
Hari Ini Kalah Lawan Yen, Rupiah Runner-Up Lagi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 February 2019 17:03

Terlihat bahwa dolar AS digdaya di Asia. Investor sepertinya mulai merealisasikan keuntungan di pasar keuangan Asia, seiring lunturnya sentimen perang dagang. Sejak awal pekan, pasar valas dan bursa saham Asia begitu semarak karena pelaku pasar memburu aset-aset berisiko di negara berkembang. Damai dagang AS-China yang tampaknya sudah di depan mata membuat investor bergairah dan ogah bermain aman.
Namun setelah 2 hari melaju, hari ini menjadi momentum koreksi. Belum adanya kabar terbaru dari hubungan AS-China (kecuali rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Florida bulan depan) membuat investor kurang beringas dan memilih mengambil nafas. Aksi jual pun melanda pasar keuangan Asia yang membuat nilai mata uang melemah.
Tidak hanya mata uang, bursa saham Asia juga didominasi warna merah. Indeks Nikkei 225 melemah 0,37%, Hang Seng turun 0,65%, Kospi minus 0,27%, Straits Times berkurang 0,33%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpeleset 0,65%.
Mengapa rupiah masih bisa menguat, bahkan menjadi yang terkuat di Asia? Kemungkinan ada dua alasan utama.
Pertama adalah harga minyak yang seharian ini cenderung turun meski ada pembalikan arah pada sore hari. Secara mingguan, harga minyak brent anjlok 2,09% sementara light sweet amblas 1,1%.
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia.
Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat.
Alasan kedua adalah potensi inflasi Februari yang masih 'jinak'. Akhir pekan lalu, Gubernur Bank Sentral (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan survei bank sentral memperkirakan terjadi deflasi 0,07% secara bulanan dan 2,58% secara tahunan. Konsensus pasar sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ada deflasi 0,05% secara bulanan sementara inflasi tahunan berada di 2,76%.
Angka-angka itu menunjukkan inflasi sampai Februari masih 'santai'. Berada di batas bawah target BI di kisaran 2,5-3,5% untuk 2019.
Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil.
Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif. Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun setelah 2 hari melaju, hari ini menjadi momentum koreksi. Belum adanya kabar terbaru dari hubungan AS-China (kecuali rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Florida bulan depan) membuat investor kurang beringas dan memilih mengambil nafas. Aksi jual pun melanda pasar keuangan Asia yang membuat nilai mata uang melemah.
Tidak hanya mata uang, bursa saham Asia juga didominasi warna merah. Indeks Nikkei 225 melemah 0,37%, Hang Seng turun 0,65%, Kospi minus 0,27%, Straits Times berkurang 0,33%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpeleset 0,65%.
Pertama adalah harga minyak yang seharian ini cenderung turun meski ada pembalikan arah pada sore hari. Secara mingguan, harga minyak brent anjlok 2,09% sementara light sweet amblas 1,1%.
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia.
Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat.
Alasan kedua adalah potensi inflasi Februari yang masih 'jinak'. Akhir pekan lalu, Gubernur Bank Sentral (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan survei bank sentral memperkirakan terjadi deflasi 0,07% secara bulanan dan 2,58% secara tahunan. Konsensus pasar sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ada deflasi 0,05% secara bulanan sementara inflasi tahunan berada di 2,76%.
Angka-angka itu menunjukkan inflasi sampai Februari masih 'santai'. Berada di batas bawah target BI di kisaran 2,5-3,5% untuk 2019.
Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil.
Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif. Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular