
Permintaan 2019 Melambat, RI Malah Genjot Produksi Batu Bara
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
19 December 2018 10:53

Jakarta, CNBC Indonesia- Masa jaya batu bara dalam setahun terakhir diperkirakan akan meredup sampai 2023. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksi permintaan batu bara akan memasuki periode pelambatan dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam laporan tahunan yang baru saja diterbitkan, IEA mengatakan pertumbuhan konsumsi batu bara dalam lima tahun, yakni hingga 2023, akan sangat melambat dan tidak lebih dari 1% sepanjang 2017-2023.
IEA menyebut negara-negara maju mulai mengabaikan bahan bakar fosil, sementara India dan negara berkembang lainnya masih mengandalkan batu bara untuk pembangkit listrik mereka.
"Di beberapa negara pembangkit batu bara dikurangi sebagai kunci untuk pemenuhan tujuan kebijakan iklim global, sementara di lainnya batu bara tetap jadi pilihan utama sumber listrik mereka karena ketersediaannya dan keterjangkauannya," ujar IEA.
Kendati demikian, pemerintah malah berencana menggenjot produksi batu bara di tahun depan. Pertambangan batu bara, lagi-lagi, jadi andalan untuk menggenjot pendapatan negara di 2019. Berbeda dengan kebijakan energi yang semula berencana dibatasi, produksi komoditas satu ini justru digenjot di tahun depan.
Dikutip dari Nota Keuangan RAPBN-2019, pemerintah menargetkan kenaikan volume batu bara dari 413 juta ton di 2018 menjadi 530 juta ton.
Kenaikan volume produksi batubara, dari sebesar 413 juta ton pada tahun 2018 menjadi sebesar 530 juta ton pada tahun 2019, atau naik 28,3% di tahun politik nanti.

Naiknya produksi batu bara ini melenceng dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019, yang semula menargetkan adanya pembatasan produksi batu bara. Dengan pembatasan ini, pemerintah semula menargetkan produksi batu bara jadi 406 juta ton.
Di tengah kondisi tersebut, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Garibaldi Thohir masih optimistis sektor batubara bisa membukukan kinerja positif di tahun ini.
"Saya percaya outlook batubara masih positif karena masih ada permintaan dari negara-negara Asia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia," ujar Boy, sapaan Garibaldi, kepada media ketika dijumpai dalam acara IEA Coal Forecast to 2023, di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Lebih lanjut, Boy mengatakan, hal tersebut didasarkan dari pemerintah yang sekarang fokus dalam percepatan infrastruktur, pembangunan pembangkit listrik, dan sebagainya. Hal ini, lanjut Boy, membuat batubara masih menjadi andalan Indonesia dan negara asia lainnya.
"Batubara harga yang lebih terjangkau dan cadangan banyak maka masih menjadi andalan. Indonesia bukan hanya butuh listrik yang murah, tapi juga andal. Pemanfaatan batubara dalam negeri, atau PLTU merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi bangsa," tegas Boy.
Nilai Tambah Batu Bara
Adapun, di hadapan para pengusaha batu bara kelas kakap, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan lagi-lagi menekankan tentang pentingnya mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah dari komoditas ini.
"Semua kegiatan perusahaan energi, harus siapkan energi terbarukan. Untuk perusahaan batu bara pemerintah anjurkan ini harus ada nilai tambah," ujar Jonan dalam acara IEA Coal Forecast to 2023 , Selasa (18/12/2018).
Ia mengingatkan pengusaha tambang jangan sekadar menggali lalu menjual batu bara begitu saja. Sebab, ini bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang yang tidak sekolah. Jonan memberi contoh soal dorongan nilai tambah dari China, di mana batu bara bisa diubah jadi bahan bakar pesawat. Teknologi seperti ini juga dikembangkan oleh Amerika.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Ia meminta yang paling gampang adalah dengan gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Eter (DME). "Ini yang sederhana bikin DME dulu untuk ganti LPG," kata Jonan.
(gus) Next Article Permintaan Anjlok, Kementerian ESDM Dorong Hilirisasi Minerba
Dalam laporan tahunan yang baru saja diterbitkan, IEA mengatakan pertumbuhan konsumsi batu bara dalam lima tahun, yakni hingga 2023, akan sangat melambat dan tidak lebih dari 1% sepanjang 2017-2023.
IEA menyebut negara-negara maju mulai mengabaikan bahan bakar fosil, sementara India dan negara berkembang lainnya masih mengandalkan batu bara untuk pembangkit listrik mereka.
"Di beberapa negara pembangkit batu bara dikurangi sebagai kunci untuk pemenuhan tujuan kebijakan iklim global, sementara di lainnya batu bara tetap jadi pilihan utama sumber listrik mereka karena ketersediaannya dan keterjangkauannya," ujar IEA.
Kendati demikian, pemerintah malah berencana menggenjot produksi batu bara di tahun depan. Pertambangan batu bara, lagi-lagi, jadi andalan untuk menggenjot pendapatan negara di 2019. Berbeda dengan kebijakan energi yang semula berencana dibatasi, produksi komoditas satu ini justru digenjot di tahun depan.
Dikutip dari Nota Keuangan RAPBN-2019, pemerintah menargetkan kenaikan volume batu bara dari 413 juta ton di 2018 menjadi 530 juta ton.
Kenaikan volume produksi batubara, dari sebesar 413 juta ton pada tahun 2018 menjadi sebesar 530 juta ton pada tahun 2019, atau naik 28,3% di tahun politik nanti.

