Demi Akuisisi Kestrel, Adaro Korbankan Pertumbuhan Laba

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
09 March 2019 08:40
Adaro mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 13,5% YoY menjadi US$ 418 juta pada tahun 2018
Foto: REUTERS/Beawiharta/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada hari Selasa (4/3/2019) PT Adaro Energy Tbk (ADRO) merilis laporan keuangan perusahaan tahun 2018.

Dalam rilisnya, ternyata Adaro mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 13,5% YoY menjadi US$ 418 juta pada tahun 2018. Analis Mandiri Sekuritas, Ariyanto Kurniawan dan Ryan Winipta mengatakan bahwa besaran laba ini berada di bawah perkiraan konsensus.

Berkebalikan dengan laba, ternyata pada tahun 2018 Adaro masih mampu membukukan kenaikan pendapatan sebesar 11% YoY menjadi sebesar US$ 3,6 miliar (dari yang sebelumnya US$ 3,2 miliar. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan Rata-Rata Harga Jual (Average Selling Price/ASP) batu bara Adaro sebesar 5% YoY menjadi US$ 61,5/ton.

Peningkatan ASP Adaro juga sejalan dengan peningkatan harga batu bara Newcastle juga menggerakkan harga batu bara domestik. Sebagai informasi, rata-rata harga batu bara Newcastle naik sekitar 18% YoY pada tahun 2018.

Selain itu, produksi batu bara yang dilakukan oleh perusahaan juga tercatat meningkat sebesar 4,3% YoY menjadi 54 juta ton. Sudah tentu kala produksi meningkat dan harga jual terangkat, pemasukan pun akan terdongkrak.

Akan tetapi, sayangnya laba bersih yang berasal dari aktivitas pertambangan batu bara pada tahun 2018 juga turun sebesar 3% menjadi hanya sebesar US$ 511,6 juta dari US$ 525,3 juta pada tahun 2017.

Salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya laba bersih Adaro tahun ini adalah meningkatnya beban yang diakibatkan oleh peningkatan biaya produksi (sektor pertambangan batu bara). Kurniawan memperkirakan biaya produksi diluar royalti pertambangan tahun 2018 bertambah sebesar 12% YoY menjadi US$ 27,8/ton yang diakibatkan oleh peningkatan Stripping Ratio (SR).

Seperti yang telah diketahui, istilah SR dalam pertambangan menyatakan jumlah lapisan tanah yang harus dibongkar untuk mendapatkan satu ton batu bara. Artinya, semakin besar nilai SR, maka beban produksi juga akan meningkat. Pada akhirnya akan mengurangi keuntungan.

Selain itu, ada pula biaya non-operasional yang dikeluarkan sebagai biaya penurunan nilai sebesar US$ 111 juta terkait dengan akuisisi 80% saham tambang Kestrel di Australia.  Meskipun memakan biaya yang tidak sedikit, ternyata pada kuartal IV-2018, tambang Kestrel menyumbang US$ 29 juta atau sebesar 79% dari total pemasukan Adaro yang berasal dari anak perusahaan.

Analis RHB Sekuritas, Andrew Hotama, meyakini bahwa performa tambang Kestrel akan semakin meningkat. Bahkan dirinya memprediksi kontribusi tambang Kestrel di tahun 2019 akan mencapai 13% terhadap pendapatan Adaro.


Kinerja Keuangan Adaro 2018
[Gambas:Video CNBC]

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Adaro Tak Kebal dari Covid-19, Laba Semester I-2020 Drop 48%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular