Hari Ini Kalah Lawan Yen, Rupiah Runner-Up Lagi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 February 2019 17:03
Hari Ini Kalah Lawan Yen, Rupiah <i>Runner-Up</i> Lagi
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Dengan begitu, rupiah sukses mencetak three-peat alias kemenangan 3 kali beruntun. 

Pada Selasa (26/2/2019), US$ 1 setara Rp 13.988 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,19% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya dan menyentuh titik terkuat sejak 8 Februari. 

Membuka perdagangan pasar spot, rupiah menguat nyaris 0,4%. Selepas itu, apresiasi rupiah memang terus tergerus dan bahkan dolar AS sempat kembali menyentuh Rp 14.000 meski tidak terlalu lama. 


Sisi positifnya, rupiah tidak pernah menyentuh zona merah alias selalu menguat di perdagangan hari ini. Rupiah pun berhasil mencatat apresiasi selama 3 hari beruntun, di mana dalam periode tersebut rupiah menguat 0,5%. 



Performa rupiah tambah istimewa karena mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan dolar AS. Hanya rupiah dan yen Jepang yang mampu menguat, sisanya tidak selamat. 

Dua 'kuda pacu' ini saling berkejaran untuk menjadi yang terbaik di Benua Kuning. Yen sempat cukup lama memimpin tetapi kemudian rupiah mampu menyusul. Keduanya begitu kompetitif, berjuang keras sampai garis finis. 


Akhirnya kala penutupan pasar spot valas Indonesia, yen yang jadi juaranya. Penguatan rupiah sedikit lebih rendah ketimbang yen sehingga mata uang Tanah Air belum bisa menjadi yang terbaik di Asia.

Rupiah lagi-lagi harus puas menjadi runner-up, posisi yang dipegang selama 3 hari terakhir.
 'Laga' dramatis yang hasilnya kembali belum memihak rupiah.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:30 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Terlihat bahwa dolar AS digdaya di Asia. Investor sepertinya mulai merealisasikan keuntungan di pasar keuangan Asia, seiring lunturnya sentimen perang dagang. Sejak awal pekan, pasar valas dan bursa saham Asia begitu semarak karena pelaku pasar memburu aset-aset berisiko di negara berkembang. Damai dagang AS-China yang tampaknya sudah di depan mata membuat investor bergairah dan ogah bermain aman. 

Namun setelah 2 hari melaju, hari ini menjadi momentum koreksi. Belum adanya kabar terbaru dari hubungan AS-China (kecuali rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Florida bulan depan) membuat investor kurang beringas dan memilih mengambil nafas. Aksi jual pun melanda pasar keuangan Asia yang membuat nilai mata uang melemah. 


Tidak hanya mata uang, bursa saham Asia juga didominasi warna merah. Indeks Nikkei 225 melemah 0,37%, Hang Seng turun 0,65%, Kospi minus 0,27%, Straits Times berkurang 0,33%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpeleset 0,65%. 

Mengapa rupiah masih bisa menguat, bahkan menjadi yang terkuat di Asia? Kemungkinan ada dua alasan utama. 

Pertama adalah harga minyak yang seharian ini cenderung turun meski ada pembalikan arah pada sore hari. Secara mingguan, harga minyak brent anjlok 2,09% sementara light sweet amblas 1,1%.

 
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. 

Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat. 

Alasan kedua adalah potensi inflasi Februari yang masih 'jinak'. Akhir pekan lalu, Gubernur Bank Sentral (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan survei bank sentral memperkirakan terjadi deflasi 0,07% secara bulanan dan 2,58% secara tahunan. Konsensus pasar sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ada deflasi 0,05% secara bulanan sementara inflasi tahunan berada di 2,76%. 

Angka-angka itu menunjukkan inflasi sampai Februari masih 'santai'. Berada di batas bawah target BI di kisaran 2,5-3,5% untuk 2019. 

Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. 

Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif. Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular