
Ini Dia Kinerja Komoditas Kuartal I-2019, Minyak Juaranya!
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
01 April 2019 16:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode 3 bulan pertama tahun ini sudah berlalu. Artinya, sudah satu kuartal penuh dilalui. Sayangnya, periode awal ini tampaknya bukan masa yang gemilang bagi beberapa komoditas ekspor asal Indonesia.
Pasalnya, harga sejumlah komoditas yang menjadi tulang punggung ekspor tanah air terkontraksi, kendati ada sebagian yang mampu menanjak selama kuartal pertama tahun ini.
Berikut potret harga komoditas asal Indonesia yang dirangkum Tim Riset CNBC Indonesia untuk Anda jadikan pertimbangan keputusan investasi dan bisnis.
Minyak
Harga minyak terbilang gemilang di kuartal I-2019. Bagaimana tidak, selama 3 bulan penuh, harga minyak jenis Brent (patokan Eropa dan Asia) dan light sweet (West Texas Intermediate, patokan Amerika) mampu menguat masing-masing sebesar 27,12% dan 32,53%.
Peningkatan harga secara kuartalan tersebut merupakan yang paling pesat sejak kuartal II-2009, atau hampir 10 tahun lalu.
Meskipun telah meningkat cukup pesat, namun capaian harga minyak masih terbilang lebih rendah dibanding tahun 2018.
Pasalnya sepanjang kuartal I-2019, rata-rata harga minyak jenis Brent dan WTI masing-masing hanya sebesar US$ 63,81/barel dan US$ 54,89/barel.
Lebih rendah dibanding rata-rata harga pada kuartal I-2018, dimana kala itu harga Brent dan WTI adalah sebesar US$ 67,2/barel dan US$ 62,89/barel.
Kenaikan harga minyak sejatinya bukan hal yang benar-benar bagus buat Indonesia.
Memang, di satu sisi kinerja perusahaan-perusahaan minyak seperti PT Medco Energi International Tbk (MEDC), PT Elnusa Tbk (ELSA), dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) bisa membaik.
Namun secara makroekonomi, kenaikan harga minyak akan membebani neraca transaksi berjalan (current account). Hal ini bisa terjadi lantaran Indonesia masih menjadi negara net importir minyak (impor lebih besar dibanding ekspor) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Alhasil, kenaikan harga minyak akan membuat nilai impor minyak akan membengkak dan berpotensi menyebabkan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) semakin lebar.
Sebagai informasi, pada tahun 2018, transaksi berjalan mengalami defisit sebesar 2,98% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bagaimana Nasib Batu Bara dan Minyak Sawit?
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
(taa/tas) Next Article Batu Bara, CPO & Minyak, Mana yang Paling Top di Kuartal I?
Pasalnya, harga sejumlah komoditas yang menjadi tulang punggung ekspor tanah air terkontraksi, kendati ada sebagian yang mampu menanjak selama kuartal pertama tahun ini.
Berikut potret harga komoditas asal Indonesia yang dirangkum Tim Riset CNBC Indonesia untuk Anda jadikan pertimbangan keputusan investasi dan bisnis.
Minyak
Harga minyak terbilang gemilang di kuartal I-2019. Bagaimana tidak, selama 3 bulan penuh, harga minyak jenis Brent (patokan Eropa dan Asia) dan light sweet (West Texas Intermediate, patokan Amerika) mampu menguat masing-masing sebesar 27,12% dan 32,53%.
Peningkatan harga secara kuartalan tersebut merupakan yang paling pesat sejak kuartal II-2009, atau hampir 10 tahun lalu.
Meskipun telah meningkat cukup pesat, namun capaian harga minyak masih terbilang lebih rendah dibanding tahun 2018.
Pasalnya sepanjang kuartal I-2019, rata-rata harga minyak jenis Brent dan WTI masing-masing hanya sebesar US$ 63,81/barel dan US$ 54,89/barel.
Lebih rendah dibanding rata-rata harga pada kuartal I-2018, dimana kala itu harga Brent dan WTI adalah sebesar US$ 67,2/barel dan US$ 62,89/barel.
Kenaikan harga minyak sejatinya bukan hal yang benar-benar bagus buat Indonesia.
Memang, di satu sisi kinerja perusahaan-perusahaan minyak seperti PT Medco Energi International Tbk (MEDC), PT Elnusa Tbk (ELSA), dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) bisa membaik.
Namun secara makroekonomi, kenaikan harga minyak akan membebani neraca transaksi berjalan (current account). Hal ini bisa terjadi lantaran Indonesia masih menjadi negara net importir minyak (impor lebih besar dibanding ekspor) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Alhasil, kenaikan harga minyak akan membuat nilai impor minyak akan membengkak dan berpotensi menyebabkan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) semakin lebar.
Sebagai informasi, pada tahun 2018, transaksi berjalan mengalami defisit sebesar 2,98% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bagaimana Nasib Batu Bara dan Minyak Sawit?
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Batu Bara
Kuartal I-2019 bukan periode yang baik bagi batu bara.
Bagaimana tidak, sepanjang kuartal I-2019, harga batu bara Newcastle yang sering dijadikan acuan global amblas 9,11%.
Bahkan rata-rata harga batu bara Newcastle sepanjang periode tersebut menyentuh level US$ 96,67/metrik ton. Lebih rendah 6,06% dibanding tahun 2018 yang mencapai US$ 102,91/metrik ton.
Peningkatan pasokan batu bara domestik di China menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh menarik harga ke bawah. Dalam laporan kuartalan Departemen Industri Australia, tertulis bahwa harga batu bara Newcastle akan terus mengalami tren penurunan hingga tahun 2021.
Pasalnya produksi batu bara di China yang terlihat naik sejak 3 tahun terakhir dapat menurunkan permintaan batu bara impor.
Bahkan kapasitas produksi batu bara di China yang siap diproduksi tahun ini ada sekitar 200 juta ton. Sedangkan masih ada lebih dari 400 juta ton kapasitas yang telah disetujui pemerintah China dan sedang dipersiapkan.
Dengan begitu, produksi batu bara lokal China masih akan terus meningkat, dan impor batu bara thermal China diproyeksikan turun hingga tahun 2024.
Pada tahun 2019, impor batu bara China diprediksi hanya akan sebesar 209 juta ton, turun dari 2018 yang mencapai 216 juta ton. Bahkan pada tahun 2020 juga diprediksi turun hingga 194 juta ton.
Ditambah lagi adanya pembatasan impor batu bara asal Australia yang dilakukan oleh bea cukai Negeri Tirai Bambu membuat rantai pasokan batu bara global terganggu.
Seharusnya, pelemahan harga batu bara akan membebani neraca perdagangan Indonesia. Sebab, komoditas ini merupakan salah satu penyumbang nilai ekspor terbesar.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2018, ekspor batu bara menyumbang lebih dari 15% dari total ekspor nonmigas Indonesia.
Minyak Sawit Mentah (Crude Palm Oil/CPO)
Nasib baik juga masih enggan hinggap di komoditas agrikultur andalan Indonesia dan Malaysia ini, CPO.
Sepanjang kuartal I-2019, harga CPO terkoreksi 0,85%. Adapun harga rata-rata pada periode tersebut sebesar MYR 2.195/ton.
Memang, koreksi harganya tidak terlalu dalam. Namun bila dibandingkan dengan kuartal I-2018, di mana kala itu harga rata-ratanya mencapai MYR 2.491/ton, harga CPO telah sudah amblas hingga 11,88%.
Peningkatan stok minyak sawit di Malaysia menjadi penyebab utama yang terus menekan harga minyak sawit sejak akhir tahun 2018. Pasalnya pada akhir tahun 2018, stok minyak sawit Malaysia sudah menyentuh level 3 juta ton, atau tertinggi dalam 2 dekade.
Produksi yang meningkat di tengah permintaan yang masih lesu sudah tentu akan membuat keseimbangan fundamental terganggu. Apalagi adanya pembatasan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel di Uni Eropa juga berpotensi memangkas permintaan minyak sawit.
Sama halnya dengan batu bara, minyak sawit juga memegang peranan penting dalam kinerja ekspor Merah Putih. Andil minyak sawit terhadap total ekspor nonmigas sepanjang tahun 2018 mencapai 12%, hanya kalah dari batu bara.
Bagaimana Nasib Emas dan Karet?
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Bagaimana Nasib Emas dan Karet?
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Emas
Kinerja harga emas di kuartal pertama tahun ini memang tak bisa dibilang cemerlang. Tapi tak buruk juga kok.
Pasalnya selama 3 bulan penuh, harga emas dunia di pasar spot mampu menguat sebesar 0,65%.
