
AS di Jurang Resesi, Sektor Apa yang Harus Dihindari?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 March 2019 19:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kini berada di jurang resesi. Pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi semakin memperjelas gaung resesi di Negeri paman Sam.
Pada Jumat akhir pekan lalu (22/3/2019), kedatangan resesi di AS menjadi kian pasti setelah imbal hasil obligasi AS tenor 3 bulan lebih tinggi ketimbang obligasi tenor 10 tahun atau terjadi fenomena inversi. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Lantas, terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Oh ya, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pasar saham Indonesia pun berpotensi tertekan dalam jangka waktu yang cukup lama seiring dengan perkembangan terbaru yang terjadi di AS.
Lantas, sektor saham apa yang harus dihindari investor dalam kondisi seperti ini?
Jasa Keuangan
Saham-saham sektor jasa keuangan, terutama bank-bank BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) 4 yang memiliki eksposur besar terhadap perekonomian Indonesia patut dicermati investor. Pasalnya, resesi yang terjadi di AS akan berdampak siginifikan bagi Indonesia.
Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar 0,14% dan 2,54%.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari sebelumnya 6,35% pada 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.
Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi di sana lesu.
Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Kala laju perekonomian dalam negeri tertekan, tentulah permintaan kredit menjadi ikut tertekan dan pada akhirnya akan mengurangi pendapatan dari bank-bank BUKU 4, kelompok bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.
Lebih lanjut, tekanan terhadap aktivitas ekonomi sangat mungkin membuat rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) menanjak yang lagi-lagi akan berdampak pada bottom line (laba bersih) perbankan.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Pada Jumat akhir pekan lalu (22/3/2019), kedatangan resesi di AS menjadi kian pasti setelah imbal hasil obligasi AS tenor 3 bulan lebih tinggi ketimbang obligasi tenor 10 tahun atau terjadi fenomena inversi. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Lantas, terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Oh ya, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Lantas, sektor saham apa yang harus dihindari investor dalam kondisi seperti ini?
Jasa Keuangan
Saham-saham sektor jasa keuangan, terutama bank-bank BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) 4 yang memiliki eksposur besar terhadap perekonomian Indonesia patut dicermati investor. Pasalnya, resesi yang terjadi di AS akan berdampak siginifikan bagi Indonesia.
Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar 0,14% dan 2,54%.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari sebelumnya 6,35% pada 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.
Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi di sana lesu.
Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Kala laju perekonomian dalam negeri tertekan, tentulah permintaan kredit menjadi ikut tertekan dan pada akhirnya akan mengurangi pendapatan dari bank-bank BUKU 4, kelompok bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.
Lebih lanjut, tekanan terhadap aktivitas ekonomi sangat mungkin membuat rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) menanjak yang lagi-lagi akan berdampak pada bottom line (laba bersih) perbankan.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Next Page
Waspada Saham Sektor Barang Konsumsi
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular