Dari Prabowo Hingga Luhut Mengumpat, Apa Efek Kepada Pemilih?
08 April 2019 18:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 pada 17 April beragam ujaran kasar kian terdengar. Mulai dari kandidat presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menyebut Ibu Pertiwi sedang 'diperkosa', hingga respons pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang juga menjawab dengan kasar.
Pengamat Komunikasi Politik Agus Sudibyo mengatakan pemilihan kata yang hiperbola seharusnya tak patut dilontarkan. Hal itu justru membuat publik tidak menerima fakta yang sesungguhnya. Pihak yang diserang juga tidak perlu merespons dengan bahasa kasar. Terlebih, kubu pemerintah seharusnya bisa lebih bijaksana dengan menjawab lebih diplomatis.
"Akibatnya publik tidak menerima fakta yang sesungguhnya, itu yang disayangkan. 'Ibu Pertiwi diperkosa' itu kan hiperbola seakan-akan kita telanjang dan tidak memiliki kecerdasan sama sekali sehingga semua yang kita miliki diambil asing. Kalau lawan politik kasar, apakah incumbent itu harus ikut-ikutan kasar? Kalau sama-sama kasar tidak ada yang lebih baik," jelas Agus kepada CNBC Indonesia, Senin (8/4/2019).
Ia menyampaikan, menjelang hari pemungutan suara kandidat-kandidat kerap menampilkan pernyataan surplus atau defisit dari sebuah fakta. Fakta sering dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Kritik dan saling serang, lanjut Agus, memang merupakan keniscayaan jelang pilpres, namun pemilihan kata seharusnya tetap sesuai dengan etika publik. Calon pemimpin justru harus tetap memiliki respect (rasa hormat) kepada lawan.
Di lain sisi, ujaran kasar itu juga tidak akan meningkatkan elektabilitas kedua kandidat. Pendukung loyal tidak akan mudah terpengaruh dengan kampanye semacam itu. Itu hanya memperkuat suara bagi pendukung loyal dan tidak menarik perhatian suara-suara kelas menengah, milenial atau kaum terdidik yang belum diraih kubu 02.
"Dia akan cari data sendiri, benar atau tidak. Kampanye sloganistik dari kedua kubu itu tidak efektif. Saya setuju dengan pendapat Yenni Wahid (putri presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid) yang mengatakan kedua kubu harus berkampanye dengan akal sehat dengan kedewasaan masing-masing. Yang salah bukan kritiknya tapi caranya," jelas Agus.
Sebelumnya, saat menghadiri kampanye akbar di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Minggu (7/4/2019), Prabowo menceritakan alasannya mengapa dia berdiri sebagai calon presiden. Di hadapan pendukungnya, Prabowo menyampaikan rasa syukur telah diberi kesempatan untuk membela rakyat karena ia merasa saat ini 'Ibu Pertiwi sedang diperkosa'.
Di kesempatan yang sama Prabowo juga mengkritik pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%. Dalam kritiknya, Prabowo mengeluarkan umpatan 'ndasmu' atau yang dalam bahasa Indonesia berarti 'kepalamu' untuk pertumbuhan ekonomi 5%.
Menanggapi itu, Luhut merespons sama panasnya. Dia mengatakan, pemerintah tak sebodoh itu membiarkan kekayaan Indonesia lari ke luar negeri. "Orang bilang duit kita lari ke luar negeri, emang kita bego apa? Nggaklah," kata Luhut di Telkom Hub, Jakarta, Senin (8/4/2019).
Luhut juga mempertanyakan mengapa pernyataan kasar seperti 'ndasmu' bisa terlontar.
"Kalau dibilang 5% baik, bukan kita aja yang bilang, semua dunia bilang baik, kalau dibilang 'ndasmu', aneh juga. Kok kasar begitu? Nggak sesederhana itu ngatur pemerintahan," katanya.
Simak video terkait kebocoran anggaran yang dituding Prabowo Subianto di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq)
Pengamat Komunikasi Politik Agus Sudibyo mengatakan pemilihan kata yang hiperbola seharusnya tak patut dilontarkan. Hal itu justru membuat publik tidak menerima fakta yang sesungguhnya. Pihak yang diserang juga tidak perlu merespons dengan bahasa kasar. Terlebih, kubu pemerintah seharusnya bisa lebih bijaksana dengan menjawab lebih diplomatis.
"Akibatnya publik tidak menerima fakta yang sesungguhnya, itu yang disayangkan. 'Ibu Pertiwi diperkosa' itu kan hiperbola seakan-akan kita telanjang dan tidak memiliki kecerdasan sama sekali sehingga semua yang kita miliki diambil asing. Kalau lawan politik kasar, apakah incumbent itu harus ikut-ikutan kasar? Kalau sama-sama kasar tidak ada yang lebih baik," jelas Agus kepada CNBC Indonesia, Senin (8/4/2019).
Ia menyampaikan, menjelang hari pemungutan suara kandidat-kandidat kerap menampilkan pernyataan surplus atau defisit dari sebuah fakta. Fakta sering dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Kritik dan saling serang, lanjut Agus, memang merupakan keniscayaan jelang pilpres, namun pemilihan kata seharusnya tetap sesuai dengan etika publik. Calon pemimpin justru harus tetap memiliki respect (rasa hormat) kepada lawan.
Di lain sisi, ujaran kasar itu juga tidak akan meningkatkan elektabilitas kedua kandidat. Pendukung loyal tidak akan mudah terpengaruh dengan kampanye semacam itu. Itu hanya memperkuat suara bagi pendukung loyal dan tidak menarik perhatian suara-suara kelas menengah, milenial atau kaum terdidik yang belum diraih kubu 02.
"Dia akan cari data sendiri, benar atau tidak. Kampanye sloganistik dari kedua kubu itu tidak efektif. Saya setuju dengan pendapat Yenni Wahid (putri presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid) yang mengatakan kedua kubu harus berkampanye dengan akal sehat dengan kedewasaan masing-masing. Yang salah bukan kritiknya tapi caranya," jelas Agus.
![]() |
Sebelumnya, saat menghadiri kampanye akbar di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Minggu (7/4/2019), Prabowo menceritakan alasannya mengapa dia berdiri sebagai calon presiden. Di hadapan pendukungnya, Prabowo menyampaikan rasa syukur telah diberi kesempatan untuk membela rakyat karena ia merasa saat ini 'Ibu Pertiwi sedang diperkosa'.
Di kesempatan yang sama Prabowo juga mengkritik pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%. Dalam kritiknya, Prabowo mengeluarkan umpatan 'ndasmu' atau yang dalam bahasa Indonesia berarti 'kepalamu' untuk pertumbuhan ekonomi 5%.
Menanggapi itu, Luhut merespons sama panasnya. Dia mengatakan, pemerintah tak sebodoh itu membiarkan kekayaan Indonesia lari ke luar negeri. "Orang bilang duit kita lari ke luar negeri, emang kita bego apa? Nggaklah," kata Luhut di Telkom Hub, Jakarta, Senin (8/4/2019).
Luhut juga mempertanyakan mengapa pernyataan kasar seperti 'ndasmu' bisa terlontar.
"Kalau dibilang 5% baik, bukan kita aja yang bilang, semua dunia bilang baik, kalau dibilang 'ndasmu', aneh juga. Kok kasar begitu? Nggak sesederhana itu ngatur pemerintahan," katanya.
Simak video terkait kebocoran anggaran yang dituding Prabowo Subianto di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Kisah Luhut Pernah Kelola Ratusan Ribu Hektare Bareng Prabowo
(miq/miq)