Namun secara rata-rata, harga emas di pasar spot pada kuartal I-2019 mencapai US$ 1.303,5/troy ounce, lebih rendah 1,98% dibanding kuartal I-2018 yang sebesar US$ 1.329,8/troy ounce.
Penguatan harga emas didorong oleh sejumlah sentimen global yang membuat pelaku pasar menjadi tak bergairah berinvestasi pada instrumen berisiko.
Gonjang-ganjing Brexit (keluarnya Inggris dan Uni Eropa) dan damai dagang Amerika Serikat (AS)-China membuat kondisi perekonomian dunia makin tak pasti dan sulit diprediksi.
Tengok saja proses Brexit yang masih tak jelas hingga saat ini. Proposal ke-3 yang diajukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Inggris, Theresa May pada hari Jumat (29/3/2019) kembali ditolak oleh parlemen.
Dengan begitu, Inggris hanya punya waktu sampai tanggal 12 April sebelum bergegas angkat kaki dari Uni Eropa. Bila sampai saat itu tidak ada kesepakatan apapun, maka perekonomian Inggris terancam terkontraksi hingga 8%.
Sama halnya dengan damai dagang AS-China yang juga belum disahkan hingga hari ini. Meski beraroma positif, namun perjalanan panjang dan naik turun dari perundingan AS-China membuat investor sulit untuk mengambil keputusan.
Di tengah ekonomi yang tak pasti, emas seringkali dijadikan sebagai pelindung nilai. Maklum, fluktuasi harga emas relatif lebih rendah dibanding instrumen investasi lain.
Karet
Karet juga merupakan komoditas asal Indonesia yang bisa membukukan kenaikan harga dengan cemerlang.
Terlihat dari penguatan harga sepanjang kuartal I-2019 yang mencapai 6,99%. Meski demikian, harga rata-rata pada kuartal I-2019 yang sebesar JPY 188,74/kg masih lebih rendah 2,96% tahun 2018 yang sebesar JPY 194,5/kg.
Rencana anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC), yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia untuk mengurangi ekspor karet alam diprediksi masih mampu untuk mengangkat harga.
Seperti yang telah diketahui, mulai tanggal 1 April, anggota ITRC sepakat untuk mengurangi ekspor karet alam sebesar 240.000 ton yang akan dilakukan dalam 4 bulan.
Sebagai catatan, secara bersama-sama ketiga negara ITRC menguasai sekitar 66% dari produksi karet alam dunia sepanjang 2018 yang tercatat mencapai 13,96 juta ton.
Bila pasokan makin ketat, maka keseimbangan fundamental dapat membaik dan membuat harga terangkat.
Selain itu, peningkatan harga minyak juga memberikan tarikan ke atas pada harga karet. Pasalnya minyak bumi merupakan bahan baku karet sintetis yang menjadi subsitusi karet alam di industri ban kendaraan bermotor.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Komoditas Logam Dasar
Aluminium tercatat menjadi rajanya logam dasar di kuartal I-2019. Ini karena penguatan harga aluminium pada periode tersebut tercatat paling tinggi dibanding saudara-saudaranya seperti nikel, tembaga, dan timah.
Akan tetapi, semestinya harga rata-rata aluminium pada kuartal I-2019 yang sebesar US$ 1.882/ton telah terpangkas 12,93% dibanding kuartal I-2018 yang sebesar US$ 2.161/ton.
Nasib yang berkebalikan dialami oleh nikel, karena sepanjang kuartal I-2019 harganya terkoreksi sebesar 3,57%.
Kabar baiknya, harga nikel rata-rata pada periode tersebut sudah menyentuh level US$ 12.974/ton atau naik sebesar 15,62% dibanding periode yang sama tahun 2018.
Meningkatnya permintaan nikel seiring berkembangnya teknologi baterai untuk kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab kenaikan harga nikel.
Sedangkan logam tembaga mengalami kontraksi harga sebesar 4,61% sepanjang kuartal I-2019. Sama halnya dengan harga rata-ratanya yang juga amblas 2,11% dibanding tahun 2018.
Komoditas logam timah agaknya masih tetap stabil dengan peningkatan harga yang relatif terbatas, yaitu hanya 0,94% di kuartal I-2019. Rata-rata harga timah juga masih sebesar US$ 20.036/ton, atau hanya terkoreksi sebesar 1,08% dibanding tahun lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Batu Bara, CPO & Minyak, Mana yang Paling Top di Kuartal I?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular