaitu FR0036 sebesar 268 basis poin (bps) menjadi 9,75% dari 12,43%.
Hitungan 100 bps setara dengan 1%, di mana kenaikan harga dapat terlihat dari penurunan yield obligasi karena pergerakan keduanya saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Penguatan harga tersebut seiring dengan mulai membaiknya kondisi ekonomi pada 2009, pascakrisis KPR kualitas buruk (subprime mortgage) atau Resesi Besar (Great Recession) 2007-2008.
Naiknya kondisi pasar keuangan itu ditopang strategi pelonggaran moneter (quantitative easing/QE) tahap pertama di Amerika Serikat (AS) yang sudah memberi dampak positif di lingkup global. Langkah QE dilakukan pemerintah AS dengan cara membeli kembali obligasi negara mereka serta aset lain seperti efek beragun aset KPR (mortgage backed securities/MBS).
Pada tahun tersebut, Pilpres digelar pada 8 Juli dengan tiga pasang calon yang bersaing yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Megawati-Prabowo, dan Jusuf Kalla-Wiranto, di mana paket SBY memenangkan kompetisi. Pelantikan SBY-Boediono dilakukan pada 20 Oktober.
Sejak akhir tahun 2008 hingga tanggal pencoblosan, pasar SBN juga menunjukkan apresiasi yaitu dengan turunnya yield seri 10 tahun sebesar 160 bps menjadi 10,83%.
Pada masa penghitungan suara yaitu antara tanggal pencoblosan hingga tanggal pelantikan, pasar obligasi juga mengapresiasi adanya potensi kembali terpilihnya Presiden SBY, tanpa mengesampingkan faktor ekonomi global yang juga masih positif saat itu.
Penguatan terjadi di pasar SBN pada periode tersebut dan kembali terlihat adanya penurunan yield tenor 10 tahun sebesar 90 bps menjadi 9,93% dari 10,83%.
Kondisi Pilpres 2014
Untuk tahun pemilu 2014, kondisi positif yang serupa dengan 2009 kembali terjadi, yaitu ketika iklim investasi global juga menunjukkan tanda-tanda positif karena kembali meyakinkannya data-data tenaga kerja AS mulai Mei 2014.
Sepanjang tahun, penguatan harga obligasi pada tahun pemilu 2014 juga dibukukan yaitu dengan penurunan yield obligasi acuan 10 tahun saat itu FR0070 sebesar 59 bps menjadi 7,81% dari 8,4%. Saat itu, calon presiden terdiri dari dua paket saja, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Di dalam negeri, efek positif kemenangan Jokowi (Jokowi Effect) memberi dampak positif ke pasar setelah hitung cepat (quick count) Pilpres diumumkan secara langsung (live) setiap detik di hampir seluruh stasiun TV pascapencoblosan 9 Juli, meski kenaikannya mereda justru ketika pelantikan presiden digelar pada 20 Oktober hingga penghujung tahun.
Sejak awal tahun hingga pencoblosan, pasar obligasi menguat dan membuat yield seri 10 tahun turun 34 bps menjadi 8,06% dari 8,4%.
Penguatan efek surat utang pemerintah itu tidak berlanjut dan pada periode pencoblosan hingga pelantikan karena relatif stagnan dengan pelemahan tipis, yang dicerminkan oleh kenaikan yield 0,8 bps menjadi 8,07% dari 8,06%, meskipun jika dihitung dari awal tahun hingga pelantikan harganya masih menguat dan menekan yield 33 bps menjadi 8,07%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/tas) Next Article Tren Reli Obligasi Jelang Pemilu Sulit Terjadi Kali Ini
Pada 2009, harga surat berharga (SBN) naik yang tercermin dari turunnya tingkat imbal hasil (yield) seri acuan 10 tahun yaitu FR0036 sebesar 268 basis poin (bps) menjadi 9,75% dari 12,43%.
Hitungan 100 bps setara dengan 1%, di mana kenaikan harga dapat terlihat dari penurunan yield obligasi karena pergerakan keduanya saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Naiknya kondisi pasar keuangan itu ditopang strategi pelonggaran moneter (quantitative easing/QE) tahap pertama di Amerika Serikat (AS) yang sudah memberi dampak positif di lingkup global. Langkah QE dilakukan pemerintah AS dengan cara membeli kembali obligasi negara mereka serta aset lain seperti efek beragun aset KPR (mortgage backed securities/MBS).
Pada tahun tersebut, Pilpres digelar pada 8 Juli dengan tiga pasang calon yang bersaing yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Megawati-Prabowo, dan Jusuf Kalla-Wiranto, di mana paket SBY memenangkan kompetisi. Pelantikan SBY-Boediono dilakukan pada 20 Oktober.
Sejak akhir tahun 2008 hingga tanggal pencoblosan, pasar SBN juga menunjukkan apresiasi yaitu dengan turunnya yield seri 10 tahun sebesar 160 bps menjadi 10,83%.
Pada masa penghitungan suara yaitu antara tanggal pencoblosan hingga tanggal pelantikan, pasar obligasi juga mengapresiasi adanya potensi kembali terpilihnya Presiden SBY, tanpa mengesampingkan faktor ekonomi global yang juga masih positif saat itu.
Penguatan terjadi di pasar SBN pada periode tersebut dan kembali terlihat adanya penurunan yield tenor 10 tahun sebesar 90 bps menjadi 9,93% dari 10,83%.
Kondisi Pilpres 2014
Untuk tahun pemilu 2014, kondisi positif yang serupa dengan 2009 kembali terjadi, yaitu ketika iklim investasi global juga menunjukkan tanda-tanda positif karena kembali meyakinkannya data-data tenaga kerja AS mulai Mei 2014.
Sepanjang tahun, penguatan harga obligasi pada tahun pemilu 2014 juga dibukukan yaitu dengan penurunan yield obligasi acuan 10 tahun saat itu FR0070 sebesar 59 bps menjadi 7,81% dari 8,4%. Saat itu, calon presiden terdiri dari dua paket saja, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Di dalam negeri, efek positif kemenangan Jokowi (Jokowi Effect) memberi dampak positif ke pasar setelah hitung cepat (quick count) Pilpres diumumkan secara langsung (live) setiap detik di hampir seluruh stasiun TV pascapencoblosan 9 Juli, meski kenaikannya mereda justru ketika pelantikan presiden digelar pada 20 Oktober hingga penghujung tahun.
Sejak awal tahun hingga pencoblosan, pasar obligasi menguat dan membuat yield seri 10 tahun turun 34 bps menjadi 8,06% dari 8,4%.
Penguatan efek surat utang pemerintah itu tidak berlanjut dan pada periode pencoblosan hingga pelantikan karena relatif stagnan dengan pelemahan tipis, yang dicerminkan oleh kenaikan yield 0,8 bps menjadi 8,07% dari 8,06%, meskipun jika dihitung dari awal tahun hingga pelantikan harganya masih menguat dan menekan yield 33 bps menjadi 8,07%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/tas) Next Article Tren Reli Obligasi Jelang Pemilu Sulit Terjadi Kali Ini
Most Popular