UE Diskriminasi CPO RI, Ini Tanggapan Lengkap Pemerintah

Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
20 March 2019 08:34
UE Diskriminasi CPO RI, Ini Tanggapan Lengkap Pemerintah
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Masa depan industri kelapa sawit Indonesia terancam. Ini setelah langkah Uni Eropa (UE) membahas Delegated Acts RED (Renewable Energy Directive) II.

Apabila ketentuan itu berlaku, maka ekspor kelapa sawit Indonesia, terutama dalam wujud minyak kelapa sawit mentah (CPO), berpotensi surut. Lantas, apa tanggapan dan langkah pemerintah terkait hal itu?

Simak penjelasan Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Rizal Affandi Lukman dalam program Closing Bell CNBC Indonesia TV, Selasa (19/3/2019) berikut ini.

Seberapa signifikan dampak RED II bagi ekspor CPO Indonesia?
Tentu dengan dikeluarkannya Delegated Acts dari RED II ini, yang masih dalam proses sampai dengan maksimum dua bulan ke depan, pemerintah Indonesia mengantisipasi adanya hambatan ekspor CPO ke Uni Eropa. Pertama penggunaan CPO di Uni Eropa utamanya adalah untuk biofuel untuk transportasi itu sekitar 64%, nah sisanya adalah kebutuhan CPO untuk industri makanan yang ada di EU.

Tentu dengan dikeluarkannya Delegated Acts ini akan menyebabkan bahwa mulai awal 2024 penggunaan biofuel yang berasal dari CPO, dari mana pun, dari Indonesia maupun dari negara lain akan mulai dikurangi penggunaannya sampai dengan 0% di tahun 2030. Tentu EU dengan posisi saat ini merupakan [negara tujuan] ekspor kedua terbesar Indonesia tentu akan terkena dampak.

Di situ akan ada dua cara yang dilakukan, yang pertama adalah tentu melalui Europian Justice Court yang ada di sana, pengadilan yang ada di Uni Eropa. Dan yang kedua adalah bisa melalui WTO.

Oleh karena saat ini proses kan masih dalam internal mereka di EU, sehingga sampai dengan saat ini kita masih menunggu ketetapan tersebut menjadi suatu ketetapan produk hukum baru kita bisa melakukan proses untuk pengaduan ke mana pun yang nanti bisa kita lakukan.



Prosesnya memang tidak cepat. Itu memerlukan waktu untuk itu. Pemerintah juga tidak hanya menunggu proses sampai dengan diterbitkannya atau disahkannya Delegated Acts tersebut oleh parlemen, tetapi pemerintah juga dengan cepat melakukan langkah-langkah antisipasi dengan melakukan upaya-upaya.

Dan selama ini baik di forum bilateral, dengan EU maupun juga dengan forum regional dengan ASEAN, Indonesia bersama-sama dengan negara ASEAN atau negara penghasil kelapa sawit lain seperti Malaysia telah melakukan upaya-upaya diplomasi sampai tingkat tinggi. Ini akan kita lengkapi upaya-upaya dengan mengikutsertakan dunia usaha

Pada saat pertemuan menteri luar negeri EU dan ASEAN disepakati akan bentuk joint working group yang tentu akan membahas mengenai kelapa sawit ini. Jadi di dalam kerangka ASEAN dan EU akan dibentuk joint working group. Tetapi tidak hanya berhenti di situ. Upaya-upaya yang kita lakukan bersama Malaysia pun kita sedang susun untuk bagaimana menghadapi EU ke depan

Uni Eropa Diskriminasi CPO, Ini Tanggapan Lengkap IndonesiaFoto: Kelapa sawit (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)


Bagaimana dengan rencana menggugat Uni Eropa?
Tentu kalau pertimbangan sudah ada dan itu perlu dilakukan secara terukur dan saat ini sedang dilakukan kajian ke arah itu. Namun demikian tadi bahwa penerapan Delegated Acts ini juga baru akan terkena dampaknya di tahun 2024 di mana importasi EU untuk CPO penggunaan bagi biofuel itu akan mulai dikurangi.

Namun saat ini pemerintah sedang melihat hal-hal yang tentu memengaruhi dari pada perdagangan kedua negara. Kita pun saat ini sedang berunding, di dalam perundingan EU-CEPA yang mana itu merupakan platform besar untuk tingkatkan perdagangan. Namun dengan adanya diskriminasi kelapa sawit ini tentu itu juga menjadi perhatian kita di dalam perundingan EU-CEPA ke depan.



Apa langkah-langkah terdekat yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia bersama pengusaha, khususnya, terkait kerja sama internasional untuk menghadapi masalah ini?
Saat ini kita sedang koordinasi dengan pihak Malaysia sebagai negara anggota CPOPC yang juga telah melakukan upaya serupa di Malaysia. (Mereka) menyatakan statement yang cukup keras terhadap keluarnya Delegated Acts RED II ini.

Kita akan melakukan pertemuan dalam waktu singkat dengan pihak Malaysia untuk menyusun langkah-langkah bersama ke depan. Ini yang akan kita lakukan dalam waktu dekat, tentu upaya-upaya yang lain oleh pemerintah Indonesia cukup lengkap.

Dan kita mulai dari saat ini bersama-sama dengan dunia usaha maupun juga dengan asosiasi, Gapki, itu menyusun upaya-upaya yang Indonesa akan tempuh dalam menyikapi keluarnya Delegated Acts RED II ini.


Simak video terkait diskriminasi kelapa sawit a la Uni Eropa di bawah ini.


[Gambas:Video CNBC]

UE menuding CPO Indonesia bersumber dari lahan hasil pembalakan liar?
Begini, di dalam penggunaan lahan bagi kelapa sawit itu, kita harus lihat sejarahnya bahwa sebagian besar dari lahan yang digunakan untuk penanaman kelapa sawit ini adalah berasal dari lahan yang sudah degraded land kategorinya atau yang telah dibabat hutannya.  

Jadi sebetulnya kelapa sawit merupakan penyelamat bagi proses untuk penghijauan kembali maupun sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 17 juta penduduk Indonesia. Itu berada bergantung kepada kelapa sawit.

Memang ada kasus-kasus di mana adanya pembakaran hutan untuk digunakan untuk lahan kelapa sawit, tapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan luas kelapa sawit yang digunakan secara keseluruhan. Dan kita tahu bahwa komposisi small farmers atau petani kecil itu cukup besar, yaitu 41% dari total produksi kelapa sawit Indonesia.

Saya kira terlalu dibesar-besarkan kalau memang [dikatakan] bahwa kelapa sawit Indonesia itu seluruhnya merupakan berasal dari pembabatan hutan. Dan untuk itu pemerintah Indonesia telah mengenalkan standar ISPO dan juga mengenalkan prinsip-prinsip keberlanjutan daripada hutan yang ada di Indonesia.
Uni Eropa Diskriminasi CPO, Ini Tanggapan Lengkap IndonesiaFoto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jika ekspor CPO Indonesia ke UE benar-benar terhambat, pasar baru mana saja yang potensial dan bisa menggantikan UE?
Kalau dilihat tentu India atau negara kawasan Asia Selatan lainnya, seperti Bangladesh, Pakistan itu pun merupakan pasar alternatif kelapa sawit di masa yang akan datang di samping India, China sebagai pasar utama.

Negara lain juga yang potensial untuk bisa kita garap adalah negara-negara di Afrika itu juga mengonsumsi kelapa sawit terutama minyak yang tentu juga kita bisa kategorikan sebagai pasar nontradisional.

Saat ini pemerintah telah melakukan perundingan dengan sejumlah negara di Afrika, dalam kerangka perjanjian perdagangan bebas FTA atau PTA dalam rangka untuk supaya kita bisa menembus pasar di Afrika sebagai pasar non-tradisional.
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular