
Penjelasan Lengkap UE terkait Aturan Biodiesel Berbasis CPO
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
21 March 2019 18:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Republik Indonesia mengecam Komisi Eropa yang pada 13 Maret lalu meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II).
Pemerintah menganggap RED II dan aturan turunannya mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rape seed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.
Delegasi Uni Eropa di Indonesia hari ini , Kamis (21/3/2019), merilis pernyataan resmi terkait keputusan terbaru Komisi Eropa. Berikut detailnya:
Uni Eropa (UE) memiliki target baru dan mengikat mengenai energi terbarukan untuk tahun 2030 yaitu sekurang-kurangnya 32%. Target ini disetujui oleh Parlemen Eropa dan seluruh negara anggota UE pada Juni tahun lalu melalui diadopsinya RED II.
Biofuel adalah elemen penting dari kebijakan energi terbarukan Uni Eropa. Namun, diperlukan aturan untuk memastikan produksi bahan baku untuk biofuel merupakan bahan berkelanjutan dan tidak menyebabkan deforestasi melalui rumus perhitungan perubahan pengunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ ILUC).
RED II menetapkan suatu pendekatan baru untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan untuk produksi biofuel
tidak berasal dari area yang mengalami deforestasi atau lahan gambut.
Tidak ada biofuel atau bahan baku tertentu yang menjadi target. Semua minyak nabati diperlakukan setara. Minyak sawit tidak diperlakukan sebagai bahan bakar nabati buruk.
Dalam RED II disebutkan bahwa mulai Januari 2024 akan ada pengurangan secara bertahap untuk jumlah biofuel dari jenis tertentu dalam pemenuhan target energi terbarukan.
Untuk menerapkan arahan ini, Komisi Eropa mengadopsi delegated act pada 13 Maret lalu. Dalam kurun waktu dua bulan masa pengkajian, baik Parlemen Eropa maupun Dewan Uni Eropa memiliki hak untuk menyatakan keberatan. Bila tidak terdapat keberatan, aturan akan disahkan/ diterbitkan dalam Jurnal Resmi Uni Eropa (Official Journal of the European Union).
Delegated act ini, serta laporan yang menjadi lampirannya, didasarkan pada data ilmiah terbaik yang tersedia (2008-2015). Periode referensi dimulai pada 2008 karena ini adalah batas waktu yang tercantum dalam kriteria keberlanjutan Uni Eropa untuk biofuel. Tahun 2015 adalah ketersediaan data konsisten yang paling mutakhir.
Data menunjukkan, terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi tertinggi, di mana selama 2008-2015, sebanyak 45% dari ekspansi kelapa sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Ini bahkan tidak sebanding dengan bahan baku lainnya.
Namun demikian, kelapa sawit yang disertifikasi dengan resiko ILUC rendah (low risk) dapat mendapatkan pengecualian, termasuk misalnya penanaman sawit di tanah yang tidak digunakan. Pengecualian lain adalah petani kecil (smallholders), mengingat peran pentingnya petani kecil di Indonesia dan Malaysia.
Delegated Act telah menetapkan ambang batas kategori petani kecil menjadi 2 hektar untuk memastikan bahwa kepemilikan dan kebebasan mereka atas tanah terjamin, berdasarkan standar definisi petani kecil dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Kebun kelapa sawit dengan luas 25 atau 50 hektare tidak bisa dianggap "kecil" atau dikelola keluarga. Mereka biasanya akan mempekerjakan 5 hingga 10 pekerja profesional penuh waktu.
Memang faktor produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibanding tanaman lain. Namun, faktor yang digunakan dalam rumus penentuan ILUC dihitung berdasarkan kadar energi dari produk yang diperdagangkan seperti kedelai, rape seed dan bunga matahari dibandingkan dengan kelapa sawit.