Naiknya produksi batu bara ini melenceng dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019, yang semula menargetkan adanya pembatasan produksi batu bara. Dengan pembatasan ini, pemerintah semula menargetkan produksi batu bara jadi 406 juta ton.
Di tengah kondisi tersebut, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Garibaldi Thohir masih optimistis sektor batubara bisa membukukan kinerja positif di tahun ini.
"Saya percaya outlook batubara masih positif karena masih ada permintaan dari negara-negara Asia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia," ujar Boy, sapaan Garibaldi, kepada media ketika dijumpai dalam acara IEA Coal Forecast to 2023, di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Lebih lanjut, Boy mengatakan, hal tersebut didasarkan dari pemerintah yang sekarang fokus dalam percepatan infrastruktur, pembangunan pembangkit listrik, dan sebagainya. Hal ini, lanjut Boy, membuat batubara masih menjadi andalan Indonesia dan negara asia lainnya.
"Batubara harga yang lebih terjangkau dan cadangan banyak maka masih menjadi andalan. Indonesia bukan hanya butuh listrik yang murah, tapi juga andal. Pemanfaatan batubara dalam negeri, atau PLTU merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi bangsa," tegas Boy.
![]() |
Nilai Tambah Batu Bara
Adapun, di hadapan para pengusaha batu bara kelas kakap, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan lagi-lagi menekankan tentang pentingnya mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah dari komoditas ini.
"Semua kegiatan perusahaan energi, harus siapkan energi terbarukan. Untuk perusahaan batu bara pemerintah anjurkan ini harus ada nilai tambah," ujar Jonan dalam acara IEA Coal Forecast to 2023 , Selasa (18/12/2018).
Ia mengingatkan pengusaha tambang jangan sekadar menggali lalu menjual batu bara begitu saja. Sebab, ini bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang yang tidak sekolah. Jonan memberi contoh soal dorongan nilai tambah dari China, di mana batu bara bisa diubah jadi bahan bakar pesawat. Teknologi seperti ini juga dikembangkan oleh Amerika.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Ia meminta yang paling gampang adalah dengan gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Eter (DME). "Ini yang sederhana bikin DME dulu untuk ganti LPG," kata Jonan.
(gus) Next Article Permintaan Anjlok, Kementerian ESDM Dorong Hilirisasi Minerba
Most Popular