Komisi Eropa akan mengkaji ulang data dan bahkan metodologi yang digunakan (apabila diperlukan) pada tahun 2021. Komisi Eropa juga akan melakukan revisi Delegated Act tersebut pada tahun 2023.
Pada saat itu, segala upaya pemerintah Indonesia, seperti perubahan pada sertifikasi ISPO, kebijakan moratorium sawit, kebijakan satu peta, atau Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang baru-baru ini diterbitkan akan dipertimbangkan.
Penting untuk diingat bahwa pasar 28 negara anggota Uni Eropa sepenuhnya terbuka bagi minyak sawit. Tidak ada sama sekali larangan terhadap minyak sawit.
Uni Eropa adalah pasar kedua untuk sawit Indonesia setelah India dan di atas China. Sebagian besar ekspor CPO Indonesia memasuki Uni Eropa dengan bea masuk nol atau bea masuk yang sangat rendah (22% tanpa bea masuk dan 55% dikenakan bea di bawah 5,1%). Kondisi di pasar impor lainnya tidak sebaik ini.
Uni Eropa mematuhi aturan WTO dan mematuhi putusannya. Dalam hal ini, UE menganggap RED II dan delegated act sudah sesuai dengan WTO menetapkan kriteria keberlanjutan untuk biofuel dan biomassa yang bersifat global, obyektif dan tidak diskriminatif. Kriteria keberlanjutan ini tidak membedakan biofuel atau bahan baku tertentu serta tidak membatasi akses pasar biofuel impor ke Uni Eropa.
Uni Eropa memiliki komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB, sebagaimana ini merupakan tekad bersama Uni Eropa, negara-negara anggota UE dan Indonesia.
Uni Eropa senantiasa terbuka untuk melangsungkan diskusi dan dialog tentang isu ini dengan pemerintah Indonesia maupun stakeholders lainnya. Kami juga berharap pembentukan kelompok kerja bersama antara Uni Eropa dan para negara anggota ASEAN terkait dapat menjadi opsi lain untuk berdiskusi.
Simak video terkait langkah RI merespons rencana kebijakan Uni Eropa terhadap CPO RI di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Menlu: RI akan Terus Lawan Kampanye Hitam Kelapa Sawit
Pemerintah menganggap RED II dan aturan turunannya mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rape seed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.
Uni Eropa (UE) memiliki target baru dan mengikat mengenai energi terbarukan untuk tahun 2030 yaitu sekurang-kurangnya 32%. Target ini disetujui oleh Parlemen Eropa dan seluruh negara anggota UE pada Juni tahun lalu melalui diadopsinya RED II.
Biofuel adalah elemen penting dari kebijakan energi terbarukan Uni Eropa. Namun, diperlukan aturan untuk memastikan produksi bahan baku untuk biofuel merupakan bahan berkelanjutan dan tidak menyebabkan deforestasi melalui rumus perhitungan perubahan pengunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ ILUC).
RED II menetapkan suatu pendekatan baru untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan untuk produksi biofuel
tidak berasal dari area yang mengalami deforestasi atau lahan gambut.
Tidak ada biofuel atau bahan baku tertentu yang menjadi target. Semua minyak nabati diperlakukan setara. Minyak sawit tidak diperlakukan sebagai bahan bakar nabati buruk.
![]() |
Dalam RED II disebutkan bahwa mulai Januari 2024 akan ada pengurangan secara bertahap untuk jumlah biofuel dari jenis tertentu dalam pemenuhan target energi terbarukan.
Untuk menerapkan arahan ini, Komisi Eropa mengadopsi delegated act pada 13 Maret lalu. Dalam kurun waktu dua bulan masa pengkajian, baik Parlemen Eropa maupun Dewan Uni Eropa memiliki hak untuk menyatakan keberatan. Bila tidak terdapat keberatan, aturan akan disahkan/ diterbitkan dalam Jurnal Resmi Uni Eropa (Official Journal of the European Union).
Delegated act ini, serta laporan yang menjadi lampirannya, didasarkan pada data ilmiah terbaik yang tersedia (2008-2015). Periode referensi dimulai pada 2008 karena ini adalah batas waktu yang tercantum dalam kriteria keberlanjutan Uni Eropa untuk biofuel. Tahun 2015 adalah ketersediaan data konsisten yang paling mutakhir.
Data menunjukkan, terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi tertinggi, di mana selama 2008-2015, sebanyak 45% dari ekspansi kelapa sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Ini bahkan tidak sebanding dengan bahan baku lainnya.
Namun demikian, kelapa sawit yang disertifikasi dengan resiko ILUC rendah (low risk) dapat mendapatkan pengecualian, termasuk misalnya penanaman sawit di tanah yang tidak digunakan. Pengecualian lain adalah petani kecil (smallholders), mengingat peran pentingnya petani kecil di Indonesia dan Malaysia.
Delegated Act telah menetapkan ambang batas kategori petani kecil menjadi 2 hektar untuk memastikan bahwa kepemilikan dan kebebasan mereka atas tanah terjamin, berdasarkan standar definisi petani kecil dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Kebun kelapa sawit dengan luas 25 atau 50 hektare tidak bisa dianggap "kecil" atau dikelola keluarga. Mereka biasanya akan mempekerjakan 5 hingga 10 pekerja profesional penuh waktu.
![]() |
Memang faktor produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibanding tanaman lain. Namun, faktor yang digunakan dalam rumus penentuan ILUC dihitung berdasarkan kadar energi dari produk yang diperdagangkan seperti kedelai, rape seed dan bunga matahari dibandingkan dengan kelapa sawit.
Komisi Eropa akan mengkaji ulang data dan bahkan metodologi yang digunakan (apabila diperlukan) pada tahun 2021. Komisi Eropa juga akan melakukan revisi Delegated Act tersebut pada tahun 2023.
Pada saat itu, segala upaya pemerintah Indonesia, seperti perubahan pada sertifikasi ISPO, kebijakan moratorium sawit, kebijakan satu peta, atau Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang baru-baru ini diterbitkan akan dipertimbangkan.
Penting untuk diingat bahwa pasar 28 negara anggota Uni Eropa sepenuhnya terbuka bagi minyak sawit. Tidak ada sama sekali larangan terhadap minyak sawit.
Uni Eropa adalah pasar kedua untuk sawit Indonesia setelah India dan di atas China. Sebagian besar ekspor CPO Indonesia memasuki Uni Eropa dengan bea masuk nol atau bea masuk yang sangat rendah (22% tanpa bea masuk dan 55% dikenakan bea di bawah 5,1%). Kondisi di pasar impor lainnya tidak sebaik ini.
Uni Eropa mematuhi aturan WTO dan mematuhi putusannya. Dalam hal ini, UE menganggap RED II dan delegated act sudah sesuai dengan WTO menetapkan kriteria keberlanjutan untuk biofuel dan biomassa yang bersifat global, obyektif dan tidak diskriminatif. Kriteria keberlanjutan ini tidak membedakan biofuel atau bahan baku tertentu serta tidak membatasi akses pasar biofuel impor ke Uni Eropa.
Uni Eropa memiliki komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB, sebagaimana ini merupakan tekad bersama Uni Eropa, negara-negara anggota UE dan Indonesia.
Uni Eropa senantiasa terbuka untuk melangsungkan diskusi dan dialog tentang isu ini dengan pemerintah Indonesia maupun stakeholders lainnya. Kami juga berharap pembentukan kelompok kerja bersama antara Uni Eropa dan para negara anggota ASEAN terkait dapat menjadi opsi lain untuk berdiskusi.
Simak video terkait langkah RI merespons rencana kebijakan Uni Eropa terhadap CPO RI di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Menlu: RI akan Terus Lawan Kampanye Hitam Kelapa Sawit
Most Popular